Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Reza Syawawi
Peneliti Hukum dan Kebijakan Transparency International Indonesia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tidak hanya menimbulkan perdebatan tentang substansi, tapi juga pertanyaan bagaimana perancangnya mengabaikan proses pembentukan undang-undang. Jika struktur semua pasal di dalam rancangan tersebut ditelusuri, kita akan menemukan sejumlah masalah teknis yang seharusnya dipatuhi dalam setiap perumusan undang-undang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulisan ini akan membandingkan secara teknis bagaimana perumusan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja menggunakan basis Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Setidaknya ada empat teknis perumusan yang secara nyata melanggar undang-undang.
Pertama, aspek judul. Jika menelusuri isi rancangan itu, ada tiga jenis pengaturan, yaitu membentuk norma yang baru, mengubah norma dan/atau menghapus norma, dan mencabut undang-undang. Jika rancangan itu memang ditujukan untuk membuat undang-undang baru sama sekali, judul "Cipta Kerja" tidak menjadi soal. Namun, ketika sebagian besar rancangan justru mengubah/menghapus norma dalam undang-undang, judul itu menjadi tidak relevan. Ketentuan dalam lampiran Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan secara eksplisit menyebutkan bahwa judul undang-undang perubahan harus memuat judul undang-undang yang diubah. Termasuk dalam hal pencabutan undang-undang, judul undang-undang yang dicabut harus disebutkan pula.
Kedua, konsideran pembentukan undang-undang seharusnya hanya memuat pertimbangan filosofis, sosiologis, dan yuridis. Namun, pada rancangan itu, dalam konsideran justru muncul pertimbangan masalah teknis pembentukan undang-undang. Disebutkan bahwa "perubahan undang-undang sektoral dianggap tidak efektif dan efisien, maka dilakukan terobosan hukum melalui metode omnibus law".
Dari rumusan ini, pemerintah keliru menempatkan kritik terhadap teknis perubahan undang-undang sebagai konsideran dalam perubahan undang-undang yang mengatur hal substantif. Jika pemerintah merasa proses dan teknis perubahan undang-undang menyulitkan, seharusnya yang diubah lebih dulu adalah undang-undang yang mengatur pembentukan peraturan perundang-undangan.
Ketiga, aspek dasar hukum pembentukan undang-undang. Walaupun sebagian besar substansi rancangan itu memuat perubahan berbagai undang-undang, tidak satu pun undang-undang ya ng akan diubah itu dijadikan sebagai dasar hukumnya. Lazimnya, dalam setiap perubahan, undang-undang yang akan diubah dijadikan sebagai bagian dari dasar hukum.
Keempat, aspek struktur rumusan undang-undang secara sistematis disusun berdasarkan urutan, (i) ketentuan umum, (ii) materi pokok yang diatur, (iii) ketentuan pidana (jika diperlukan), (iv) ketentuan peralihan (jika diperlukan), dan (v) ketentuan penutup. Dalam rancangan itu, rumusan yang sistematis tersebut tidak bisa digunakan karena menggunakan metode omnibus law, yang mengubah banyak undang-undang. Dengan demikian, bagian atau bab "ketentuan umum" yang seharusnya ditempatkan pada pasal atau beberapa pasal awal tidak bisa diterapkan karena ditempatkan menyebar di seluruh bagian undang-undang berdasarkan urutan undang-undang yang akan diubah atau dihapus. Hal yang sama kemudian juga berdampak pada bagian-bagian lain yang semuanya menyebar dan tidak terstruktur secara sistematis.
Pelanggaran atas regulasi teknis perumusan peraturan perundang-undangan ini secara nyata menunjukkan pelanggaran yang dilakukan pemerintah terhadap Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan beserta lampirannya, yang merupakan satu kesatuan yang utuh. Keberadaan lampiran sebagai bagian teknis yang menjelaskan perumusan suatu peraturan tentu bertujuan tidak hanya memudahkan dalam hal perancangan peraturan, tapi juga memudahkan masyarakat untuk membaca dan memahami substansi suatu undang-undang.
Metode omnibus law ini seolah-olah dipaksakan karena pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat mendasarkannya pada kepentingan memudahkan pembahasan bagi kedua belah pihak saja, tanpa mempertimbangkan kesulitan yang dialami masyarakat sebagai obyek dari peraturan ini. Masalah pembentukan undang-undang yang selama ini berada di bawah kewenangan pemerintah dan DPR justru tidak diperbaiki prosesnya. Bahkan ketika rancangan ini pada akhirnya dibahas, seberapa siap aturan di internal DPR untuk membahas rancangan ini berdasarkan tahapan-tahapan dalam pembahasan hingga penetapan undang-undang?
Maka, kecurigaan bahwa rancangan ini akan dibahas secara cepat dan tanpa perdebatan yang berarti menjadi tidak terhindarkan. Hal ini setidaknya bisa dilihat dari sikap presiden yang mendesak DPR untuk segera melakukan pembahasan hingga lobi-lobi politik yang dilakukan oleh menteri-menteri dan petinggi partai politik untuk segera membahas dan menuntaskan rancangan ini.
Pada titik inilah terjadi malpraktik perundang-undangan. Suatu undang-undang disusun tanpa mengindahkan tahapan dan prosedur yang diatur dalam undang-undang. Bahkan pembentuk undang-undang secara sewenang-wenang membuat aturan perubahan undang-undang yang bertentangan dengan undang-undang. Pembahasan rancangan ini memang belum dilakukan dan masih ada waktu bagi pemerintah sebagai pengusul untuk menarik kembali rancangan tersebut dan memperbaikinya sesuai dengan pedoman teknis yang sudah ditetapkan oleh undang-undang.