Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBOCORAN data pribadi lebih dari 50 juta pengguna Facebook adalah skandal besar yang seharusnya tak terjadi. Bersenjatakan data itu, lembaga konsultan politik Cambridge Analytica berhasil mempengaruhi hasil referendum Inggris dan pemilihan Presiden Amerika Serikat serta mengguncang stabilitas geopolitik global. Sudah saatnya keamanan data pribadi menjadi agenda prioritas pemerintah.
Asal-muasal kebocoran masif data Facebook ini diungkap oleh Christopher Wylie, mantan Kepala Riset Cambridge Analytica, kepada koran Inggris, The Guardian, pekan lalu. Menggunakan aplikasi survei kepribadian yang dikembangkan Global Science Research milik peneliti University of Cambridge, Aleksandr Kogan, data pribadi puluhan juta pengguna Facebook bisa dikumpulkan dengan kedok riset akademis.
Data itulah yang secara ilegal dijual kepada Cambridge Analytica dan kemudian digunakan untuk mendesain iklan politik yang mampu mempengaruhi emosi pemilih. Konsultan politik ini bahkan tak segan menyebarkan isu, kabar palsu, dan hoaks untuk mempengaruhi pilihan politik warga. Tak bisa dimungkiri, kasus ini membuat keseriusan Facebook melindungi data penggunanya patut dipertanyakan.
Apalagi belakangan terungkap bahwa mesin manipulator pikiran Cambridge Analytica itu tak cuma dipakai dalam pemilihan Presiden Amerika Serikat dan referendum Inggris. Induk perusahaan Cambridge Analytica, Strategic Communication Laboratories Group, sudah malang-melintang mempengaruhi pemilihan di 40 negara di seluruh dunia, dari Brasil hingga Malaysia. Situs perusahaan ini bahkan menyebutkan pengalaman mereka membantu salah satu kandidat dalam pemilihan umum di Indonesia beberapa tahun lalu.
Karena itu, pemerintah Indonesia wajib memastikan Facebook menghormati privasi penggunanya di negeri ini. Salah satunya dengan tidak memperjualbelikan data pribadi mereka. Rencana Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara untuk secepatnya memanggil manajemen Facebook sudah tepat, tapi tak cukup. Dewan Perwakilan Rakyat perlu mempercepat pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi, yang sampai kini masih tersendat.
Teknologi data raksasa (big data) memang ibarat pedang bermata dua: manfaat dan mudaratnya sama-sama besar. Apalagi jika sinyalemen sejumlah pakar teknologi digital tentang algoritma Facebook akurat. Mesin media sosial itu ditengarai memang dirancang untuk merekam semua data penggunanya sedetail mungkin. Dengan 2,2 miliar pengguna aktif di seluruh dunia, Facebook memiliki harta karun data pribadi yang bisa dipakai untuk nyaris apa saja, tanpa kontrol berarti dari otoritas mana pun.
Berkah tak terduga dari kasus ini adalah menguatnya gerakan untuk menuntut akuntabilitas korporasi digital global seperti Facebook. Dimulai dari Eropa, pemerintah di banyak negara mulai merumuskan legislasi yang bisa memaksa perusahaan teknologi membuka pintu untuk audit algoritma. Hanya dengan cara itu kekuasaan Facebook bisa diawasi dan dikendalikan.
Selain itu, para pengguna Facebook semestinya mulai rasional. Jangan mengumbar semua aspek dari kehidupan pribadi Anda di media sosial. Pengguna yang bertanggung jawab harus memeriksa ketentuan privasi dan kerahasiaan data pribadi yang ditawarkan perusahaan media sosial yang Anda pakai. Hanya dengan literasi digital dan kesadaran tentang keamanan data, publik bisa bersama-sama menyelamatkan diri dari bahaya cuci otak massal ala Cambridge Analytica.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo