Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menyaksikan sejumlah pejabat disebut-sebut dalam "bisnis" Muhammad Nazaruddin, kita semakin yakin tabiat korup masih saja tumbuh dengan suburnya. Siasat yang dijalankan mantan Bendahara Umum Partai Demokrat ini untuk meraup proyek pemerintah menguatkan keyakinan itu. Berselingkuh dengan birokrat di sejumlah kementerian, Nazaruddin kemudian menebar duit ke pelbagai lini: elite partai, aparat penegak hukum, bahkan lingkaran terdalam kekuasaan. Kerja menghalau korupsi jelas masih sangat berat, mengingat anak muda 32 tahun itu bukan satu-satunya pelakon bisnis akal bulus begini.
Muslihat pertama Nazaruddin adalah mendirikan sedikitnya tiga perusahaan abal-abal. Perusahaan jadi-jadian itulah alat pentingnya untuk menjaring proyek bernilai total triliunan rupiah. Ia, misalnya, bermain di proyek pengadaan sarana peningkatan mutu pendidikan di Kementerian Pendidikan Nasional, juga proyek pengadaan alat bantu belajar-mengajar pendidikan dokter spesialis di Kementerian Kesehatan.
Lantaran bisnis utamanya hanya di seputar kementerian, tiga perusahaan yang semua berkantor di Tower Permai, Jalan Buncit Raya, Jakarta Selatan, itu hanya tinggal gedung kosong setelah terbongkarnya permainan ini. Polanya hampir seragam: perusahaan-perusahaan itu mengakali proses tender dan menggelembungkan harga material. Dalam setiap proyek, menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, perusahaan Nazaruddin rata-rata menyodorkan harga 40 persen di atas pasar. Toh harga itu diterima kementerian. Keuntungan besar itulah yang diduga dibagi-bagi, termasuk untuk membiayai aktivitas politik Nazaruddin.
Setelah mengamankan sumber dana, anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang kini jadi buron itu "menyantuni" politikus dan aparat penegak hukum. Tentu maksudnya mencari perlindungan. Dari catatan pengeluaran perusahaan-perusahaannya, duit digelontorkan ke sejumlah tokoh elite Partai Demokrat. Sebagian mengalir ke polisi. Pengeluaran pun bisa seolah-olah tak memiliki sasaran jelas, seperti pemberian Sin$ 60 ribu untuk Janedjri M. Gaffar—yang kemudian dikembalikan oleh Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi itu.
Nazar bukanlah Sinterklas. Di balik pemberian ke segala penjuru itu, pasti ada kepentingan. Ia mungkin berharap membungkam pengungkapan aneka kejanggalan perusahaannya. Melalui penggelontoran fulus ke elite Partai Demokrat, ia pasti punya hasrat besar untuk mengamankan posisinya di partai pemenang pemilihan anggota badan legislatif 2009 itu.
Hal itu yang bisa dibaca ketika Nazaruddin mengaku mengeluarkan US$ 20 juta atau Rp 170 miliar dalam Kongres Partai Demokrat di Bandung tahun lalu. Dari catatan yang sama diketahui bahwa duit, antara lain, disetorkan ke Anas Urbaningrum dan Andi Mallarangeng, dua kandidat kuat yang bertarung ketika itu. Sejumlah lagi dialirkan ke Edhie Baskoro Yudhoyono, yang oleh dua kandidat tadi ditahbiskan sebagai calon sekretaris jenderal.
Jika catatan perusahaan Nazar itu benar, ini sebuah ironi: partai pemenang pemilu yang mengusung slogan "katakan tidak pada korupsi" itu ternyata tak luput dari rasuah. Memang, tak ada yang bisa memastikan bahwa duit yang disetorkan Nazaruddin berkaitan langsung dengan hasil patgulipat di sejumlah kementerian. Tapi, bila terbukti ketiga fungsionaris partai menerima uang dari Nazaruddin, itu jelas merupakan gratifikasi dan ini melanggar hukum.
Ketika kongres digelar pada Mei 2010, Anas, Andi, dan Edhie Baskoro merupakan pejabat negara. Anas dan Edhie menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat, sedangkan Andi sebagai Menteri Pemuda dan Olahraga. Jika tidak melaporkan pemberian dalam waktu sebulan, sesuai dengan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, ketiganya dianggap menerima suap.
Tanpa mengesampingkan perkara intinya, yaitu dugaan korupsi Nazaruddin di sejumlah kementerian, Komisi Pemberantasan Korupsi harus mengungkap dugaan suap ini. Bila memiliki bukti yang cukup, Komisi tidak perlu ragu memeriksa nama-nama besar itu.
Ini bukan hanya tantangan untuk Komisi, tapi juga untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam kasus anak bungsunya, Edhie Baskoro, Presiden Yudhoyono hendaknya mencontoh Kim Dae-jung, Presiden Korea Selatan 1998-2003. Pada saat Kim memerintah, dua anaknya terlibat korupsi. Kim tak bimbang untuk memerintahkan komisi antikorupsi menangkap mereka. Rakyat Korea pun akhirnya percaya pada keseriusan pemerintahnya memberantas korupsi.
Sulit membayangkan model Kim ini akan terjadi dalam kasus Nazaruddin. Toh tak ada alasan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi untuk tidak menuntaskan kasus yang dibongkarnya ini. Kita mendambakan pejabat kita, baik di dunia nyata maupun ketika berakting dalam iklan di media massa, tetap konsisten berseru, "Katakan tidak pada korupsi!"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo