Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pada 2023, jumlah konten deepfake meningkat hingga 550 persen dibanding pada 2019.
Deepfake mudah disalahgunakan untuk tujuan jahat: memanipulasi informasi, melakukan penipuan keuangan, hingga menyerang jurnalis dan pejuang hak asasi manusia.
Perlu lebih banyak jurnalis yang memiliki keterampilan mengidentifikasi dan menggunakan teknologi untuk melawan deepfake.
SEJUMLAH organisasi melaporkan peningkatan jumlah konten deepfake alias konten yang dimanipulasi menggunakan kecerdasan buatan secara global selama satu tahun terakhir. Peningkatan itu terjadi terutama di negara-negara yang melangsungkan pemilihan umum pada 2024.
Home Security Heroes, perusahaan yang bergerak di bidang keamanan digital, melaporkan terdapat lebih dari 95 ribu konten deepfake pada 2023, meningkat hingga 550 persen dibanding pada 2019. Perusahaan verifikasi digital, Sumsub, juga menemukan peningkatan jumlah konten deepfake pada 2023 sebesar 10 kali di semua industri di dunia dibanding pada tahun sebelumnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Meskipun di Indonesia kita belum melihat dampak signifikan dari konten semacam ini, laporan-laporan tersebut patut menjadi alarm bagi potensi penyebaran deepfake yang mungkin jauh lebih besar pada tahun-tahun mendatang. Terlebih, deepfake yang menyebar di Indonesia terlihat tak hanya berhubungan dengan isu politik, tapi temanya juga meluas ke isu kesehatan, sosial, dan finansial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deepfake adalah media sintetis, baik gambar, video, maupun audio, yang dihasilkan melalui teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang tampak seperti asli. Meskipun sejarah manipulasi foto dan video telah terentang jauh sebelum AI generatif dikembangkan, istilah deepfake pertama kali muncul pada 2017 yang digunakan untuk pornografi.
Konten semacam ini berbahaya karena dapat menampilkan situasi yang sebenarnya tidak pernah terjadi. Deepfake memberikan gambaran yang keliru tentang seseorang, menimbulkan kesalahan persepsi, serta dapat menipu khalayak yang sulit membedakan konten asli dengan yang palsu. Karena itu, deepfake mudah disalahgunakan untuk tujuan jahat: memanipulasi informasi, melakukan penipuan keuangan, hingga menyerang jurnalis dan pejuang hak asasi manusia.
Lonjakan jumlah konten deepfake terjadi karena makin banyak aplikasi AI generatif yang mudah diakses, berbiaya murah, dan mampu menciptakan konten berjumlah besar dalam waktu singkat. Namun pertumbuhan aplikasi AI generatif itu belum didukung regulasi untuk mengatur tata kelola yang berperspektif perlindungan HAM, kecuali undang-undang yang baru-baru ini dimiliki Uni Eropa.
Di Indonesia, ratusan video deepfake yang menggunakan profil selebritas dan tokoh publik lain kini makin marak dengan modus menjual obat-obatan. Sejumlah pemeriksa fakta mengungkap konten deepfake bertema kesehatan yang mengubah foto atau video mantan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto; presenter Najwa Shihab; serta selebritas Deddy Corbuzier dan Christine Hakim seolah-olah mempromosikan dan bertestimoni tentang kemanjuran produk obat.
Produsen konten tersebut memanfaatkan layanan microtargeting di platform media sosial dengan iklan berbayar (ads) yang memungkinkan setiap konten menjangkau lebih banyak audiens berdasarkan data demografi. Ada ratusan iklan obat-obatan menggunakan deepfake dalam ads library Meta—perusahaan pemilik Facebook—yang belum seluruhnya berhasil diverifikasi oleh pemeriksa fakta.
Akun-akun anonim yang menyebarkan deepfake untuk mempromosikan situs judi online juga mulai digunakan dengan mengubah video sejumlah program berita stasiun televisi menggunakan AI audio generatif. Ada pula modus penipuan finansial lewat deepfake video Presiden Joko Widodo yang menggiring warganet menyetorkan data pribadi dengan iming-iming mendapatkan bantuan uang tunai.
Deepfake dan Pemeriksa Fakta
Media massa, terutama yang menjalankan jurnalisme cek fakta, memainkan salah satu peran penting untuk memonitor, mengidentifikasi, dan membongkar disinformasi. Peningkatan jumlah deepfake menjadi alarm pula bagi jurnalis dan pemeriksa fakta agar dapat meningkatkan kemampuan serta kecepatannya membongkar konten palsu tersebut.
Namun media di Indonesia, juga secara umum di negara selatan—kelompok negara yang diasosiasikan dengan standar hidup yang lebih rendah dan tingkat kemiskinan tinggi—memiliki hambatan dalam menjalankan peran itu secara ideal. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, deepfake masih menjadi hal baru bagi sebagian besar jurnalis Indonesia. Dengan wilayah geografis Indonesia yang luas, jumlah media lokal yang besar, dan kesenjangan digital, belum semua jurnalis mendapatkan akses ke pelatihan untuk mengidentifikasi ataupun membongkar deepfake. Padahal, dengan potensi peningkatan penyebaran konten semacam ini, perlu lebih banyak jurnalis yang memiliki keterampilan mengidentifikasi dan menggunakan teknologi untuk melawan konten deepfake.
Kedua, belum semua media massa, baik nasional maupun lokal, menjalankan jurnalisme cek fakta, apalagi memiliki tim pemeriksa fakta khusus untuk menangani misinformasi-disinformasi. Jurnalis yang bekerja di media online kerap bekerja dengan banyak isu, target produksi konten yang tinggi, dan bisnis yang tak pasti.
Keterbatasan itu membuat media massa, terutama di tingkat lokal, tidak selalu berfokus memproduksi konten cek fakta yang membutuhkan sumber daya khusus. Padahal peran media lokal cukup vital untuk memonitor dan mengidentifikasi deepfake yang beredar di wilayah mereka, terutama menjelang momen pilkada yang akan berlangsung pada November 2024.
Ketiga, alat deteksi deepfake yang bisa diakses secara gratis masih sangat terbatas. Layanan premium dengan fitur tingkat lanjut umumnya berbiaya mahal, menghambat media untuk bisa mengaksesnya. Alat-alat yang saat ini tersedia pun tidak sepenuhnya akurat untuk mendeteksi konten AI. Terlebih pada deepfake audio yang memiliki tingkat kesulitan verifikasi lebih tinggi.
Alat deteksi deepfake juga secara umum diproduksi oleh negara-negara utara yang sebagian besar berbahasa Inggris. Hal ini membuat alat deteksi kurang andal mengenali bahasa lokal yang cukup beragam di negara selatan seperti Indonesia.
Keempat, platform media sosial punya peran tak terpisahkan dalam memfasilitasi pelaku penyebar deepfake yang bekerja lebih cepat dan mampu menjangkau audiens lebih luas, melebihi kemampuan pemeriksa fakta. Namun kita belum melihat keseriusan perusahaan media sosial dalam mengembangkan kebijakan tentang deepfake. Baru Meta yang belakangan ini mengumumkan telah menandai konten-konten yang dibuat dengan AI generatif. Hal itu dilakukan setelah konten deepfake menimbulkan kerugian finansial dan berdampak pada kualitas pemilu di beberapa negara.
Dengan berbagai hambatan-hambatan itu, media perlu diperkuat agar dapat membantu publik mengidentifikasi deepfake lebih cepat. Universitas atau perusahaan yang memiliki kapasitas dalam teknologi AI perlu berinvestasi membangun platform pendeteksi deepfake yang sesuai dengan konteks Indonesia.
Ke depan, pakar AI, peneliti, dan pemeriksa fakta perlu bekerja sama membentuk satuan tugas untuk memverifikasi deepfake yang canggih dan berbahaya, seperti inisiatif yang sedang diinisiasi di tingkat global. Organisasi filantropi perlu mencurahkan pendanaan untuk memperkuat media-media lokal agar memiliki sumber daya untuk membongkar deepfake.
Di tengah kekosongan regulasi yang komprehensif di Indonesia untuk mengatur tata kelola AI, perusahaan media sosial harus memperkuat kebijakan moderasi kontennya guna mencegah deepfake yang berbahaya. Mereka juga harus membatasi penggunaan iklan berbayar untuk konten deepfake yang menipu serta mendukung kemampuan jurnalis memonitor dan mengidentifikasi deepfake.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Dialektika Digital merupakan kolaborasi Tempo bersama KONDISI (Kelompok Kerja Disinformasi di Indonesia). KONDISI beranggotakan para akademikus, praktisi, dan jurnalis yang mendalami dan mengkaji fenomena disinformasi di Indonesia. Dialektika Digital terbit setiap pekan. Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.