Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SURVEI Kesehatan Indonesia (SKI) yang diadakan Kementerian Kesehatan akhir tahun lalu mendapati prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun turun menjadi 7,4 persen. Hasil survei itu menggembirakan karena berada di bawah target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yang memasang target prevalensi perokok anak 8,7 persen pada tahun ini. Selain di bawah target RPJMN, prevalensi perokok anak 2023 juga jauh lebih rendah dibanding Riset Kesehatan Dasar 2018 yang sebesar 9,1 persen. Haruskah kita bersyukur atas capaian ini?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah artikel ilmiah bertajuk “Can we trust national smoking prevalence figures? Discrepancies between biochemically assessed and self-reported smoking rates in three countries” di National Library of Medicine menguraikan beberapa kewaspadaan, di antaranya potensi bias responden hasil survei dan penyangkalan perokok. Ini menunjukkan setiap data pemantauan prevalensi penggunaan tembakau memerlukan perhatian lebih lanjut, termasuk hasil SKI 2023 itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pertanyaan tentang perilaku merokok kepada responden berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar dan SKI sebenarnya telah memberikan deskripsi yang cukup lengkap tentang berbagai jenis produk rokok. Survei lain, seperti Survei Sosial Ekonomi Nasional, hanya menanyakan perilaku merokok konvensional. Adapun pertanyaan dalam Riset Kesehatan Dasar dan SKI mencakup rokok konvensional, rokok elektronik, dan produk tembakau lain. Selain itu, SKI memiliki akurasi yang lebih baik karena survei ini dilakukan kepada semua anggota keluarga, bukan hanya kepala keluarga. Masalahnya, Riset Kesehatan Dasar dan SKI dilakukan lima tahun sekali.
Karena itu, penurunan prevalensi perokok anak menurut SKI 2023 belum tentu mencerminkan keberhasilan program pengendalian tembakau secara keseluruhan. Beberapa program mungkin berkontribusi, termasuk kenaikan harga rokok, peningkatan jumlah daerah dengan regulasi kawasan tanpa rokok, serta pengendalian iklan, promosi, dan sponsor rokok. Prevalensi perokok anak berusia 10-18 tahun yang mencapai 7,4 persen pada 2023 ini sebenarnya naik apabila dibanding data Riset Kesehatan Dasar 2013 yang sebesar 7,2 persen.
Meski perbedaannya hanya 0,2 persen, angkanya cukup besar karena jumlah anak berusia 10-18 tahun naik cukup signifikan dalam rentang waktu 10 tahun. Apalagi target penurunan prevalensi perokok anak menurut RPJMN 2015-2019 sebesar 5,9 persen. Agar kewaspadaan kita makin meningkat, mari kita cermati lebih dalam hasil riset prevalensi perokok anak berusia 10-18 tahun berdasarkan data SKI 2023.
Pertama, menurut survei itu, jumlah perokok anak terbanyak berjenis kelamin laki-laki. Temuan ini mengkonfirmasi pandangan bahwa perokok laki-laki di Indonesia termasuk yang mengkhawatirkan dibanding di negara-negara lain. Selain itu, tingkat pendidikan terakhir mereka adalah sekolah menengah atas dan sekolah menengah pertama. Kelompok ini lebih rentan terhadap perilaku merokok dan berpotensi terjebak dalam kemiskinan. Studi menunjukkan peningkatan 1 persen belanja rokok menaikkan 6 persen angka kemiskinan. Apalagi temuan SKI 2023 menunjukkan harga rokok masih relatif murah, yaitu Rp 19.960 per bungkus. Harga murah rokok membuat anak-anak bisa menjangkaunya.
Kedua, beberapa provinsi masih memiliki prevalensi perokok yang relatif tinggi. Misalnya Jawa Barat sebesar 11,1 persen, Nusa Tenggara Barat 9,7 persen, dan Jawa Tengah 9,6 persen. Angka tersebut masih lebih tinggi dibanding prevalensi perokok anak berdasarkan Riset Kesehatan Dasar 2018 yang sebesar 9,1 persen dan target RPJMN 2024 yang mencapai 8,7 persen. Artinya, belum semua provinsi di Indonesia berhasil mencapai target penurunan prevalensi perokok anak.
Pengendalian rokok yang lebih ketat masih diperlukan di daerah-daerah dengan prevalensi tinggi. Begitu juga di daerah yang prevalensi perokok anaknya telah turun. Berapa pun angka prevalensi perokok anak, mereka merupakan generasi masa depan yang memerlukan pelindungan agar tetap sehat dan produktif.
Ketiga, penggunaan rokok elektronik pada kelompok usia 10 tahun ke atas justru naik menjadi 3,2 persen dibanding 2,8 persen pada 2018. Studi menunjukkan pengguna rokok elektronik juga tetap mengisap rokok konvensional. Penggunaan ganda kedua produk tersebut memicu kemunculan komplikasi penyakit tidak menular berbiaya mahal. Apalagi kelompok usia 10 tahun ke atas merupakan kelompok usia yang menuju generasi produktif. Generasi ini sangat penting untuk mewujudkan Indonesia Emas pada 2045, bukan “Indonesia Cemas” karena tren penyakit yang akan meningkat akibat rokok.
Keempat, penyakit yang terkait dengan dampak rokok masih mengkhawatirkan. Data prevalensi hipertensi masih stagnan di atas 30 persen dan prevalensi diabetes naik menjadi 11,7 persen dibanding 10,9 persen pada 2018. Berbagai studi mengungkap nikotin menjadi salah satu penyebab tekanan darah tinggi pemicu hipertensi. Nikotin juga menurunkan resistansi insulin sehingga memicu diabetes. Prevalensi kanker pun masih di atas 1 per 1.000 penduduk dan belum turun secara signifikan. Prevalensi kontet (stunting) sebesar 21,5 persen, jauh dari target 14 persen pada 2024. Ada kaitan erat antara transmisi asap rokok dan kegagalan pertumbuhan pada bayi.
Pemantauan prevalensi perokok merupakan bagian dari strategi paket kebijakan oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam pengendalian produk tembakau, yang disebut MPOWER. Tiap kata dalam MPOWER merupakan singkatan kebijakan dalam bahasa Inggris yang sekaligus menjadi ukuran penilaian pengendalian produk tembakau di sebuah negara, yakni pengawasan penggunaan produk tembakau dan kebijakan pencegahannya, pelindungan masyarakat dari asap rokok, penyediaan layanan berhenti merokok, peringatan bahaya rokok, pelarangan iklan dan promosi rokok, serta peningkatan pajak rokok.
Dari semua ukuran MPOWER itu, semua kebijakan pengendalian produk tembakau di Indonesia masih longgar. Pelarangan iklan rokok dan peringatan bergambar bahaya rokok bahkan terlalu longgar. Karena itu, penurunan prevalensi perokok anak menjadi 7,4 persen tahun lalu perlu dicari faktor-faktor pemicunya, yang belum terjawab secara pasti dari angka survei ini. Saya menduga kampanye pencegahan punya andil signifikan dalam penurunan prevalensi perokok anak.
Keterlibatan sejumlah lembaga swadaya masyarakat, kelompok organisasi profesi, universitas, dan kelompok anak muda yang giat berkampanye mempromosikan bahaya rokok bagi kesehatan dan lingkungan mendorong kesadaran orang tua. Kian banyak pula media massa yang makin peduli terhadap isu rokok dengan menempatkan berita produk tembakau tak semata dari sudut pandang ekonomi dan bisnis. Semua itu meningkatkan kesadaran akan bahaya rokok sehingga terbuka peluang prevalensi perokok anak juga menurun.
Untuk menunjangnya, selain memperbaiki metodologi survei, durasinya perlu dipersingkat. Negara-negara maju membuat survei pemantauan prevalensi perokok secara tahunan, bahkan bulanan, untuk mendapatkan data yang lebih real-time. Beberapa negara juga telah melengkapi pertanyaan dalam riset tentang penggunaan tembakau dengan melakukan tes biomarker berupa saliva kotinin untuk menghindari penyangkalan responden. Di Polandia, survei dilakukan dengan kerja sama antara lembaga pemerintah dan lembaga riset untuk mendapatkan data yang lebih detail mengenai perilaku merokok.
Praktik-praktik baik itu bisa menjadi rekomendasi untuk diterapkan di Indonesia. Ini penting karena penurunan prevalensi perokok dalam lima tahun terakhir hanya sekitar 1 persen. Di beberapa provinsi, prevalensi perokok anak masih relatif tinggi, terdapat peningkatan tren pengguna rokok elektronik, dan dampak buruk kesehatan yang berpotensi disebabkan oleh rokok belum terkendali.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo