Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROGRAM pemberian makanan tambahan Kota Depok, Jawa Barat, untuk mencegah anak-anak tumbuh kontet (stunting) menuai kritik. Sebab, menu makanan hanya berisi kuah sup, sawi, dan tahu atau dua bungkus otak-otak dan nasi. Padahal anggaran untuk program ini cukup besar: Rp 4,4 miliar atau Rp 18 ribu per paket makanan. Dengan angka ini, memang semestinya menu makanan bisa jauh lebih bergizi. Karena kritik itu, Pemerintah Kota Depok menghentikan program ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Joko Widodo, dalam pembukaan Rapat Koordinasi Nasional Pengawasan Intern Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, mengatakan realisasi anggaran pencegahan stunting sebesar Rp 10 miliar lebih banyak digunakan untuk rapat dan perjalanan dinas ketimbang penyaluran program perbaikan gizi. Jadi kasus di Kota Depok bukan kasus baru. Ia hanya menegaskan kebobrokan pelaksanaan program pembangunan di lapangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Memang, di sektor pembangunan manusia, pemerintah selalu menggelontorkan anggaran dana dengan jumlah selalu meningkat dari waktu ke waktu. Di sektor kesehatan, misalnya, anggaran pada 2015 sebesar Rp 69,30 triliun, naik menjadi Rp 169,8 triliun pada 2023, lalu Rp 186,4 triliun pada tahun depan. Bahkan, untuk menangani pandemi Covid-19, anggaran kesehatan mencapai Rp 312,4 triliun pada 2021. Kenaikan anggaran juga terjadi di sektor pembangunan manusia lain, seperti pendidikan dan pelindungan sosial. Tentu ada faktor pertambahan jumlah penduduk dan patokan anggaran negara untuk pendidikan 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta kesehatan 5 persen. Namun, nyatanya, kenaikan pagu anggaran tidak berbanding lurus dengan capaian.
Human Capital Index yang mengukur kualitas sumber daya manusia menunjukkan skor Indonesia 0,54—di bawah rata-rata negara di Asia Timur dan Asia-Pasifik (0,59) serta negara maju (0,56)—menurut Bank Dunia pada 2020. Begitu pula data terbaru pada 2022 mengenai indeks inovasi, talenta, dan daya saing, posisi Indonesia di Global Innovation Index berada di urutan ke-75 dari 132 negara, Global Talent Competitiveness Index ke-82 dari 133 negara, dan Global Competitiveness Ranking ke-51 dari 63 negara. Ini semua menunjukkan posisi Indonesia yang berada di bawah rata-rata global. Bahkan, dalam hal kecerdasan rata-rata yang diukur lewat IQ, Indonesia menempati posisi ke-10 dari 11 negara ASEAN.
Data ini membuka kenyataan bahwa besarnya anggaran yang digerojokkan untuk berbagai program pembangunan manusia lenyap terserap, tapi tanpa hasil. Mengapa itu bisa terjadi? Jawabannya jelas: rusaknya tata kelola program pembangunan manusia.
Worldwide Governance Indicators 2022 mencatat tiga dari enam indikator tata kelola pemerintah Indonesia rendah: penegakan hukum hanya 45,3 dari 100, pemberantasan korupsi 37,7 dari 100, dan stabilitas politik serta pencegahan kekerasan/terorisme hanya 29,2 dari skor 100. Dari ketiga indikator ini, pemberantasan korupsi paling erat kaitannya dengan program bantuan sosial berupa uang tunai, barang mentah (beras, gula pasir, dan minyak), atau asupan makanan bergizi secara rutin.
Jamak kita ketahui, bantuan langsung kepada masyarakat acap menjadi bancakan korupsi. Karut-marutnya program bantuan sosial selama masa pandemi Covid-19 adalah contoh nyata kegagalan implementasi kebijakan karena buruknya kinerja birokrasi dan korupsi yang sistematis. Dalam laporan evaluasi realisasi bantuan sosial untuk Covid-19 oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) bersama simpul jaringan masyarakat sipil, ditemukan banyak persoalan mengenai sistem data dan pendataan yang berujung pemotongan bantuan sosial dan pungutan liar. Di Kabupaten Gianyar, Bali, terungkap data distribusi bantuan sosial tunai kedaluwarsa karena merupakan data pada 2011. Akibatnya, 560 keluarga dari 45 desa menjadi penerima ganda. Selain itu, banyak aparatur sipil negara (ASN) yang menerima bantuan, sementara buruh korban pemutusan hubungan kerja malah terlewat. Kasus korupsi dana bantuan sosial ini ternyata tidak hanya ditemukan di daerah, tapi juga di pemerintah pusat, terutama di Kementerian Sosial (ICW, 2021).
Buruknya tata kelola sering muncul dalam wajah korupsi atau sebaliknya. Tata kelola pemerintah yang buruk menjadi ladang subur korupsi, sementara banyaknya korupsi memperburuk tata kelola yang rusak. Bagaimana mengobatinya?
Ada beberapa standar kunci: transparansi, kemampuan berpengetahuan, dan kepatuhan terhadap hukum dan aturan. Transparansi berarti membuka semua aktivitas pemerintah agar publik bisa memberikan pengawasan secara utuh (Lathrop & Uma, 2010). Keterbukaan informasi memberikan hak kepada warga negara untuk bisa meminta informasi dan pemerintah berkewajiban memberikannya atau menjelaskan mengapa tidak memberikannya.
Indonesia sudah menerapkan hal ini. Ada setidaknya empat kategori informasi yang wajib diberikan kepada publik menurut Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik: informasi yang berkaitan dengan badan publik, kegiatan dan kinerja badan publik, laporan keuangan, dan/atau informasi lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Secara umum, Indeks Keterbukaan Informasi Publik Indonesia 2023 mendapat skor cukup baik (75,40/100), menurut laporan Komisi Informasi.
Adapun kemampuan berpengetahuan merujuk pada kemampuan, pengetahuan, dan pengalaman yang harus dikuasai ASN sebagai sumber daya manusia birokrasi, yakni subyek tata kelola pemerintahan. Kemampuan ini perlu dimiliki untuk membuat perencanaan, menjalankan implementasi dan eksekusi, melakukan evaluasi dan pemantauan, hingga memastikan pengendalian pembangunan, yang semuanya berdasarkan pengetahuan (evidence-based) (Stoker & Evans, 2016).
Itulah sebabnya penting terus mendorong perbaikan manajemen talenta pegawai negeri sipil yang saat ini terkesan apa adanya, bahkan malah cenderung lamban tak mengikuti zaman. Perlu badan otoritatif yang berfokus pada pengembangan talenta ASN, dari penjaringan bibit unggul, pengembangan kapasitas, penugasan, hingga pemertahanan mereka untuk bekerja dalam pemerintahan. Dengan cara ini, birokrasi akan memiliki modal manusia yang berkualitas sekaligus berintegritas.
Adapun kepatuhan pada hukum dan aturan memegang peran sentral dalam pemberian legitimasi dan wewenang kepada aparatur pemerintah dalam menjalankan tugas. Adapun peraturan dan regulasi sebagai produk hukum memberikan kerangka kerja untuk tindakan dan pengambilan keputusan. Dalam tata kelola, hukum dan regulasi seharusnya menunjang perbaikan tata kelola, selain menjadi instrumen kontrol kinerja pemerintah (Trebilcock & Daniels, 2008). Kenyataannya, beberapa produk hukum justru melemahkan tata kelola.
Misalnya, revisi Undang-Undang ASN yang awalnya ditujukan untuk membangun korps ASN Indonesia masa depan yang modern, ternyata malah menjadi sangat politis. Contohnya klausa penghapusan Komisi Aparatur Sipil Negara yang dinilai kurang efektif. Pembubaran ini mereduksi sistem merit dan membuka politik jual-beli jabatan dalam pemilihan kepala daerah yang membahayakan kinerja birokrasi di masa depan. Selain itu, adanya jalur khusus tenaga honorer untuk bisa melamar menjadi ASN lewat skema pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja akan menjadi setback upaya sistem merit dalam menjaga kualitas ASN.
Ibarat aliran sungai, pembangunan manusia ada di hulu. Ia mencakup upaya layanan kesehatan, pendidikan, dan penyediaan perlindungan sosial. Sedangkan kinerjanya ada di hilir: daya saing, daya kompetisi, daya inovasi, dan lain-lain. Di antara hulu dan hilir, ada tata kelola. Jika tata kelola pemerintahan buruk, aliran dari hulu tidak akan sampai ke hilir. Pembangunan manusia tidak akan menghasilkan kinerja, berapa pun sumber daya yang digelontorkan ke sana.
Pemilu 2024 adalah kesempatan untuk membenahi tata kelola pemerintahan kita. Syaratnya: mereka yang terpilih untuk posisi eksekutif ataupun legislatif mau mewujudkan komitmen. Kalau tata kelola hanya dipasang dan dipajang sebagai janji manis kampanye tanpa wujud nyata, harapan Indonesia maju tak akan tercapai.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Artikel ini ditulis bersama Ani Nur Mujahidah R, peneliti Nalar Institute. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Pembenahan Tata Kelola Pembangunan Indonesia"