Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PELAKSANA tugas Gubernur DKI Jakarta, Soni Sumarsono, bukanlah Basuki Tjahaja Purnama. Soni jauh lebih pragmatis melihat masalah yang dihadapi pemerintah daerah dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah DKI Jakarta 2017.
Basuki, saat menjabat Gubernur DKI, berkukuh menolak berbagai proyek titipan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DKI. Akibatnya, pembahasan rancangan APBD 2016 macet dan pemerintah terpaksa memakai anggaran tahun sebelumnya. Sebaliknya, Soni kini menerima proyek-proyek titipan legislator untuk mempercepat lolosnya rancangan anggaran 2017. Dia memilih "main aman" agar APBD segera disetujui Dewan.
Ada ribuan usul proyek pengajuan Dewan yang masuk rancangan APBD DKI 2017. Di antaranya pengadaan gerobak motor pengangkut sampah senilai Rp 25 miliar, yang kemudian membengkak menjadi Rp 50 miliar setelah masuk tahap pembahasan di Dewan. Ada juga pengadaan kontainer kebersihan senilai Rp 4,31 miliar dan pengadaan gerobak sampah Rp 876 juta.
Dewan tentu boleh mengajukan usul proyek. Menurut peraturan, bahkan masyarakat umum pun dapat mengusulkan program. Untuk mekanisme ini, jalannya sudah disiapkan, yakni melalui musyawarah perencanaan pembangunan.
Proses pengajuan itu berjenjang dari tingkat kelurahan hingga provinsi. Tapi, kalau alasan Soni menerima usul proyek dari Dewan hanya supaya rancangan anggaran segera diloloskan, itu bukan alasan yang bisa diterima. Sebagai pelaksana tugas kepala daerah yang tetap harus bertanggung jawab atas penggunaan anggaran, Soni mesti menimbang seberapa layak dan bermanfaat usul proyek itu bagi daerahnya.
Pemerintah harus hati-hati karena barter semacam ini sangat mudah ditelikung dan berpotensi menjadi korupsi politik. Para anggota Dewan itu tentu saja punya kepentingan agar proyek-proyek pemerintah juga memenuhi kebutuhan konstituen dan visi partainya. Dalam korupsi politik, para legislator punya agenda untuk terpilih kembali. Ini membuat mereka cenderung mempertahankan atau memanipulasi kebijakan demi kelompok-kelompok kepentingan tertentu. Dampaknya adalah kebijakan itu, misalnya, hanya bermanfaat bagi kelompok masyarakat atau daerah tertentu. Dalam bentuk yang sama buruknya, proyek-proyek itu berpotensi diselewengkan untuk kepentingan keluarga atau kerabat legislator yang mengusulkannya.
Pemerintah harus mewaspadai kemungkinan adanya udang di balik batu. Soni semestinya lebih hati-hati. Usul-usul tambahan itu tak boleh ditelan begitu saja, tapi mesti dikaji kelayakannya dan ditentukan mana yang menjadi prioritas. Proyek itu juga harus sesuai dengan cetak biru pembangunan Jakarta, bukan sekadar proyek tambahan di sana-sini tanpa jelas juntrungannya. Pemerintah mesti memastikan proyek itu benar-benar bermanfaat bagi semua lapisan masyarakat.
Kalaupun usul-usul itu memang pantas dilaksanakan, semua prosedur pengamanan anggaran mesti dijalankan dengan ketat. Aspek transparansi dan pertanggungjawaban tetap harus menjadi acuan. Penggunaannya mesti diawasi dengan cermat sehingga anggaran itu betul-betul dimanfaatkan dengan baik dan tidak diselewengkan. Peluang terjadinya korupsi harus ditutup dengan pengawasan dan evaluasi yang ketat. Bila perlu, pemerintah dapat mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi untuk turut membantu mengawasinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo