Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Perang Dagang dan Reformasi Struktural

Muhamad Chatib Basri, Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia

8 Juni 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KATA reformasi punya sejarah panjang. Dalam bahasa Latin, orang menyebutnya reformo, yang artinya memperbaiki, atau mengubah sesuatu yang tak memuaskan atau tak berjalan. Sejarah mencatat: kata reform mulai sering dirujuk ketika Christopher Wy-vill, tokoh perubahan Inggris, mencoba melakukan perbaikan dalam parlemen pada abad ke-18. Pada 1980-1990-an, kata ini seperti menjadi mantra. Ia menjadi jawaban untuk hampir semua masalah ekonomi. Pada 1998, kata ini mungkin menjadi kata paling populer di negeri ini, ketika perubahan politik dan ekonomi terjadi. Reformasi menjadi sebuah mantra dan dipercaya sebagai jawaban berbagai masalah ekonomi. Karena itu, ekonom begitu bersemangat berbicara soal ini. Sayangnya, walau teori ekonomi selalu berbicara mengapa harus melakukan reformasi, ia tak memberi jawaban bagaimana melakukannya.

Percakapan mengenai reformasi struktural dalam ekonomi menjadi penting hari-hari ini. Mengapa? Ada keterbatasan ruang bagi fiskal dan moneter untuk mendorong pertumbuhan ekonomi kita lebih dari 5 persen. Indonesia harus melakukan reformasi struktural untuk meningkatkan produktivitas, dengan mendorong ekspor dan investasi. Tanpa ini, ekonomi Indonesia akan mandek pada kisaran 5 persen.

Perang dagang telah mendorong investor meninggalkan Cina dan mencari negara lain yang memungkinkan mereka masuk ke pasar Amerika Serikat. Artinya, ada kesempatan bahwa investasi akan mengalir ke sini. Namun, untuk menarik investor itu, Indonesia harus menyelesaikan pekerjaan rumah. Kita harus merevisi daftar negatif investasi, merevisi aturan pesangon dalam undang-undang ketenagakerjaan. Kita juga perlu menyederhanakan birokrasi, perizinan, dan perdagangan.

Masalahnya, ini isu yang sensitif secara politik, terlebih bila dilakukan di tengah perlambatan ekonomi akibat perang dagang. Kita seperti berkutat antara ayam dan telur: tanpa reformasi struktural, pertumbuhan akan mandek. Namun, dengan pertumbuhan yang lambat, reformasi struktural sulit dilakukan. Lalu apa yang harus kita perhatikan dan lakukan dalam kondisi seperti ini?

Pertama, berapa lama perang dagang ini akan berlangsung? Saya memperkirakan ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok ini lebih dari sekadar isu perdagangan. Ini adalah ketegangan yang dipicu oleh rivalitas dua raksasa ekonomi dunia. Hal ini sudah terlihat ketika Amerika menempatkan Huawei ke daftar hitam. Ini indikasi ketegangan sudah masuk ke sektor teknologi. Karena itu, tampaknya kita harus bersiap untuk sebuah ketegangan yang panjang. Dalam kondisi seperti ini, kebutuhan reformasi struktural makin nyata karena kita tak bisa bergantung hanya pada kebijakan fiskal dan moneter.

Kedua, sukses sebuah reformasi akan bergantung pada modal politik dan ruang untuk melakukan reformasi. Kita perlu ingat: sumber daya politik dan waktu terbatas. Itu sebabnya, prioritas menjadi penting. Reformasi yang sifatnya “big bang” (drastis) hanya bisa dilakukan bila kita memiliki modal politik yang amat kuat.

Presiden Joko Widodo memang secara terbuka sudah menyatakan bersedia melakukan reformasi yang drastis dan tak populer, karena toh tak akan terpilih lagi pada 2024. Saya kira kita harus memberi apresiasi. Ini adalah pesan penting: akan ada perubahan dan perbaikan yang mendasar. Namun, persoalannya, kita tak tahu apakah para politikus akan mendukung upaya Presiden Jokowi. Benar bahwa pada 2024 Jokowi tidak bisa lagi menjadi presiden, tapi kita tahu partai politik akan berlaga dengan kandidat masing-masing pada tahun itu. Artinya, partai-partai politik tetap ingin populer dan terpilih. Karena itu, reformasi yang tak populer dari Presiden Jokowi belum tentu akan mendapat dukungan penuh dari partai politik yang akan berlaga pada 2024. Apalagi bila reformasi itu dilakukan mendekati pemilihan umum. Implikasinya: dukungan politik terhadap Presiden Jokowi untuk melakukan reformasi yang drastis mungkin hanya terbuka buat periode yang singkat.

Ketiga, sukses sebuah reformasi sering kali bergantung bukan pada baik atau buruknya agenda reformasi, tapi dukungan politik untuk membuatnya berlanjut. Karena itu, reformasi struktural untuk menarik penanaman modal asing, di tengah perlambatan ekonomi akibat perang dagang, harus dibarengi dengan upaya pemberian perlindungan kepada mereka yang kalah akibat kompetisi. Inilah yang dikenal sebagai strategi pertumbuhan yang inklusif.

Seperti apa? Untuk mengatasi perlambatan ekonomi akibat perang dagang, dalam jangka pendek, pemerintah perlu melakukan kebijakan kontra-siklus. Fokuskan alokasi fiskal untuk pengeluaran yang memiliki efek daya ungkit terhadap permintaan yang paling besar. Apa itu? Program Keluarga Harapan, padat karya tunai, bantuan langsung; padat karya pelatihan (cash for training atau kartu prakerja). Namun program seperti ini sifatnya hanya temporer dan untuk kelompok tertentu. Ia tidak bisa digunakan dalam jangka panjang. Dalam jangka pendek, skema distribusi pendapatan seperti ini dapat membantu mengatasi dampak negatif perlambatan pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam jangka panjang, ia tak akan meningkatkan produktivitas.

Dalam jangka menengah, kita perlu menyediakan lapangan pekerjaan yang “baik”, bukan hanya “seadanya”. Data menunjukkan: angka pengangguran terbuka secara keseluruhan memang menurun, tapi persentase penganggur muda yang berpendidikan sekolah menengah atas dan tingkat yang lebih tinggi naik. Artinya, pekerjaan yang tercipta selama ini adalah untuk mereka yang berpendidikan sekolah menengah pertama ke bawah. Pekerjaan yang “baik”? Tak banyak tercipta. Secara intuitif, penganggur muda yang kurang berpendidikan mungkin akan relatif lebih mudah mendapat pekerjaan.

Alasannya, dengan ekspektasi yang rendah, mereka bersedia menerima pekerjaan dengan upah lebih rendah. Sebaliknya, yang berpendidikan baik akan menuntut pekerjaan yang baik dengan upah yang lebih baik. Untuk itu, dalam jangka menengah, pemerintah harus menciptakan sektor formal yang mampu menciptakan pekerjaan yang “baik”. Tenaga kerja harus disiapkan. Karena itu, strategi pertumbuhan inklusif menuntut kita meningkatkan alokasi belanja dalam bidang infrastruktur, kesehatan, pendidikan, serta penelitian dan pengembangan (R&D). Kita memang sudah memulainya, tapi belum mencukupi. Juga belum sepenuhnya efektif.

Di bidang pendidikan, misalnya, setiap tahun kita mengalokasikan anggaran untuk pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Hasilnya? Indonesia masih ada di urutan terbawah dalam kemampuan matematika, membaca, dan sains. Artinya, uang bukan hal yang paling menentukan. Yang paling menentukan adalah rancangan program itu. Apakah pemerintah memiliki kemampuan melakukan pendidikan vokasi? Bila memang kemampuan dalam merancang modul, peralatan, dan pengetahuan terbatas, minta swasta yang memiliki kemampuan dalam pengembangan R&D melakukan pelatihan. Sebagai imbalannya, berikan potongan pajak berganda. Untuk pelatihan dasar dan daerah terpencil, peran pemerintah tetap dibutuhkan. Di sinilah peran balai latihan kerja.

Percakapan di atas datang dengan pesan: reformasi struktural harus dilakukan. Untuk itu, kita perlu dukungan politik. Jika modal politik dan waktu kita terbatas, reformasi harus berangkat dari yang mudah, dari sesuatu yang manfaatnya dapat dirasakan seketika oleh rakyat. Dengan itu, dukungan politik akan meningkat. Setelah dukungan politik meningkat, reformasi diarahkan pada hal yang lebih kompleks dan sulit. Namun, jika modal politik Presiden Jokowi kuat, terbuka ruang untuk melakukan reformasi yang radikal. Menerapkan reformasi ekonomi adalah sebuah seni.

Beberapa bulan ke depan, kita akan melihat apakah reformasi bakal kembali lagi bergulir. Apakah politikus dan partai politik akan mendukung? Kita harus menunggu. Namun saya jadi ingat ucapan Jean-Claude Juncker, Presiden European Commission, “We all know what to do, we just don’t know how to get re-elected after we’ve done it.” Juncker benar. Itulah realitas politik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus