Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KOPI Nusantara telah menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Starbucks, gerai kopi dari Amerika Serikat, kini mendapat pesaing baru yang serius dari para pengusaha lokal, yang membangun kedai-kedai kopi di mal hingga pinggir jalan. Banyak eksportir kini menghentikan pengiriman kopi ke luar negeri karena kewalahan memenuhi permintaan dalam negeri, yang naik rata-rata empat persen setiap tahun.
Ada kesadaran masif di masyarakat bahwa kopi lokal lebih bermutu dibandingkan dengan kopi impor. Dunia sudah mengakui mutu kopi Indonesia bahkan sejak tiga abad lalu.
Pada 1711, Bupati Cianjur mengekspor empat kuintal kopi ke Amsterdam-tercatat sebagai pengiriman kopi terbesar dalam sejarah kolonial. Pemerintah Belanda, yang meneliti dengan serius biji kopi Cianjur ini, menyimpulkan bahwa Java coffee adalah kopi terbaik di antara biji kopi dunia di koloni-koloninya.
Tentara-tentara Belanda lalu membawa biji kopi Nusantara ini ke wilayah jajahan mereka hingga ke Amerika Selatan. Dari koloni Belanda, kopi Nusantara tersebar ke negara tetangga. Tiga abad kemudian, negara-negara yang menanam kopi Nusantara itu merajai pasar kopi dunia. Brasil dan Kolombia kini menjadi produsen kopi nomor satu dan dua. Indonesia menempati urutan keempat, setelah Vietnam.
Ironisnya, Brasil hanya punya 600 ribu hektare kebun kopi, dengan produksi 1 ton per hektare. Sedangkan Indonesia punya 1,3 juta hektare kebun kopi, yang menjadi perkebunan kopi terluas di dunia, dengan produksi 600 kilogram per hektare. Kebun kopi Indonesia tak produktif karena merupakan sisa perkebunan Belanda. Tamparan telak datang dari Vietnam karena para penelitinya datang ke Lampung belajar budi daya kopi robusta pada 1986.
Kebiasaan minum kopi yang dibawa penjajah Eropa ke Amerika Selatan membuat Brasil dan Kolombia serius mengembangkan budi daya kopi di era modern. Setelah memenuhi kebutuhan konsumsi enam kilogram per kapita per tahun di dalam negeri, Brasil kini mengekspor kopi ke negara-negara Eropa yang terkenal sebagai peminum kopi ulung meski tak punya kebun.
Kini antusiasme serupa tengah melanda masyarakat Indonesia-gairah yang selayaknya dapat memicu ekonomi kita. Untuk itu, kampanye minum kopi lokal mesti terus digalakkan untuk mengedukasi masyarakat yang tengah berubah gaya hidupnya akibat pertumbuhan ekonomi dan teknologi.
Kampanye itu harus dibarengi dengan riset oleh kampus dan lembaga-lembaga penelitian agar produktivitas perkebunan kopi terus dapat ditingkatkan. Kebutuhan akan kopi lokal membuat petani selayaknya tak hanya menanam dan memetik biji kopi, tapi mengolahnya lebih dulu agar kopi memiliki nilai jual yang tinggi.
Kita harus meniru Belanda dan Prancis dalam melakukan riset yang serius terhadap tanaman ini. Penelitian akademik akan membantu petani lebih berdaya sebagai produsen kopi lewat temuan budi daya dan inovasi-inovasi pengolahannya. Di Brasil dan Vietnam, alat panen sudah memakai perkakas modern jika dibandingkan dengan petani Indonesia, yang masih memetik memakai tangan.
Kopi yang berkualitas lahir sejak ia ditanam hingga proses pascapanen. Para pencinta kopi bahkan merumuskan 60 persen rasa dan aroma kopi ditentukan pada tahap ini. Cara menyeduh hanya berperan kecil dalam menentukan kualitas akhir kopi di cangkir-cangkir. Petani-petani kita harus mendapatkan referensi empiris agar dapat menghasilkan kopi berkualitas-seperti kopi Cianjur yang tiga abad lalu dipuji orang-orang luar.
Pemerintah dapat mengambil peran dengan membangun pusat penelitian dan memastikan distribusi kopi tak terhambat lewat perbaikan infrastruktur. Kebijakan 20 juta hektare perhutanan sosial pemerintah Joko Widodo layak dipadukan untuk mendukung ini.
Hutan dan kebun milik negara yang pengelolaannya diserahkan kepada masyarakat sekitar layak didorong untuk membudidayakan kopi. PT Perhutani memiliki jutaan hektare hutan yang sangat cocok untuk pengembangan kopi arabika, yang produksinya masih 27 persen dari total produk kopi Nusantara.
Akses yang mudah terhadap lahan, bibit, dan modal bagi petani, juga infrastruktur untuk distribusinya, akan menjadi penopang sempurna dalam memelihara kegairahan orang Indonesia terhadap kopi. Jangan sampai kesempatan emas ini luput seperti kisah tiga abad silam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo