TIDAK sabar lagi orang menunggu putusan hakim yang mengadili bekas Menteri-Sekretaris Negara Akbar Tandjung, sekarang Ketua DPR dan Ketua Partai Golkar. Vonis akan dijatuhkan Rabu, 4 September, pekan ini, tapi orang tidak bisa menahan diri dan sudah memberikan reaksi jauh sebelumnya.
Komentar publik bermacam-macam bunyinya. Semua yang bisa dianggap mempengaruhi jalannya peradilan diucapkan terbuka begitu saja, walaupun mungkin tanpa sengaja atau tak disadari akibatnya.
Seharusnya pengadilan terbebas dari pengaruh seperti apa pun, dan dari mana pun, termasuk bebas dari tekanan opini publik. Tapi kebanyakan orang sudah tak peduli akan kebaikan asas tersebut. Hanya pengadilan yang berharga yang pantas dihormati. Aturan tak wajib dipakai bagi lembaga yang tindakannya di luar peraturan.
Pengadilan dan prosesnya sudah penuh dengan rekayasa yang kotor, tapi caranya canggih dan licin. Kesan yang sukar disangkal inilah yang dipercayai masyarakat sekarang. Maka masyarakat telah menghukum pengadilan, jauh lebih awal dari hakim yang menerapkan hukum buat Akbar Tandjung.
Rasa skeptis ini dipertebal oleh—tepat atau tidak tepat—putusan bebas bagi Gubernur BI Syahril Sabirin oleh pengadilan banding di Jakarta. Sinisme yang berkembang jadi saling melecehkan antara masyarakat dan lembaga penegak hukum, hasilnya cuma membuat derajat hukum semakin merosot saja.
Bukan pada hakim saja, tapi juga pada jaksa, polisi, dan pengacara, kepercayaan sudah turun ke bawah nol, sedangkan kemarahan telah menembus ke atas atap. Ini tidak sehat, malahan berbahaya. Tinggal selangkah lagi, bisa dibayangkan adegan seperti yang terjadi di mana-mana sekarang. Berbondong-bondong rakyat menuju gedung pengadilan, menghancurkan dan membakarnya, seraya mengejar-ngejar para penegak hukum yang terbirit-birit lari masih dengan toga hitamnya berkibar-kibar.
Walau suasananya sudah hamil tua untuk itu, barangkali drama anarki tadi tak akan sampai konkret dilahirkan dalam pengalaman kita. Apalagi kalau pengadilan membuktikan bahwa hakim masih bisa memutus dengan agak lebih adil dalam perkara Akbar Tandjung ini. Untuk lembaga pengadilan, sementara ini diberlakukan asas pembuktian terbalik: harus menerima praduga bahwa pada dasarnya ia jelek dan salah, sebelum ia bisa membuktikan benar dan bersih.
Lalu seberapa adilkah putusan hukum yang dianggap adil bagi Akbar Tandjung? Bagi yang menganggap terdakwa tidak bersalah, termasuk Akbar Tandjung sendiri, tentu putusan bebaslah yang dirasa sebagai putusan seadil-adilnya. Bagi yang ingin korupsi diberantas tuntas, hukuman seberat-beratnya barulah dirasa akan sepadan.
Hukuman maksimum untuk korupsi seperti didakwakan pada Akbar Tandjung ialah 20 tahun penjara atau seumur hidup. Jaksa, yang membuktikan bahwa terdakwa memang melakukan perbuatan korupsi, hanya menuntut 4 tahun penjara. Amien Rais, mendahului vonis hakim, meramal bahwa Akbar akan diganjar 2 tahun penjara oleh pengadilan tingkat pertama.
Sekarang seakan-akan tersedia beberapa kemungkinan: bebas seperti diharap Akbar Tandjung; dihukum 2 tahun seperti kata Amien Rais; 4 tahun seperti tuntutan jaksa; atau bukan mustahil lebih berat dari tuntutan jaksa, seperti pernah terjadi sebelumnya dalam perkara pidana lain.
Soal yang pokok ialah apakah terdakwa dinyatakan benar bersalah atau tidak. Untuk menentukan hal ini, pemeriksaan di sidang peng-adilan akan jadi dasar pertimbangannya. Tapi masyarakat justru menilai bahwa yang terjadi dalam persidangan banyak menunjukkan kejanggalan.
Jaksa, misalnya, dianggap mengajukan tuntutan yang terlalu ringan. Jaksa merasa telah membuktikan bahwa terdakwa Akbar Tandjung bersalah melakukan perbuatan korupsi. Perbuatan itu ialah menerima beberapa cek bernilai Rp 40 miliar dengan cara dan keadaan tertentu sehingga merupakan suatu tindakan pidana. Tapi, dengan keyakinan itu, jaksa hanya mengajukan tuntutan hukuman 4 tahun.
Tuduhan jaksa itu pun masih membuka kemungkinan bagi tertuduh untuk mengatakan bahwa perbuatan yang dimaksud—sekalipun kejadiannya tak disangkal—bukanlah merupakan suatu kejahatan, karena ada alasan yang sah untuk melakukannya. Apabila sudut pandang pembelaan ini diterima hakim, akhirnya Akbar Tandjung bisa dinyatakan tidak bersalah, dengan dijatuhi putusan lepas dari segala tuntutan hukum.
Para hakim tentu tidak suka disangka terlibat dalam rekayasa, yang memang sering dilontarkan tanpa bukti yang cukup. Tapi sekiranya pun banyak kelemahan—disengaja atau tidak, tak ada yang tahu—dalam rumusan dakwaan dan tuntutan jaksa, sebenarnya hakim bisa berprakarsa melakukan pemeriksaan sendiri di persidangan untuk mengungkap kebenaran perkaranya. Inilah yang kurang terlihat dilakukan majelis hakim. Padahal sistem peradilan di sini memberikan kedudukan aktif pada hakim, bukan sekadar menjadi wasit yang berdiri pasif di tengah saja seperti dalam sistem peradilan juri.
Anehnya, sangkaan adanya rekayasa dalam peradilan ini bukan cuma datang dari satu pihak. Akbar Tandjung pun, dari sudut yang bertentangan, menganggap ada unsur politik yang bermain dalam proses peradilan ini yang merugikan dirinya. Seluruh proses yang menyeret dirinya ke pengadilan adalah usaha character assassination padanya: membuat pribadinya tercemar, sehingga martabatnya jatuh dan hancur.
Hari ini kita belum bisa mengetahui apa yang akan diputuskan hakim untuk Akbar Tandjung. Tapi tidak bisa keliru lagi, Akbar Tandjung memang sedang terjerembap. Sebenarnya, character assassination tidak diperlukan untuk menjatuhkan yang sudah berada di bawah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini