DI musala Wisma PHI yang sempit, berukuran 5 m x 4 m, sekitar 50
orang duduk bersila, agak berdesakan. Pertemuan Rabu malam pekan
lalu itu dinyatakan tertutup. Hanya utusan wilayah yang boleh
ikut. Rapat itu, pertemuan pengurus wilayah NU se-Indonesia,
adalah yang "tersisa" dari rencana rapat pleno PB NU yang
diperluas dengan pimpinan wilayah (TEMPO, 3 Desember).
Rapat pleno itu sendiri, yang direncanakan berlangsung 7-8
Desember, batal. Sehari sebelum dimulai, muncul surat dari
kepala Dinas Inteligen Markas Besar Polri, menjawab permohonan
izin PB NU yang dikirimkan tangal 1 Desember dan ditandatangani
Ali Yafie, Idham Chalid, dan Chalid Mawardi.
Isinya: "Berhubung sangat sempitnya waktu, maka kami mohon untuk
menunda waktunya." Rupanya, iawaban itu sangat mengejutkan PB
NU dan para peserta daerah yang sudah datang ke Jakarta.
Akibatnya, acara berjalan sendiri-sendiri. Pengurus Besar NU
mengadakan rapat "rutin" di rumah Idham Chalid di Jalan
Mangunsarkoro, Jakarta Pusat. Sedangkan wilayah-wllaya
mengadakan pertemuan tersendiri di Wisma PHI, Cempaka Putih,
Jakarta Pusat.
Menurut sebuah sumber TEMPO, izin rapat pleno itu tidak ditolak,
tapi cuma ditunda pemberianny "agar tidak meng ganggu jalannya
munas alim ulama NU di Situbondo 18-21 Desember" mendatang
"Rapat pleno itu boleh saja diselenggarakan asal waktunya cukup
jauh setelah munas ulama selesai," ujar sumber itu. Penundaan
izin itu tidak berarti bahwa pemerintah berpihak pada kelompok
ulama, tapi semata-mata agar perpecahan dalam NU tidak semakin
melebar.
Setelah berembuk sampai pukul 02.00, para pengurus wilayah NU
membentuk suatu panitia tujuh yang diketuai Aini Bakri dari
Kalimantan Timur. Esoknya, lahir pernyataan kebulatan tekad yang
ditandatangam 35 orang. Isinya, antara lain, menerima asas
tunggal Pancasila, menerima serta mendukung kebijaksanaan PB NU,
untuk mengadakan muktamar pada 1984, dan panitia penyelenggara
yang telah dibentuk.
Kamis malam itu juga, pernyataan itu dibacakan dalam suatu
pertemuan yang dihadiri Idham Chalid dan Anwar Musaddad. "Pak
Idham terharu mendengar keputusan tentang diterimanya asas
Pancasila di kalangan wilayah NU," kata Aini Bakri.
Rapat PB NU sendiri yan berlangsung di rumah Idham Chalid
menghasilkan beberapa keputusan. Antara lain: muktamar ke-27
"insya Allah" akan diselenggarakan April 1984 dan, yang lebih
penting, "keterikatan PB NU terhadap TAP MPR No. 2/1983 (GBHN)
atas materi yang diatur di dalamnya."
Rapat PB NU serta pertemuan pengurus wilayah itu mengundang
komentar dari kelompok ulama, yang tidak ikut hadir dalam
pertemuan tadi. "Soal pertemuan di Jakarta itu, saya tidak tahu
menahu," kata Rais Aam Ali Ma'shum. Ia mengaku tidak pernah
diajak berembuk, apalagi menerima undangan. Dari pengurus
syuriah hanya dua orang, Ali Yafie dan Anwar Musaddad, yang
hadir dalam rapat rutin itu.
NU Jawa Timur tetap pada pendirian semula: tidak mengirimkan
utusan pada rapat pleno yang diperluas.
Selain Jawa Timur, wilayah lain yang absen dalam pertemuan di
Jakarta itu adalah Nusa Tenggara Timur, Irian Jaya, dan Maluku.
"Mungkin mereka tidak datahg karena alasan teknis saja," kata
Chalid Mawardi, sebagai pelaksana teknis rapat pleno yang
diperuas itu.
Tapi sahnya utusan beberapa daerah juga dipersoalkan. Misalnya
utusan Yogyakarta, Suwardiyono, yang ikut menandatanani
pernyataan kebulatan tekad. "Dewan Pimpinan Wilayah NU
Yogyakarta tidak pernah memberi mandat kepada siapa pun untuk
menghadiri apa yang dinamakan sidang pleno PB NU yang
diperluas," kata ketua DPW NU DIY Saiful Mujab. Kehadiran
Suwardiyono, ketua Bagian Maarif DPW NU DIY, dianggpnya tidak
sah dan hanya atas nama priadi.
Ada kesan: pernyataan kebulatan tekad pengurus wilayah NU serta
keputusan rapat PB NU kelompok Idham Chalid ditujukan untuk
mendahului munas alim ulama di Situbondo 18-21 Desember ini.
Salah satu acara munas memang mengenai pemantapan landasan
perjuangan NU, yang dengan sendirinya menyangkut "penempatan"
asas Pancasila.
Namun, khatib syuriah NU, Abdurrahman Wahid, yang belakangan
makin santer disebut-sebut sebagai calon ketua umum NU,
menganggap rencana sidang pleno yang diperluas "upaya untuk
tidak hancur dilindas munas". Katanya, "Agar identitas kelompok
mereka tetap ada." Secara pribadi, ia menganggap penting
kehadiran wilayah untuk disadap pendapatnya. "Sayangnya,
sarasehan yang diadakan Pak Idham itu tak mengundang apa-apa,
selain memaksa daerah," katanya.
Munas ulama, kata Abdurrahman Wahid, akan mencoba mempertemukan
dua kepentingan: Pancasila sebaai ideologi, sekaiigus
mendudukkan NU daam wajah perjuangan Islam. Dalam pernyataan 22
wilayah, ia sama sekali tak melihat adanya penjelasan soal wadah
perjuangan Islam dalam NU. "Di sinilah letak munas yang tampak
makin penting," katanya.
Sementara itu, persiapan munas ulama di Pesantren Salafian
Syafiiyah Sukorejo, Asembagus, Situbondo, tampaknya sudah
rampung. Tembok, kamar, dan pintu jendela sudah dicat atau
dikapur.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini