Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

M.

Setyaningsih*

8 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Bahasa

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SELAMA ini, seperti telah menjadi konsensus bersama bahwa huruf “M” dalam sebuah nama adalah kependekan dari Muhammad, dengan variasi penulisan, misalnya, Muhamad, Mohamad, dan Mohammad. Berbeda-beda tapi tetap merujuk pada sang Nabi jua. Nama itu harus menyalurkan watak kemuliaan seperti yang lekat pada Nabi Muhammad. Nama pun bukan hanya nama. Nama menjelma menjadi istilah bernas dalam arus kebahasaan yang membabarkan kedekatan biografis sampai ideologis.

Annemarie Schimmel dalam buku Cahaya Purnama Kekasih Tuhan (2012) mengatakan ada Tarekat Muhammadiyah (Thariqah Muhammadiyyah) yang digunakan oleh kelompok sufi pramodern sebagai simbolisasi kesetiaan kepada sunah Nabi. Di India, pada paruh pertama abad ke-19, para anggota tarekat sufi di Thariqah Muhammadiyyah memainkan peran politik yang penting. Di Afrika Utara, beberapa persaudaraan sufi juga menggunakan istilah ini sebagai jalan meneladankan Muhammad dalam kehidupan religius. Di Indonesia, Muhammadiyah menjadi salah satu organisasi kemasyarakatan Islam terbesar yang merujuk pada keteladanan Muhammad.

Namun, bagi Barat dari masa ke masa, Muhammad seperti sebuah seteru. Muhammad telah beralih dari sosok menjadi gagasan atau sebuah kata yang merujuk pada kekuasaan ideologi politik dan agama. Denise A. Spellberg (2014) mengatakan “Turki” dan “Mahometan” menjadi dua istilah populer yang berkesan merendahkan untuk menyebut umat Islam. Di Amerika, abad ke-16, “Mahometan” diartikan dengan keliru sebagai penyembah fanatik Mahomet atau Muhammad, bukan penyembah Allah saja. Juga muncul beberapa istilah yang memunculkan pernyataan sentimen: “Mahomedan”, “Mahommedan”, dan “Musselman”. Amerika menyebut Islam dengan “Mahometanism”.

Pertunjukan pertama tentang Islam ditulis Francois-Marie Arouet atau Voltaire (1694-1778) berjudul Le Fanatisme ou Mahomet le Prophete. Drama ini dipentaskan di Amerika dan Prancis, juga memunculkan kehebohan di London pada 1779. Voltaire- menggambarkan sang Nabi yang agresif untuk mencapai tujuan politik. Drama ini menjadi semacam serangan agama dan politik yang menggunakan simbolisasi Islam untuk menyindir kekerasan antar-pemeluk agama yang saat itu melanda Eropa.


 

Menjadi ironi justru orangyang mengaku Islam atau muslim yang melakukan penghancuran nama Muhammad.

 


 

Penangkapan seorang remaja muslim bernama Ahmed Mohamed oleh Kepolisian Irving, Texas, pada September 2015, pun membawa ketakutan kepada satu kata. Ahmed dituduh membuat bom, yang sebenarnya jam digital. Menurut ayah Ahmed, Mohamed Elhassan Mohamed, Amerika menautkan nama anaknya dengan teroris pengaku Islam yang galak. Padahal sang anak hanya berusaha menunjukkan karyanya sebagai kecintaan kepada sains (Republika, 18 September 2015).

Nama menjelma menjadi kata yang mengancam, menakutkan, dan melahirkan prasangka karena ditautkan pada orang-orang yang menebarkan penipuan, kekerasan, teror, bom, dan perang. Kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang berselancar di penjuru dunia dengan segala bentuk kegegeran makin membawa ketakutan kepada nama. Nama Muhammad bertaruh di tengah prasangka terhadap Islam sekaligus makin menguatnya selebrasi toleransi. Warga sipil Barat terutama masih dalam perjuangan bertoleransi. Mereka di antara yakin dan gamang menerima ”Muhammad-Muhammad” atau para imigran untuk hidup damai di Barat.

Sebuah nama akhirnya bukan hanya kata yang diucapkan, dituliskan, atau disematkan pada tubuh. Nama adalah kata yang membentuk ideologi kukuh dan dipercaya mampu mengguncang stabilitas tatanan dunia. Muhammad diidentikkan dengan aksi kekerasan, tembakan senjata, dan teror bom. Lebih jauh, nama itu ada sebagai sebuah sejarah yang tidak usai, selalu diinterpretasikan lewat beragam perspektif.

Menjadi ironi justru orang yang mengaku Islam atau muslim yang melakukan penghancuran nama Muhammad. Hal radikal itu tidak cukup dalam sebuah pemikiran, tapi mencapai tindakan. Mereka mengebom tempat ibadah, menghancurkan kota, membakar buku-buku, melarang anak-anak perempuan bersekolah, dan menghukum perempuan yang ke luar rumah dengan mengatasnamakan dalil-dalil agama.

Muncul kesan mereka merasa paling berhak membela Muhammad dengan berperang di jalan Tuhan. Tak insaf bahwa Muhammad adalah sosok dan gagasan yang menolak kategorisasi atas nama ideologi (Karen Armstrong, 2013). Kehancuran bisa dihindari saat orang Barat dan muslim belajar untuk saling toleran dan mengapresiasi dengan mengingat Muhammad sebagai landasan penciptaan perdamaian dan kerukunan. Apesnya, Muhammad justru setara dengan paham kiri, globalisasi, kapitalisme, korupsi, atau wabah. Nama berembus untuk memunculkan horor dan ancaman, beralih dari keteladanan menuju kriminalitas bertaraf internasional.

*) ESAIS, ANGGOTA tTIM PENULIS SEMAIAN IMAN, SEBARAN PENGABDIAN (2018)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus