Kasus PT Qurnia Subur Alam Raya (QSAR), yang kini membuat ribuan masyarakat cemas akan nasib uang yang ditanamnya, bagaikan mengulang kasus "serupa tapi tak sama". Disebut begitu karena masyarakat pada akhirnya selalu dirugikan dengan raibnya uang yang mereka tanam. Sebelum ini masyarakat dihebohkan oleh penipuan bermodus arisan dari Yayasan Keluarga Adil Makmur pimpinan Ongkowijaya. Lalu, muncul berbagai jenis usaha yang berkedok multilevel marketing. Semuanya berujung sama, uang masyarakat hilang atau kembali tidak utuh. Hanya, modusnya berganti "baju", seperti PT QSAR yang memakai kedok usaha agrobisnis.
Masyarakat tergiur oleh iming-iming penghasilan berlipat yang jauh dari bunga bank. QSAR menjanjikan keuntungan sampai delapan persen sebulan. Itu berarti 96 persen setahun, sebuah kemustahilan bagi perusahaan yang bergerak di bidang agrobisnis. Tetapi, karena pada awalnya uang yang ditanam masyarakat itu benar kembali dengan keuntungan yang dijanjikan, peminat usaha ini pun membeludak—catatan terakhir ada 6.800 investor. Luar biasa.
Salahkah masyarakat yang begitu mudah percaya dengan akal-akalan seperti ini? Tentu saja salah, karena mereka seperti dibutakan matanya oleh hal-hal yang tak masuk akal. Dari mana datangnya keuntungan sampai 96 persen kalau urusannya hanya menanam sawi, cabai, bayam, kangkung, atau beternak kambing dan ikan. Orang-orang di pedesaan memang membuat kalkulasi yang sederhana. Misalnya, hari ini mereka membeli kambing seharga Rp 300 ribu. Tahun depan kambing beranak dan kalau dijual semua dengan induknya menghasilkan Rp 600 ribu. Mereka menyebutnya untung 100 persen. Mereka tidak menghitung berapa biaya untuk membuat pagar, mencarikan rumput setiap hari, dan semua hal yang menyangkut "biaya operasional". Kalkulasi yang tidak membebankan biaya operasional inilah yang dilihat masyarakat sehingga mereka yakin uang yang ditanam di PT QSAR membawa keuntungan yang berlimpah. Mereka lupa bahwa PT QSAR harus membayar pegawai, menyewa tanah, membeli rabuk, pasang iklan, berkampanye lewat tabloid yang dibuatnya, menjamu pejabat yang datang, dan mengeluarkan biaya-biaya promosi lainnya. Kita bisa maklum jika investor PT QSAR itu kelas pedagang keliling di Sukabumi, yang hanya menanam uangnya Rp 5 juta untuk sepetak tanaman cabai. Tapi, kata apa yang harus diberikan kepada investor yang berpendidikan—anggota DPR, pensiunan jenderal, wartawan—yang menanam uangnya puluhan atau ratusan juta rupiah selain kata konyol?
Kesalahan memang tidak harus sepenuhnya ditimpakan pada masyarakat, baik yang kelas sederhana maupun yang kelas "sekolahan". Pemerintah harus ikut bertanggung jawab. Ada ribuan orang yang datang menyerahkan uangnya ke perusahaan itu. Masa sih pemerintah tak mencium gelagat tidak baik. Padahal ada Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, yang melarang penghimpunan dana dari masyarakat tanpa izin. PT QSAR tak punya izin untuk ini. Ia hanya punya izin bergerak di bidang agrobisnis.
Semestinya ada aparat pemerintah—entah dari instansi yang mana—yang bisa dengan cepat menaruh curiga kalau ada perusahaan yang memberi iming-iming keuntungan besar seperti yang dilakukan PT QSAR. Pemantauan seperti ini mudah dilakukan karena perusahaan itu biasanya royal memberi janji, juga royal memasang iklan di media massa, termasuk royal menjamu tokoh-tokoh selebriti. Masyarakat jadi merasa terlindungi jika sejak dini pemerintah memberikan sinyal kalau ada perusahaan yang nakal.
Tidak seperti sekarang ini. Ketegangan antara PT QSAR dan investornya sudah berlangsung lama, sejak akhir tahun lalu. Tapi pemerintah tak turun tangan atau malah tidak tahu. Akibatnya, sudah terlambat. Pengusahanya tertangkap, belasan rekening bank diblokir, ada brankas yang disita, tapi semuanya kosong-melompong. Kachihan….
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini