Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEORANG kawan bertanya: “Kapan kita menggunakan pergi dan berangkat?” Sekilas, pertanyaan itu terkesan bodoh dan retoris. Namun rupanya pertanyaan itulah yang kemudian membuat saya benar-benar berpikir tentang makna dua kata tersebut.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ingatan saya kembali pada pelajaran bahasa Indonesia. Lewat cerita-cerita di teks bacaan, lema pergi dan berangkat itu mudah kita temukan. Mulanya saya malah curiga terhadap pengalaman saya dalam membaca teks tersebut karena dua lema itu sudah lama terkooptasi dan melahirkan situasi bias gender.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kalimat yang biasanya menggambarkannya adalah pengisahan situasi di dalam rumah ketika pagi hari. Bapak berangkat ke kantor, sementara ibu pergi ke pasar. Pengisahan ini bermasalah dan terus terwariskan ke anak-anak sekolah. Bisa jadi pelajaran bahasa Indonesia sampai abad XXI belum bisa mengurai permasalahan yang telanjur langgeng tersebut.
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) memuat tiga arti lema pergi, yakni (1) berjalan (bergerak) maju, (2) meninggalkan (suatu tempat), dan (3) berangkat. Meskipun telah termaktub dalam makna lema pergi, KBBI memberikan arti berangkat berupa: (1) mulai berjalan (pergi, bepergian) dan (2) mulai menjadi (besar, akil balig); beranjak. Kita mulai ragu terhadap keterangan ini.
Sebagai orang bodoh, saya tergerak mencari pengisahan dua lema tersebut. Saya teringat pada lagu “Kereta Malam” (1973) karya Rhoma Irama yang dipopulerkan oleh penyanyi Elvy Sukaesih. Di lirik lagunya kita mendapati penggunaan pergi dan berangkat: “Pernah sekali aku pergi/Dari Jakarta ke Surabaya/Untuk menengok Nenek di sana/Mengendarai kereta malam”. Kata pergi di sini menggambarkan dimensi jarak. Pergi itu berurusan dengan perjalanan jauh.
Sementara itu, kata berangkat terdapat dalam lirik: “Jug, gijak-gijuk, gijak-gijuk/Kereta berangkat/Jug, gijak-gijuk, gijak-gijuk/Hatiku gembira”. Berangkat menautkan dimensi waktu seketika. Ini yang membuat kita mafhum bahwa di stasiun, bandar udara, hingga terminal bus yang dimunculkan adalah jadwal keberangkatan, bukan jadwal kepergian. Kendati orang-orang naik bus, pesawat, ataupun kereta untuk bepergian lama, moda transportasi kita memilih berangkat.
Pergi mengingatkan saya pada lagu “Pergilah Kasih” (1991) ciptaan Chrisye: “Pergilah kasih kejarlah keinginanmu/Selagi masih ada waktu”. Makna pergi dalam lirik itu menunjukkan jarak yang jauh, bisa dimaklumi bila banyak orang yang patah hati mengubahnya menjadi “Pergilah kasih kejarlah selingkuhanmu”. Pergi di sini dimaknai merelakan kekasihnya dan mungkin tiada kesempatan untuk kembali lagi.
Penggambaran yang sama terlihat dalam puisi Saras Dewi, “Amanat”, dalam buku kumpulan puisinya, Kekasih Teluk (2022). Saras menulis: “Menggunakan sayap dari besi/Aku pergi meninggalkan negara tempatku dilahirkan/Desa tempatku bercanda kanak-kanak/Kota tempatku dibesarkan”.
Meski KBBI memberikan pengertian pergi dan berangkat sebagai kata kerja yang bermakna sama, saya berkukuh tak lekas menerimanya. Bagi saya, perkara-perkara di atas perlu dijadikan pertimbangan lanjutan lebih rinci dalam memberi penjelasan dan juga penggunaannya.
Ada cendekiawan Nahdlatul Ulama, Kiai Saifuddin Zuhri (1919-1986), yang pernah menjabat Menteri Agama. Salah satu warisan pemikirannya tertuang dalam buku Berangkat dari Pesantren (1987). Bagi saya, dulu ia memikirkan betul makna pergi dan berangkat untuk judul bukunya. Bisa dibayangkan jika dulu ia menggunakan lema pergi, pastilah judul itu memiliki konotasi buruk. Pergi terkesan meninggalkan dan tidak akan kembali lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Kapan Kita Pergi dan Berangkat"