Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Munas dulu, baru pleno

Pemerintah menunda izin sidang pb nu kelompok idham chalid. pb nu kelompok rais aam ali ma'shum siap menyelenggarakan munas ulama di jawa timur. (nas)

17 Desember 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI musala Wisma PHI yang sempit, berukuran 5 m x 4 m, sekitar 50 orang duduk bersila, agak berdesakan. Pertemuan Rabu malam pekan lalu itu dinyatakan tertutup. Hanya utusan wilayah yang boleh ikut. Rapat itu, pertemuan pengurus wilayah NU se-Indonesia, adalah yang "tersisa" dari rencana rapat pleno PB NU yang diperluas dengan pimpinan wilayah (TEMPO, 3 Desember). Rapat pleno itu sendiri, yang direncanakan berlangsung 7-8 Desember, batal. Sehari sebelum dimulai, muncul surat dari kepala Dinas Inteligen Markas Besar Polri, menjawab permohonan izin PB NU yang dikirimkan tangal 1 Desember dan ditandatangani Ali Yafie, Idham Chalid, dan Chalid Mawardi. Isinya: "Berhubung sangat sempitnya waktu, maka kami mohon untuk menunda waktunya." Rupanya, iawaban itu sangat mengejutkan PB NU dan para peserta daerah yang sudah datang ke Jakarta. Akibatnya, acara berjalan sendiri-sendiri. Pengurus Besar NU mengadakan rapat "rutin" di rumah Idham Chalid di Jalan Mangunsarkoro, Jakarta Pusat. Sedangkan wilayah-wllaya mengadakan pertemuan tersendiri di Wisma PHI, Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Menurut sebuah sumber TEMPO, izin rapat pleno itu tidak ditolak, tapi cuma ditunda pemberianny "agar tidak meng ganggu jalannya munas alim ulama NU di Situbondo 18-21 Desember" mendatang "Rapat pleno itu boleh saja diselenggarakan asal waktunya cukup jauh setelah munas ulama selesai," ujar sumber itu. Penundaan izin itu tidak berarti bahwa pemerintah berpihak pada kelompok ulama, tapi semata-mata agar perpecahan dalam NU tidak semakin melebar. Setelah berembuk sampai pukul 02.00, para pengurus wilayah NU membentuk suatu panitia tujuh yang diketuai Aini Bakri dari Kalimantan Timur. Esoknya, lahir pernyataan kebulatan tekad yang ditandatangam 35 orang. Isinya, antara lain, menerima asas tunggal Pancasila, menerima serta mendukung kebijaksanaan PB NU, untuk mengadakan muktamar pada 1984, dan panitia penyelenggara yang telah dibentuk. Kamis malam itu juga, pernyataan itu dibacakan dalam suatu pertemuan yang dihadiri Idham Chalid dan Anwar Musaddad. "Pak Idham terharu mendengar keputusan tentang diterimanya asas Pancasila di kalangan wilayah NU," kata Aini Bakri. Rapat PB NU sendiri yan berlangsung di rumah Idham Chalid menghasilkan beberapa keputusan. Antara lain: muktamar ke-27 "insya Allah" akan diselenggarakan April 1984 dan, yang lebih penting, "keterikatan PB NU terhadap TAP MPR No. 2/1983 (GBHN) atas materi yang diatur di dalamnya." Rapat PB NU serta pertemuan pengurus wilayah itu mengundang komentar dari kelompok ulama, yang tidak ikut hadir dalam pertemuan tadi. "Soal pertemuan di Jakarta itu, saya tidak tahu menahu," kata Rais Aam Ali Ma'shum. Ia mengaku tidak pernah diajak berembuk, apalagi menerima undangan. Dari pengurus syuriah hanya dua orang, Ali Yafie dan Anwar Musaddad, yang hadir dalam rapat rutin itu. NU Jawa Timur tetap pada pendirian semula: tidak mengirimkan utusan pada rapat pleno yang diperluas. Selain Jawa Timur, wilayah lain yang absen dalam pertemuan di Jakarta itu adalah Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Maluku. "Mungkin mereka tidak datahg karena alasan teknis saja," kata Chalid Mawardi, sebagai pelaksana teknis rapat pleno yang diperuas itu. Tapi sahnya utusan beberapa daerah juga dipersoalkan. Misalnya utusan Yogyakarta, Suwardiyono, yang ikut menandatanani pernyataan kebulatan tekad. "Dewan Pimpinan Wilayah NU Yogyakarta tidak pernah memberi mandat kepada siapa pun untuk menghadiri apa yang dinamakan sidang pleno PB NU yang diperluas," kata ketua DPW NU DIY Saiful Mujab. Kehadiran Suwardiyono, ketua Bagian Maarif DPW NU DIY, dianggpnya tidak sah dan hanya atas nama priadi. Ada kesan: pernyataan kebulatan tekad pengurus wilayah NU serta keputusan rapat PB NU kelompok Idham Chalid ditujukan untuk mendahului munas alim ulama di Situbondo 18-21 Desember ini. Salah satu acara munas memang mengenai pemantapan landasan perjuangan NU, yang dengan sendirinya menyangkut "penempatan" asas Pancasila. Namun, khatib syuriah NU, Abdurrahman Wahid, yang belakangan makin santer disebut-sebut sebagai calon ketua umum NU, menganggap rencana sidang pleno yang diperluas "upaya untuk tidak hancur dilindas munas". Katanya, "Agar identitas kelompok mereka tetap ada." Secara pribadi, ia menganggap penting kehadiran wilayah untuk disadap pendapatnya. "Sayangnya, sarasehan yang diadakan Pak Idham itu tak mengundang apa-apa, selain memaksa daerah," katanya. Munas ulama, kata Abdurrahman Wahid, akan mencoba mempertemukan dua kepentingan: Pancasila sebaai ideologi, sekaiigus mendudukkan NU daam wajah perjuangan Islam. Dalam pernyataan 22 wilayah, ia sama sekali tak melihat adanya penjelasan soal wadah perjuangan Islam dalam NU. "Di sinilah letak munas yang tampak makin penting," katanya. Sementara itu, persiapan munas ulama di Pesantren Salafian Syafiiyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo, tampaknya sudah rampung. Tembok, kamar, dan pintu jendela sudah dicat atau dikapur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus