Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Langkah Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan status tersangka terhadap sejumlah calon kepala daerah merupakan pertanda baik bagi penegakan hukum. KPK menunjukkan keteguhan untuk menolak imbauan berbau intervensi dari pemerintah agar menunda penetapan tersangka hingga pemilihan kepala daerah serentak selesai pada Juni nanti.
Imbauan pemerintah melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto memang tak layak dipatuhi. Di samping sesat logika, imbauan itu tidak punya pijakan hukum. Kalaupun penetapan tersangka merugikan calon tertentu dan menguntungkan calon lain-seperti yang dikhawatirkan Wiranto-itu bukan masalah utama. Itu harga yang harus dibayar calon bermasalah serta partai yang sembrono mengusungnya.
Penundaan penetapan tersangka justru bisa mencederai asas kepastian dan persamaan di muka hukum. Seseorang tak boleh menikmati kekebalan hukum-meski hanya sementara-karena ikut kontes politik. Jangankan gara-gara pilkada, ibaratnya "langit bakal runtuh" pun, kepastian dan keadilan hukum harus ditegakkan.
Dengan mengumumkan status tersangka calon kepala daerah, KPK bisa meminimalkan kesalahan pemilih dalam menentukan pemimpin daerah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota terlalu longgar menyaring calon kepala daerah. Menurut undang-undang ini, status tersangka dan terdakwa tak menghalangi pelantikan kepala daerah terpilih. Kepala daerah terpilih baru diberhentikan permanen setelah menjadi terpidana. Ketika undang-undang buatan Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah terlalu permisif, KPK selayaknya lebih tegas terhadap calon yang terlibat korupsi.
Demi menangkis tuduhan mempolitisasi kasus korupsi, KPK harus konsisten dan tidak tebang pilih. Sepanjang unsur pidana dan alat buktinya terpenuhi, KPK harus bergegas menyematkan status tersangka kepada semua calon yang terlibat korupsi, tanpa melihat partai pengusungnya. Selanjutnya, KPK tak boleh berlama-lama menggantung status tersangka. Untuk memperlancar penyidikan, KPK tak perlu ragu menahan calon kepala daerah yang menjadi tersangka.
Yang semestinya dilakukan pemerintah bukan mengintervensi KPK, melainkan memperbaiki mekanisme pilkada. Pembenahan seharusnya dilakukan sejak proses penjaringan calon. Tanpa saringan kandidat yang ketat, pilkada serentak hanya akan menguras banyak waktu, tenaga, dan biaya. Agar pilkada lebih berfaedah untuk rakyat, di masa yang akan datang, partai pengusung dan Komisi Pemilihan Umum harus berusaha lebih keras menyaring kandidat terbaik.
Tahap penyaringan calon kepala daerah kini telah berlalu. Presiden Joko Widodo sebaiknya segera membuka pintu darurat untuk menyelamatkan pilkada dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Aturan main dalam Undang-Undang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota perlu diubah. Harus dibuka mekanisme untuk mengganti calon kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Atas dasar perpu itu, Komisi Pemilihan Umum bisa mengubah aturan pelaksanaan pemilihan. Calon kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi wajib mengundurkan diri atau otomatis dicoret dari pilkada. KPU juga bisa menyiapkan ketentuan penggantian calon agar pilkada tetap berjalan.
Perpu amat diperlukan demi menjaga keberlangsungan pilkada sekaligus mutu demokrasi. Jangan sampai pilkada menjadi ajang kompetisi para tersangka korupsi dan rakyat tidak diberi pilihan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo