Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DARI sebuah laman terbaca judul: “Kisah Mengharu-Biru Perempuan Miskin Pemecah Batu”. Bagi pembaca, kisah itu memang mengharukan, tapi apakah kisah itu mengharubirukan? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), haru biru bermakna “kerusuhan; keributan; kekacauan; huru-hara”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di benak banyak orang saat ini makna itu jauh dari yang mereka pahami. Kontan saja hal itu menerbitkan sejumlah pertanyaan bahkan gugatan pada kamus tersebut. Di sisi lain, ada juga tulisan yang membahas “kekeliruan” pemaknaan kata haru biru itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kata haru biru memang bermakna kekacauan seperti ditunjukkan dalam korpus. Dalam Sair akan Peringatan Tjarita Pri Hal Negri Atjeh (1875) tercatat: “negeri maoe hoeroe-hara lantaran ada sadja, haroe biroe seperti satoe sengadja”. Dalam Kitab Kaadilan Hoekoeman Boeat Hindia Nederland (1931), yang kini kita sebut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, tercatat: “orang jang sengadja dengan mengadakan haroe-biroe atau dengan bikin kaloet mengharoekan soewatoe perhimpoenan jang di idzinkan dan di djalankan di hadapan orang banjak haroes di hoekoem dengan hoekoeman boewi lama-lamanja tiga minggoe atau denda anam poeloeh roepiah”. Dalam Kitab Boenga Rampai (1890) tercatat: “Adapoen saperti sėgala mareka itoe orang Atjih, jang memboewat hiroe-biroe di laoet itoe, boekannja orang itoe anak boewah beita”. Dalam Kitab Adat Sopan Santoen Orang Minangkabau (1922) tercatat: “dalam kerapatan ta' boleh hiroe biroe atau riboet sadja melakoekan sesoeka-soeka hati”.
Dalam bahasa Indonesia sebetulnya kata haru berhomonim. Haru pertama bermakna “rawan hati (kasihan, iba, dan sebagainya) karena mendengar atau melihat sesuatu”. Haru kedua berasal dari bahasa Minangkabau: aru atau haru yang bermakna “kacau”. Kamoes Bahasa Minangkabau-Bahasa Melajoe-Riau (1935) mencatat kata haroe-biroe, hiroe-biroe. haroe-hara, hoeroe hara.
Di sinilah letak soalnya. Kata haru biru tidak diturunkan dari kata haru pertama yang bermakna “rawan hati”. Kata haru dalam bahasa Minangkabau menurunkan bentuk haru biru atau hiru biru. Variasi bentuk itu mungkin terjadi karena pembacaan yang berbeda ketika kata tersebut ditulis dalam aksara Arab-Melayu. Menurut Gonda (Some Remarks on Onomatopoeia, Sound-Symbolism and Word Formation, 1940), haru biru merupakan pengulangan kata pendek dengan variasi yang termasuk tipe kelima dari tujuh tipe pengulangan, setipe dengan pepak renak dan rempah pawah. Salah satu fungsi pengulangan tersebut adalah mengintensifkan makna.
Dengan demikian, makna haru biru masih terkait dengan makna haru. Kata biru pada haru biru tidak mengacu pada warna. Kata biru merupakan pengulangan variatif dari haru yang berfungsi mengintensifkan makna kata haru.
Bagaimana kemudian terbentuk asosiasi pada penutur bahwa haru biru terkait dengan makna kerawanan hati yang berujung kesedihan atau keibaan? Ada beberapa kemungkinan. Pertama, adanya kesenjangan informasi terkait dengan kehomoniman kata tersebut karena, dalam kamus-kamus modern, haru biru menjadi lema sendiri, terpisah dari lema haru. Alasannya, kata haru biru sudah produktif menurunkan bentuk lain, seperti mengharu biru, mengharubirukan, terharu biru. Kedua, penutur berasosiasi dengan informasi makna biru dalam beragam konteks, termasuk konteks dalam bahasa lain. Sebagai contoh, dalam bahasa Inggris, kata biru memiliki makna figuratif: depresi, hilang semangat, sedih, kecewa, putus asa, sengsara, melankolis. Makna itu muncul dalam frasa seperti to look blue, to feel blue.
Lalu bagaimana menyikapi fakta kebahasaan yang ada terkait dengan pemaknaan kata haru biru? Kalau kita memahami bahwa makna kata akan selalu berkembang, kita dapat menambahkan makna yang terkait dengan medan makna “kerawanan hati” pada lema haru biru yang sudah ada dalam kamus. Pilihan kedua, kalau kita memahami juga bahwa bentuk kata mungkin berkembang, kita dapat menambahkan bentuk gabung haru biru di bawah lema haru homonim pertama yang bermakna “kerawanan hati”. Dengan demikian, kita memiliki dua lema haru biru dengan dua makna yang berbeda karena terbentuk dari dua lema haru yang berbeda pula.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo