Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERMOHONAN uji materi untuk memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi hingga yang bersangkutan berusia 70 tahun sungguh konyol. Argumen yang melandasi keinginan ini tidak kukuh. Justru mudarat dari masa jabatan hakim sampai seumur itu amat besar: membuat hakim konstitusi semakin sewenang-wenang.
Lemahnya argumen itu terlihat dalam permohonan yang diajukan Pusat Kajian Masalah Strategis Universitas Indonesia. Lembaga inilah yang meminta uji materi atas Pasal 22 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Aturan yang membatasi masa jabatan hakim konstitusi maksimal dua periode atau sepuluh tahun ini dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Hanya, Pusat Kajian tidak mampu menunjukkan hal yang benar-benar bertabrakan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Soalnya, Pasal 24 UUD 1945 yang disebut sebagai batu uji oleh pemohon hanya mengatur masalah umum, yakni peradilan yang merdeka. Bahkan Pasal 24-C UUD 1945 menyerahkan pengaturan tentang pemberhentian dan pengangkatan hakim konstitusi pada undang-undang.
Alasan pemohon bahwa masa jabatan seumur hidup —mengingat angka harapan hidup orang Indonesia kini 70,66 tahun — bisa membikin hakim konstitusi lebih independen sungguh aneh. Justru yang terjadi bisa sebaliknya. Independensi hakim konstitusi akan semakin terancam. Hakim konstitusi tetap rentan disusupi kepentingan pihak luar dan kepentingan politik, tapi tidak bisa dikoreksi atau diganti sampai ia meninggal.
Dalih bahwa aturan masa jabatan hakim konstitusi diskriminatif juga tidak tepat. Betul, ada periodisasi hakim konstitusi, yakni selama lima tahun dan setelah itu bisa dipilih untuk sekali lagi masa jabatan. Tapi keliru jika menyebutkan masa jabatan hakim peradilan yang lain tidak dibatasi. Masa jabatan hakim peradilan umum juga dibatasi, yakni sampai usia pensiun dan bukan seumur hidup.
Risikonya amat besar bila permohonan uji materi itu dikabulkan Mahkamah Konstitusi. Hakim konstitusi semakin tak terkontrol. Padahal mereka mempunyai kekuasaan luar biasa: menguji semua undang-undang dan memutuskan sengketa kewenangan lembaga negara, termasuk mengambil putusan mengenai pemakzulan presiden.
Hakim konstitusi selama ini pun telah cenderung sewenang-wenang. Sejak didirikan pada 2003, Mahkamah Konstitusi banyak membuat putusan yang kontroversial dan menuai kritik masyarakat. Beberapa putusan hakim konstitusi terkesan tidak mendukung upaya pemberantasan korupsi. Mahkamah juga telah menyunat kewenangan Komisi Yudisial sehingga sekarang hanya bisa menyeleksi calon hakim agung. Citra lembaga ini amat terpuruk saat Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa tahun lalu.
Jika ingin menyelamatkan citra Mahkamah, hakim konstitusi sebaiknya menolak permohonan uji materi itu. Pembatasan masa jabatan hakim konstitusi sudah cukup bagus. Masih ada mekanisme kontrol terhadap hakim konstitusi. Bila memang kinerjanya baik, seorang hakim konstitusi dapat dipilih kembali. Namun, apabila jeblok, ia tak usah dicalonkan lagi.
Bahayanya besar bila masa jabatan hakim konstitusi tidak dibatasi. Biarlah soal ini dipikirkan dan diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Kebetulan, revisi Undang-Undang Mahkamah Konstitusi telah masuk daftar tunggu di Badan Legislasi DPR.
Tak elok hakim konstitusi memutuskan hal yang menyangkut kepentingan diri sendiri. Jika dilakukan, hal ini akan semakin mempertontonkan sikap yang tidak etis sekaligus sewenang-wenang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo