Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KANG Hikmat Gumelar mendedah hikayat Hanafi dan pigura dalam kolom ini pada April lalu. Sebagai “alumnus” Jatinangor, yang sedang beristikamah meniti jalan perkamusan, saya menanggapi tulisan itu. Ada dua hal yang perlu berjawab, yaitu saran bahwa perlu penambahan makna kata dan contoh penggunaan serta penghindaran dari pemaknaan yang menyesatkan dalam kamus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk saran Kang Hikmat, saya sependapat dan berterima kasih karena telah diingatkan kembali terkait dengan fakta bahasa yang ada. Tampaknya penyusun kamus bukannya abai, melainkan menunggu makna “bingkai” untuk pigura diuji oleh waktu dan saya yakin waktu telah mengujinya, sehingga penambahan makna tersebut tinggal menunggu jadwal pemutakhiran kamus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hal penting lain adalah perihal kesesatan makna dengan mempertanyakan sumber pemaknaannya. Kamus memang serupa belantara makna dengan membekukan makna yang pernah ada tanpa meramalkan masa depan makna, tapi selalu siap mencatat perkembangannya. Tanpa pelita yang cukup, saya juga sering tersesat di jurang terdalam belantara itu dan kali ini pelita tersebut perlu kita arahkan ke masa lalu.
Saya belum bersua dengan awal kemunculan pigura dalam bahasa kita, tapi setidaknya kegiatan berloukis sudah dicatatkan untuk schilderen dalam Spraeck Ende Woord-Boeck In De Maleysche (1603). Untuk schilderijen “lukisan”, Roorda sudah mencatatnya dengan pigura: “kita mau bli…ampat pigura” (Verzameling, 1866).
Para pakar dalam Komisi Istilah juga bersepakat memadankan schilderij dengan lukisan, gambaran, dan pigura sebagaimana diumumkan dalam Bahasa dan Budaja (1952). Selanjutnya, Kamus Umum Bahasa Indonesia (1954) mencatat pigura: gambar, lukisan, yang bertahan sampai Kamus Besar Bahasa Indonesia teranyar.
Seperti kesaksian Kang Hikmat, kini sulit menemukan orang yang menggunakan kata pigura dalam arti lukisan. Namun dulu penggunaannya sangat lazim, seperti kesaksian berikut ini. Dalam Atheis (1966), Achdiat menulis: “pada dinding bergantung pula beberapa pigura yang melukiskan potret orang-orang yang tidak kukenal.... Aku berdiri, ingin tahu siapa sebetulnya pigura-pigura itu”. Abbas dalam Kasih Tak Putus (1966) menulis: “di bawah pigura Ngarai itu, terletak satu stel medja”. Selanjutnya, Yakub (Panggilan Tanah Kelahiran, 1985) mencatat: “bebas memeriksa album-album, gambar-gambar, pigura-pigura, patung-patung kecil”, sementara Umar Kayam (Jalan Menikung, 1999) menulis: “di balik jendela yang lebar itu pemandangan alam juga kelihatan berhenti. Nampak seperti pigura lanskap”.
Buku-buku umum lain juga bersaksi. Dalam Kitab Peladjaran Administrasi (1963) tertulis: “sebaiknja dalam kantor diberi hiasan dengan peta-peta, pigura-pigura dan hiasan-hiasan lain”. Tertulis juga dalam buku Dr. Mohamad Amir: Karya dan Pengabdiannya (1986): “tidak salahnja kita membatja Shakespeare, Dante dan Goethe, amat berfaedah kita mengagumi pigura Rembrandt”.
Fakta lain adalah adanya penggunaan kata lis untuk “bingkai”. Dalam Kitap Tjonto Soerat-Soerat Melajoe (1919), Fokker mencatat lijst dan raam untuk “bingkai”. Dalam lampiran majalah terbitan lembaga kebahasaan, Istilah-Istilah (1951), termuat juga kata lijst yang dipadankan dengan bingkai. Karena itu, kemudian muncul bentuk lis pigura atau bingkai pigura, misalnya dalam Perihal Aquarium dan Ikan-Ikan Hias (1962): “maka tepi katja diberi bingkai pigura (lijst). Dengan demikian udjud aquarium ini seolah2 merupakan sebuah lukisan hidup”. Dalam laporan-laporan pemerintah, seperti Jakarta Timur dalam Angka (1977), Perusahaan-Perusahaan Industri (BPS, 1956), dan Lampiran Ketetapan Garis-garis Besar Pola Pembangunan (MPRS, 1969), tercatat berbagai perusahaan yang bergerak di bidang “pembikinan lis pigura”.
Makna “bingkai” untuk pigura bisa jadi muncul karena lesapnya kata lis atau bingkai yang beranalogi pada lis pigura/bingkai pigura atau bisa juga karena kesalahkaprahan berubah kaprah. Semoga kita bisa bersepakat: makna yang sudah ada tidaklah sesat dan makna yang belum tercatat tidaklah haram. Keduanya adalah makna yang sahih dan beralasan untuk digunakan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo