Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
E
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KSPLOITASI telah ada sebelum kapitalisme dan terus ada setelah kapitalisme, kata sosiolog Inggris, Anthony Giddens. Dengan kalimat itu, Giddens ingin mengatakan bahwa tidak ada hukum sejarah yang berlaku seragam di semua tempat. Giddens juga mengkritik ide Marxis bahwa komunisme akan melampaui semua sistem eksploitatif dan melenyapkannya dengan sistem sosial ketika the free development of each is a condition for the free development of all.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Giddens melanjutkan pandangan etika Protestan Max Weber yang memandang kapitalisme sebagai sistem yang tumbuh akibat salvation panic. Dalam Kalvinisme, bekerja keras dan kemakmuran adalah tanda duniawi yang bisa dipakai sebagai sinyal guna mendapatkan keselamatan di akhirat.
Dalam Weber, kerja adalah konsekuensi dari pandangan eskatologis. Sementara itu, Marx merumuskan bahwa kerja dalam kapitalisme adalah konsekuensi logis dari relasi produksi timpang akibat pemilikan pribadi dan karenanya selalu eksploitatif. Kaum Marxis membayangkan pengatasan kapitalisme untuk mencapai kondisi utopia yang mereka bayangkan ketika setiap orang bekerja sesuai dengan kemampuan dan mendapatkan sesuai dengan kebutuhannya (from each according to his ability, to each according to his needs).
Debat klasik teoretis itu dipatahkan bukan oleh sebuah karya filsafat ekonomi baru, melainkan oleh sebuah film dokumenter berjudul American Factory, karya sutradara Steven Bognar dan Julia Reichert. Film ini mendalilkan eksploitasi ada dalam kapitalisme dan tetap ada dalam komunisme.
American Factory menampilkan konflik di antara dua budaya kapital dengan setting sebuah pabrik kaca milik miliuner Tiongkok yang uniknya didirikan di Moraine, Ohio, Amerika Serikat. Kota ini adalah kota kelas pekerja Amerika yang dulunya hidup berkat pabrik mobil General Motors (GM). Tahun 2008, GM tutup karena krisis finansial. Masuknya perusahaan kaca dari Cina di tahun 2015 menghidupkan kembali pabrik ini dengan nama baru Fuyao.
Kehadiran Fuyao menghalau kelesuan ekonomi, membuka lapangan kerja, dan menerbitkan harapan baru orang Moraine. Sayangnya, setelah beberapa waktu mereka bekerja, harapan itu perlahan-lahan kandas. Pemilik Fuyao menerapkan upah yang jauh lebih rendah, jam kerja yang lebih panjang, disiplin yang lebih keras, dan larangan adanya serikat pekerja serta slebor dalam urusan lingkungan. Guna menanamkan standar etos kerja, Fuyao mendatangkan pekerja dari Cina yang tahan banting dan loyal untuk bekerja bersama para pegawai Amerika. Konflik pekerja vis-à-vis modal digeser menjadi konflik antarbudaya kerja di antara kelas pekerja sendiri.
American Factory memberikan sekelumit bukti empiris bahwa eksploitasi ada di dalam sistem apa pun. Secara implisit film ini menegaskan bahwa justru dalam negara kapitalisme kontemporer seperti di Amerika, kemaslahatan pekerja dijamin lebih baik ketimbang di sebuah negara yang secara resmi menerapkan ideal komunisme. Dari film ini kita bisa menarik sebuah gagasan baru bahwa kapitalisme dan sosialisme pada dasarnya adalah sistem yang sama-sama mengandalkan kerja upahan. Karena itu, kedua sistem tersebut eksploitatif.
Keduanya hanya dibedakan oleh faktor kultur, kita sebut saja namanya dengan “kultur kapital”. Kultur kapital dipelihara oleh watak politik di belakangnya, yakni negara. Di dalam negara yang mengenal demokrasi dan hak pribadi, kultur kapital akan lebih berwatak manusiawi, sementara di negara-negara otokratik kultur kapital berwatak lebih keras dan dominatif. Kultur kapital menentukan derajat eksploitatif kerja.
Indonesia adalah tempat pelbagai kultur kapital beroperasi dan mencari tempat. Selain demokrasi dan hak asasi, antropologi mesti menjadi sandaran seleksi. Atau, kalau mau sungguh serius ingin mencapai versi lain dari kultur kapital untuk masyarakat adil makmur toto tentrem kerto raharjo, kita bisa mendengar suara Paul Lafargue dalam Le Droit à La Paresse (The Right to be Lazy) yang terbit pada 1883.
Katanya, “Sungguh gila jika orang memperjuangkan hak atas delapan jam kerja sehari. Itu tidak lain delapan jam perbudakan, eksploitasi, dan penderitaan.” Berlawanan dengan Karl Marx, mertuanya, Lafargue menggelorakan perjuangan baru, yakni kerja maksimal tiga jam sehari.
Lafargue melihat kehadiran automation, yakni mesin (termasuk digitalisasi) yang bisa menggantikan tenaga dan mengurangi jam kerja manusia. Hidup bermalas-malasan adalah hak, katanya. Ia mendahului kritik Herbert Marcuse terhadap logika prestasi kapitalis dan bersama-sama mendorong politik progresif kaum rebahan sejagat. Jika sejumput kenikmatan hidup borjuis bisa diraih saat ini, mengapa pula mesti menunggu revolusi nanti?
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo