Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Macron dan Demonstrasi

Situasi Prancis saat ini terus diwarnai demonstrasi berkepanjangan.

22 Januari 2019 | 07.30 WIB

Presiden Prancis, Emmanuel Macron, berpidato selama sekitar 20 menit pada peringatan 100 tahun Armistice Day atau berakhirnya Perang Dunia I di Paris pada 11 November 2018. Skynews
Perbesar
Presiden Prancis, Emmanuel Macron, berpidato selama sekitar 20 menit pada peringatan 100 tahun Armistice Day atau berakhirnya Perang Dunia I di Paris pada 11 November 2018. Skynews

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poltak Partogi Nainggolan
Research Professor untuk Hubungan Internasional

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Situasi Prancis saat ini terus diwarnai demonstrasi berkepanjangan. Menjelang dua tahun berkuasa, Presiden Emmanuel Macron dinilai tidak peduli terhadap warga biasa walau ia diusung Partai Sosialis. Ia mengkhianati janjinya untuk mereformasi ekonomi dan pasar kerja. Demonstrasi yang digerakkan orang-orang yang menyebut dirinya sebagai Gilet Jaune atau Rompi Kuning itu digelar sejak 17 November 2018 hingga 12 Januari 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Para demonstran itu beragam dan meluas, semula hanya para pembayar pajak dari kalangan pekerja (industri) dan kelas menengah, lalu diikuti kaum perempuan, pemuda, dan mahasiswa. Demonstrasi melibatkan hingga 282 ribu orang dan menyebabkan 10 orang tewas-termasuk polisi, hampir 1.000 terluka, 1.723 ditangkap, dan 1.220 ditahan. Namun posisi Macron belum goyah. Ia malah mengecam para demonstran itu sebagai pemberontak.

Mengapa rakyat Prancis berunjuk rasa? Ketidakpuasan terhadap kinerja dan perlakuan rezim terhadap rakyat menjadi alasannya. Pada 1789, unjuk rasa rakyat Prancis ditujukan kepada Raja Louis XIV, yang kebijakannya menyengsarakan rakyat akibat pemborosan uang negara untuk kepentingan pribadi, terutama permaisuri Marie Antoinette, dan kolusi istana yang membahayakan keamanan nasional.

Aksi mahasiswa pada Mei 1968 ditujukan kepada Presiden Charles de Gaulle, yang semula sa-

ngat dihormati, demi mempertahankan semangat kebebasan dan egaliterianisme. Jika aksi massa pada 1789 berakibat runtuhnya kekuasaan Louis XIV, pada 1968, De Gaulle selamat dari kejatuhan karena ia berkompromi dengan tuntutan mahasiswa.

Kasus Penjara Bastille dan aksi Mei 1968 begitu fenomenal dan telah menginspirasi semangat para tokoh pergerakan dan mahasiswa hingga ke luar Prancis. Gilet Jaune juga menulis "Mei 1968" di belakang rompi mereka. Aksi demonstrasi besar pada milenium baru ini telah menekan kepala negara Prancis. Walau tetap terancam, posisi Macron masih aman.

Kebijakan Macron memangkas pajak barang mewah dan menaikkan pajak bahan bakar minyak (BBM) yang mengakibatkan masalah besar. Dengan kebijakan itu, Macron merepresentasikan kepentingan kaum kaya Prancis, apalagi dengan keputusannya pasca-demonstrasi 15 Desember 2018, yang tetap tidak ingin menaikkan pajak bagi mereka. Ia telah terjangkiti oleh amnesia atas sejarah bangsanya, yang selalu sensitif dengan kebebasan (liberte), persamaan (egalite), dan persaudaraan (fraternite)-semboyan revolusioner yang abadi sejak 1789.

Macron mengelola Prancis seperti sebuah negara kecil Singapura serta melupakannya sebagai negeri yang revolusioner dan sumber revolusi yang mengilhami dunia. Macron lupa karya besar Albert Camus, L’Homme Revolte, yang mengingatkan bahwa orang memberontak demi eksistensinya (Mohamad, 2019). Masa lalunya sebagai bankir adalah sumber ketidakpekaannya.

Krisis politik terbesar Prancis dalam beberapa tahun belakangan sempat berhenti setelah Macron menunda kenaikan harga BBM. Ia tidak punya pilihan selain menaikkan upah minimum sebesar 7 persen atau 100 euro per bulan setelah 2019. Kenaikan pajak bagi pensiunan berpenghasilan rendah dibatalkan dan upah lembur tidak dikenakan pajak lagi. Adapun pengusaha akan didorong untuk membayar bonus akhir tahun bebas pajak. Bagi kabinet Macron, demonstrasi telah menjadi "bencana ekonomi".

Karena tidak puas atas sikap Macron, tuntutan demonstran diperluas dengan pembubaran parlemen dan pemilihan umum baru. Dalam aksi terbarunya, para demonstran menuntut Macron mundur.

Penggerak Gilet Jaune itu adalah orang-orang yang tinggal di pinggiran Prancis, yang kesulitan memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tanpa pemimpin resmi dan mengandalkan media sosial, mereka beraliansi dengan kelas menengah dan pekerja yang frustrasi dengan standar hidup yang terus turun. Aksi Gilet Jaune meluas dan bertahan, menyerupai kelompok penekan permanen, sehingga telah dimanfaatkan, baik oleh partai-partai kanan jauh maupun kiri jauh, yang kurang mendapat dukungan rakyat dalam pemilu terakhir. Mereka berusaha memanfaatkan energi gerakan protes besar ini (Nossiter, 2018).

Para demonstran akhirnya berhasil menekan Presiden Macron untuk membuat "catatan penyesalan" dan "kontrak nasional" baru. Macron gagal memahami karakter masyarakat Prancis yang revolusioner. Ia terlalu meremehkan aksi unjuk rasa.

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus