Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Berita Tempo Plus

Makna Ambigu Kabur Aja Dulu

Setyaningsih

Setyaningsih

ESAIS, PEKERJA BUKU DI PENERBIT BABON, BOYOLALI, JAWA TENGAH

Kata kabur dalam “kabur aja dulu” bersifat ambigu, maknanya tergantung konteks kalimatnya.

23 Februari 2025 | 08.30 WIB

Ilustrasi: Alvin Siregar
Perbesar
Ilustrasi: Alvin Siregar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Ringkasan Berita

  • Seruan #KaburAjaDulu adalah ekspresi kegelisahan atas berbagai masalah di negeri ini.

  • Kata 'kabur' bersifat taksa karena dapat bermakna positif ataupun negatif, tergantung konteks kalimatnya.

  • Gerakan 'Indonesia Gelap' adalah ekspresi lain dari kegelisahan ini.

"KAMU mau atau enggak jadi warga negara Jepang?” Belakangan, jika mendengar pertanyaan ini dilontarkan kerabat atau teman karib, alih-alih perasaan semringah atau antusias, justru rasa putus harapanlah yang mencuat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Pertanyaan ini secara tidak langsung memperkuat tanda pagar yang belakangan muncul di media sosial: #KaburAjaDulu. Bukan sekadar tren unggahan, tagar ini menunjukkan kekecewaan komunal kepada negara, yang makin buruk mengupayakan kehidupan layak bagi segenap warga negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Jika menelusuri tagar #KaburAjaDulu di Instagram, misalnya, Anda akan menemukan ragam unggahan, dari lowongan kerja di luar negeri, melanjutkan studi, pindah rumah, berganti kewarganegaraan, sekadar singgah atau piknik dengan menunjukkan foto paspor, sampai peluang beasiswa ke luar negeri dengan penekanan “enggak wajib pulang ke Indonesia”.

Nyaris setiap hal yang disarankan oleh unggahan-unggahan ini bentuknya legal, bukan asal pergi tanpa berpamitan, apalagi tanpa menyiapkan dokumen penting. Meskipun demikian, ada juga unggahan yang terkesan tengil dan menyindir, seperti “Kabur aja dulu, bayar cicilan kapan-kapan” atau “Dijelek-jelekin saya diam. Dihina-hina, direndahkan, saya juga diam. Didemo... saya kabur”.

Denotasi kabur memang cenderung buruk, apalagi jika dikaitkan dengan kaum muda atau generasi Z yang dicitrakan manja, sulit diajak bekerja sama, individual, atau tidak tahan banting dalam konteks #KaburAjaDulu. Itu diteguhkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kelima (2018) yang mendefinisikan kabur sebagai “berlari cepat-cepat; melarikan diri; meninggalkan tugas (pekerjaan, keluarga, dsb) tanpa pamit; menghilang”.

Kabur membawa impresi tidak bertanggung jawab. Namun justru dari denotasi yang buruk inilah “pembangkangan sipil” itu menemukan suaranya.

Kamus itu memang tak cukup menampung makna kabur yang positif, misalnya “dia kabur dari kejaran preman” atau “kabur dari serangan Israel” yang sebenarnya bermakna menyelamatkan diri. “Para pengungsi Rohingya yang kabur untuk menghindari persekusi militer Myanmar” juga contoh lain dari makna kabur yang positif.

Ini terjadi karena spektrum makna kabur yang luas. Bandingkan dengan bahasa Inggris, misalnya, yang tak punya istilah umum yang sepadan dengan kabur. Ada kata escape, yang agak dekat dengan kabur, yang berasal dari bahasa Latin excappare, yang secara harfiah berarti “keluar dari mantel”.

Menurut Cambridge Dictionary, escape berarti “terbebas dari sesuatu seperti penjara atau kurungan, atau dari seseorang yang tidak mengizinkan Anda pergi”. Kata ini dekat dengan avoid (menghindar) sehingga ada frasa escape punishment untuk menghindari hukuman.

Bahasa Inggris juga punya flee untuk kabur atau melarikan diri, terutama karena bahaya atau ketakutan. Kalimat “dia kabur dari kejaran preman” adalah contoh yang pas untuk pengertian flee.

Ketaksaan kabur itulah yang membuat kita tak mudah menilai apakah #KaburAjaDulu tersebut sesuatu yang baik atau buruk. Meskipun demikian, meninggalkan atau kembali ke negaranya adalah hak setiap warga negara yang dilindungi oleh hukum internasional. Tak ada satu pun presiden atau perdana menteri yang dapat menghalangi orang pindah ke negara lain untuk sementara atau selamanya.

Mereka sebetulnya sedang prihatin terhadap kondisi Tanah Air yang dikepung masalah, dari kebijakan yang membuat elpiji 3 kilogram atau gas melon langka, penghancuran hutan, pemutusan hubungan kerja dengan dalih efisiensi anggaran, kenaikan tarif pajak, kinerja birokrasi yang kurang sat-set, pejabat korup, pagar laut, sampai utang untuk membiayai makan bergizi gratis.

Orang-orang sudah lelah dan mereka perlu melepas segala jerit emosi melalui bahasa. Gerakan “Indonesia Gelap”, yang ditandai unjuk rasa mahasiswa sepanjang pekan lalu, adalah ekspresi lain dari kegelisahan ini.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini terbitr di bawah judul Kabur Aja Dulu

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus