Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ungkapan
Ungkapan ini biasanya menjadi pagar (hedges) ketika sebuah lelucon justru menyinggung pihak lain.
Dengan mengucapkan
UNGKAPAN “hanya bercanda” sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari masyarakat. Ungkapan ini biasanya menjadi pagar (hedges) ketika sebuah lelucon justru menyinggung pihak lain. Dengan mengucapkan “hanya bercanda”, si penutur berusaha mengurangi atau bahkan membatalkan intensitas serangan dalam lelucon atau candaannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Namun strategi ini tidak selalu berhasil. Alih-alih membatalkan dampak tuturan, strategi ini justru menandai keengganan si penutur untuk bertanggung jawab terhadap isi tuturan. “Hanya bercanda” justru jadi semacam alat melimpahkan tanggung jawab dari penutur ke mitra tutur yang secara implisit dinilai tidak memahami lelucon atau bahkan kurang memiliki selera humor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Variasi pagar “hanya bercanda” pun berlimpah. Dalam bentuk formal, biasanya diikuti apologi: maaf, hanya bercanda. Dalam bentuk yang lebih santai bisa berupa “cuma bercanda”, “bercanda doang”, atau “just kidding”. Dalam korpus bahasa Indonesia Leipzig Corpora, tercatat ada 1.537 entri “hanya bercanda” dan 454 entri “cuma bercanda”—angka yang menunjukkan intensitas penggunaan cukup tinggi.
Peneliti humor Michael Billig (2001) menyebutkan “hanya bercanda” adalah strategi retorik untuk melindungi penutur dari tuntutan terhadap isi tuturan. Kata “hanya” dalam ungkapan tersebut digunakan untuk menyepelekan isi tuturan agar seolah-olah tidak penting (meaningless).
Namun, kontradiktif dengan itu, frasa “hanya bercanda” justru menunjukkan ada yang serius dalam lelucon tersebut. “Hanya bercanda” sengaja digunakan sebagai bentuk penyamaran agar pesan-pesan serius disikapi secara tidak serius. Strategi ini digunakan karena pesan serius yang dikemas secara tidak serius dapat mengurangi penolakan kritis.
Mekanisme ini terkait dengan proses kognitif ketika orang menyikapi lelucon. Ford dan Ferguson (2004) menyebutkan, ketika mendengar humor, orang akan mengaktivasi kesadaran tertentu yang dapat mengalihkan pola pikir serius ke pola pikir tidak serius atau pola pikir humoris. Dengan mengganti pola pikir ke mode humoris, penikmat humor secara tacit menyetujui aturan yang berlaku dalam komunikasi humoris. Salah satu aturannya adalah tidak bersikap kritis.
Selanjutnya, dengan menyetujui aturan tersebut, penikmat humor akan mengkondisikan diri dengan menganggap tuturan apa pun yang didengarnya sebagai hal tidak serius. Karena tidak serius, sikapi saja dengan santai, tidak perlu dipikir masak-masak, apalagi disikapi secara kritis.
Situasi itulah yang melahirkan “kelengahan ideologis”. Ketika orang mengkondisikan diri dalam mode humoris, pesan-pesan ideologis cenderung mudah diterima. Nilai-nilai seperti rasisme, diskriminasi gender, dan peminggiran terhadap kelompok minoritas relatif mudah “disetujui”.
Kondisi ini memperkuat hipotesis bahwa ada kepentingan di balik ketiadaan kepentingan. Selalu ada yang serius di balik sesuatu yang diklaim sepele. “Hanya bercanda” menjadi contoh konkret bahwa sifat ideologis tuturan justru makin efektif ketika disertai penyangkalan sifat ideologisnya.
Di media sosial, frekuensi penggunaan “hanya bercanda” cenderung tinggi karena melucu dianggap sebagai keunggulan komunikatif. Orang yang lucu dan humoris cenderung disukai dan diterima di lingkungan sosial tertentu. Bukan semata karena humor itu menyenangkan, tapi juga berguna mencairkan suasana dan memperkuat ikatan kelompok.
Di sisi lain, melucu ternyata tidak mudah. Selain memerlukan keterampilan verbal, bercanda memerlukan pemahaman yang mendalam tentang nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Seorang humoris yang baik bahkan harus tahu kegelisahan terdalam orang-orang yang akan menjadi pendengarnya.
Itulah yang membuat tidak semua humor berhasil. Banyak humor yang gagal. Alih-alih menghibur, humor gagal justru bisa menyinggung dan membuat pendengar marah. Untuk menghindari konsekuensi kemarahan itu, “hanya bercanda” dijadikan tameng.
Profesor saya di Universitas Gadjah Mada, Prof I Dewa Putu Wijana, mengatakan humor dan aneka bentuk candaan bisa menjadi sarana yang efektif supaya kita tidak mengalami stres saat menghadapi kepenatan hidup. Tapi seorang humoris harus tahu batas amannya. Pilihan gaya dan isi candaan harus sejalan dengan nilai-nilai masyarakat. Saat melampaui batas, dampak sosialnya tidak selalu bisa dipadamkan dengan ungkapan “hanya bercanda”.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo