Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Gaya hidup sederhana bisa jadi alternatif dalam kapitalisme yang mencengkam.
Gaya hidup ugahari sudah menjadi jalan alternatif yang ditawarkan ekonom.
Bermewah-mewah bukan solusi masa depan.
DI New York, di Great Hall Cooper Union—aula serbaguna dalam Gedung Foundation yang berwarna kecokelatan—Jürgen Habermas berceramah tentang “embedded capitalism”. Ketika itu musim gugur 2009, ratusan orang mendengarkan sang filsuf berpidato tentang sistem ekonomi kapitalisme global yang merasuk dalam budaya dan politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Katanya, demokrasi akan menjadi sekadar fasad, sementara politik mengurus program dan pembiayaan pemerintahan. Tiap individu, kata Habermas, hanya bisa bernaung dalam gelembung kepentingan pribadi masing-masing. Gerakan masyarakat sipil melemah karena politik punya jalan resmi untuk menampung aspirasi dan protes.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Indonesia, anggaran belanja pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dipotong drastis. Sebanyak Rp 306 triliun dipangkas untuk membiayai program populis makan bergizi gratis. Ruang fiskal negara menyempit dan jatuh tempo utang pemerintah telah di depan mata. Pendapatan kelas menengah melorot, penganggur kelas terpelajar meningkat. Semua tampaknya dibiarkan pemerintah agar semua problem itu mencari jalan keluarnya sendiri.
Pada 1970, Soedjatmoko mengajukan gagasan agar agama dan tradisi di Asia mencari alternatif solusi. Ketika itu pembangunan dirasa makin pragmatis. Beberapa ideologi sekuler telah menunjukkan diri sebagai kekuatan integratif dan memberi motivasi yang besar. Gagasan Soedjatmoko diajukan tentu bukan dengan sikap milenarian yang utopis, tapi dengan memberi nilai atau rasa akan makna transendental. Secara praktis model teknologi madya dianggap lebih tepat sebagai jalan adaptasi masyarakat agamis, demikian Soedjatmoko dalam Etika Pembebasan.
Tak lama setelah itu, pada 1973, E.F. Schumacher menerbitkan buku Small is Beautiful: A Study of Economics as if People Mattered. Di sana ia menulis tentang jalan madya ekonomi budhistis yang dasarnya ialah kesederhanaan dan sikap nirkekerasan. Gagasan ini dianggap sebagai alternatif atas model kreativitas kapitalisme yang destruktif. Saking populernya, di Indonesia buku ini dicetak ulang hingga enam kali sejak edisi terjemahannya pertama kali diterbitkan pada 1979.
Di simpang jalan kemenangan kapitalisme—yang lantas menjadi program neoliberalisme lewat kudeta Pinochet di Cile pada 1973—kita setidaknya ditemani oleh para intelektual untuk memahami situasi sehari-hari. Memang gagasan Soedjatmoko tak pernah lagi jadi pertimbangan perencanaan nasional pembangunan ekonomi Indonesia. Ide Schumacher pun tak lagi ditoleh terutama karena ia terlalu banyak menjadikan Burma sebagai contoh.
Pada 2025 ini, dalam situasi ekonomi yang makin mengabaikan gagasan-gagasan alternatif, sebagian warga Indonesia menghadapinya dengan praktik yang terkesan alternatif: frugal living, belanja thrifting, dan mencari ketenangan hidup dalam slow living. Gaya hidup ugahari ini menjadi siasat pribadi agar selamat sambil menunjukkan bahwa ia tetap bisa eksis berbelanja. Menurut saya, ini bukan perlawanan ideologis.
Tampaknya ada yang ambigu di sini. Makna frugal, bersahaja, diambil dari kata Latin frugalis, dan berakar dari kata frux yang berarti buah, untung, atau nilai. Kata thrift, yang berarti hemat, muncul dari bahasa Nordik kuno, yaitu trifa, artinya meraih. Kata ini juga menyumbang arti pada kata thrive yang maknanya berkembang. Maka sikap bajik, yaitu bersahaja dan hemat, menyimpan pesan utilitarian. Semua kebajikanmu bermanfaat besar dan karenanya kau akan kaya.
Dalam analisis kritis filsuf Emrys Westacott, The Wisdom of Frugality: Why Less Is More - More or Less, kebajikan menjadi ambigu karena kata itu—virtues dan juga sikap cela atau vices—makna positif atau negatifnya ditentukan oleh situasi sosial. Loba atau boros, misalnya, dianggap cela meski nyatanya telah menggerakkan konsumsi publik dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, menabung, sesuatu yang dilihat sebagai virtues, malah diyakini merupakan sikap berleha-leha.
Ekonom kondang Paul Krugman dalam analisisnya saat Amerika mengalami resesi tahun 2008 mencatat bahwa situasi ekonomi yang buruk terjadi bukan akibat kurangnya kemampuan produksi, melainkan karena lemahnya permintaan. Pemotongan anggaran, katanya, telah mengakibatkan tak ada orang yang mau berbelanja. Dengan demikian, sikap bajik atau cela tak pernah senantiasa bisa kita andalkan. Kapitalisme telah membuat situasi dan pilihan kita menjadi mudah guyah.
Hasil survei Gallup pada 2012 atas 450 ribu responden (mirip dengan hasil studi Purdue University, 2010) bisa dianggap jadi pegangan: pendapatan US$ 75 ribu per tahun adalah garis batas kepuasan hidup. Berpendapatan lebih dari itu akan membuat hidup sekadar mencari-cari kemewahan saja. Tentu ada variasi “kurang-lebih” atas jumlah ini saat dihitung dan diterapkan di berbagai negara.
Saya pernah bekerja empat tahun di Eropa, dan gaji saya sekitar US$ 75 ribu per tahun. Saya merasa cukup: bisa berhemat dan bersama keluarga menikmati liburan yang sederhana. Kami bermalam di hotel “budget” dan tiap hari naik angkutan publik.
Sebelumnya, saya 10 tahun bekerja di Jakarta, dengan gaji Rp 7,5 juta sebulan. Saya waswas saat berbelanja, suasana kerja terasa sengit, mudah lelah dan kalau baca koran hanya menyukai kolom mobil bekas.
Kapitalisme yang menghunjam kehidupan sehari-hari telah memaksa kita menetapkan banyak hal dengan ukuran uang—sesuatu yang sekaligus membantu kita menetapkan angka kepuasan hidup. Tapi kita juga jadi tahu bagaimana menetapkan garis keserakahan: siapa saja yang meraup gaji lebih dari US$ 75 ribu per tahun. ●
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo