Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DEMO 2 Desember sesungguhnya tak relevan lagi. Tuntutan para pendemo pada 4 November lalu agar pemerintah memproses hukum Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang dituduh menista agama saat menyinggung Surat Al-Maidah ayat 51 di Kepulauan Seribu pada September lalu, sudah dipenuhi. Kepolisian telah menetapkan Basuki sebagai tersangka—kendati penetapan itu terkesan dipaksakan.
Kemudian, dengan kecepatan melebihi perkara lain, Kejaksaan Agung pun menyatakan perkara Basuki atau Ahok berstatus "P21"—memenuhi syarat untuk dibawa ke pengadilan. Tuntutan lain pendemo 4 November agar Ahok ditahan, yang "ditagihkan" pada demo 2 Desember, jelas bukan perkara yang bisa didesakkan dari jalanan. Penahanan seorang tersangka harus memenuhi syarat obyektif dan syarat subyektif. Dalam pandangan Kepala Kepolisian RI Jenderal Tito Karnavian pada konferensi pers 16 November lalu, kedua syarat itu tidak terpenuhi.
Syarat obyektif, adanya keputusan mutlak kasus ini tergolong pidana, tidak tercapai karena pendapat penyelidik kepolisian terbelah. Tiga syarat subyektif juga tidak terpenuhi. Pertama, kekhawatiran Ahok kabur tak akan terjadi, karena penyelidik kepolisian sudah melakukan cekal. Kedua, kekhawatiran Ahok menghilangkan barang bukti juga mustahil, lantaran video pembicaraannya di Kepulauan Seribu sudah bertebaran di mana-mana. Ketiga, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana mengatur kekhawatiran tersangka mengulangi perbuatannya, yang dalam kasus Ahok rasanya juga tak mungkin—kecuali dia menderita semacam "kelainan jiwa".
Dalam hal penahanan Ahok, sejauh ini sikap Kejaksaan Agung tidak berbeda dengan kepolisian. Kepala daerah Jakarta itu dinilai kooperatif sampai pelimpahan berkas tahap kedua. Penahanan memang urusan penegak hukum, yang mesti dipastikan tidak ditentukan tekanan massa seberapa pun besarnya.
Apa pun alasannya, unjuk rasa 2 Desember tetap saja merupakan hak warga negara yang dijamin konstitusi. Usaha kepolisian mengatur pelaksanaan unjuk rasa itu terlihat cukup terencana. Kepolisian secara intensif mendekati organisasi-organisasi kemasyarakatan Islam. Bahkan Kepala Polri untuk pertama kali tampil satu panggung dengan Rizieq Shihab, pendiri Front Pembela Islam (FPI), kelompok yang selama ini dianggap radikal, demi mencapai kesepakatan bahwa demo hanya dilaksanakan di lapangan Monas, Jakarta. Presiden dan Wakil Presiden juga ikut melakukan salat Jumat bersama massa pengunjuk rasa di tengah hujan. Yang menarik, pemerintah daerah Jakarta, yang pemimpinnya menjadi sasaran utama unjuk rasa—meski kini tengah cuti kampanye—tetap melayani pendemo dengan membangun beberapa tenda toilet dan mobil pemadam kebakaran yang dijadikan tempat wudu di Monas.
Sikap "ramah-tamah" dan tindakan preventif itu semestinya tidak berarti polisi takut terhadap tuntutan massa dalam jumlah besar. Polisi tidak boleh membiarkan diri terseret arus tuntutan massa, seperti yang terkesan ketika menetapkan Ahok sebagai tersangka. Meskipun merupakan sebuah blunder, pernyataan Ahok di Kepulauan Seribu tidak bisa digolongkan sebagai tindakan menista agama. Sulit menemukan unsur mens rea atau niat jahat dalam pembicaraan Ahok, yang selama kepemimpinannya sudah membangun beberapa masjid di Jakarta.
Sikap profesional kepolisian juga mesti ditunjukkan dalam menangani "penumpang gelap" unjuk rasa 2 Desember. Polisi yang menangkap setidaknya sepuluh aktivis—antara lain Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Rachmawati Soekarnoputri, dan Ahmad Dhani—mesti mencari bukti-bukti yang kuat untuk mendukung pernyataan bahwa para aktivis itu melakukan tindakan makar untuk menggulingkan pemerintah Presiden Joko Widodo.
Hukum yang mudah ditaklukkan tekanan massa hanya akan membawa Indonesia menjadi negeri mobocracy—meminjam filsuf Aristoteles pada awal kelahiran demokrasi. Dia menunjuk keadaan ketika hukum ditentukan oleh kerumunan massa, satu kondisi buruk yang rentan anarkisme. Yang lebih mencemaskan dari rapuhnya hukum, kasus Ahok sangat mungkin menjadi preseden: siapa saja bisa ditetapkan sebagai tersangka lantaran tekanan massa. Tidak seorang pun yang berpikiran sehat boleh membiarkan keadaan buruk itu terjadi di negeri ini.
Kasus Ahok sudah berada pada jalur semestinya. Tugas kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan setelah unjuk rasa 2 Desember adalah memastikan tak ada intervensi dari mana pun terhadap kasus ini, termasuk tekanan massa. Kepolisian semestinya menindak mereka yang memaksakan kehendak sendiri terhadap kasus orang nomor satu DKI Jakarta itu.
Penghormatan kepada hukum itu merupakan syarat penting untuk mematangkan demokrasi di negeri ini. Mereka yang anti-Ahok, juga yang mendukungnya, mesti menerima apa pun putusan pengadilan nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo