Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Menahan diri di kala berkuasa

George Washington dapat menanamkan tonggak demokrasi di AS karena ia dapat menahan diri sewaktu berkuasa. manusia memang harus ingat dan mampu menahan tendensi keji dirinya sendiri.

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

26 November 1783. Jenderal George Washington tiba di Philadelphia. Seluruh penduduk mengelu-elukannya. Pahlawan revolusi yang menang. Panglima yang dicintai prajurit. Pemimpin yang membebaskan rakyat Amerika dari ancaman penjajahan Inggris untuk seterusnya. Maka harian Pennsylvania Journal pun menulis, dengan huruf-huruf kapital: "WASHINGTON, THE SAVIOUR OF HIS COUNTRY!" George Washington, sang penyelamat negeri, kemudian jadi presiden Amerika Serikat yang pertama. Berbeda dengan banyak orang yang duduk di Gedung Putih sesudahnya, Washington tak terkenal gemilang. Dia kadang digambarkan sebagai tokoh yang agak bersahaja, dalam arti jangkauan intelektualnya terbatas. Dia dianggap lebih seorang "pekerja" ketimbang seorang "pemikir". Maka apa gerangan tanda kebesarannya sebagai bapak bangsa? Seorang penulis sejarah Amerika terkemuka, Page Smith, menjawab pertanyaan itu dengan sebuah paradoks. Kebesaran Washington, tulis Smith dalam jilid kedua buku A New Age Now Begins, "terletak terutama bukan pada apa yang dilakukannya, melainkan pada apa yang tidak dilakukannya". Dengan kata lain, "pengekangan diri Washingtonlah, dan bukan tindakan Washington, yang menentukan kebesarannya." Dia, sebagai pahlawan, tak membiarkan diri menuruti puji-pujian. Dia, sebagai pemimpin eksekutif yang begitu besar kekuasaannya (karena begitulah ditentukan oleh Konstitusi Amerika), selalu sabar menghadapi para wakil rakyat di Kongres. Ketika sejumlah pasukan bekas anak-buahnya mengancam berontak, Washington -- dengan tatapan yang dibantu kacamata tua -- menemui mereka. Ia menegaskan kembali, bahwa pejuang revolusi sekalipun perlu tetap tunduk kepada tertib sipil. Barangkali karena itulah, Amerika Serikat berhasil meletakkan fondasi demokrasinya hingga begitu kokoh selama lebih 200 tahun. Dan orang pun teringat satu tokoh lain: Nehru, dari India di abad ke-20. Di bulan November 1937, di sebuah penerbitan di Calcutta dimuat satu profil yang tajam tentang pemimpin kemerdekaan India itu. Nehru, begitulah tulisan itu menyebutkan, mengandung dalam dirinya beberapa anasir yang bisa menjadikannya seorang diktator. Ia populer, berkemauan keras, penuh energi. Tapi ia bersikap tak toleran kepada orang lain, dan cenderung menghina mereka yang lemah dan tak efisien. Maka tulisan itu bertanya: Tak mungkinkah Jawaharlal membayangkan diri sebagai seorang Caesar? Jawabnya: "Di situlah letak bahaya bagi Jawaharlal dan bagi India." Itu adalah peringatan yang dini bagi seorang yang di ambang kekuasaan besar. Yang menarik, tulisan dikirimkan oleh Nehru sendiri. Meskipun ia tak pernah mengakui secara resmi bahwa dialah penulis profil yang tajam tentang dirinya itu. Apakah sebabnya seorang dapat menahan diri? Nilai-nilai apakah yang ada dalam dirinya hingga ia tak tergoda menjadi seorang Caesar? Page Smith, berbicara tentang Washington, menyebut adanya "ethos Protestan" dalam diri tokoh itu. Tak begitu jelas segi mana dari ethos itu yang menyebabkan seseorang sadar benar akan bahayanya sebuah posisi tinggi. Mungkin itu ada hubungannya dengan semangat yang secara lebih tajam tercermin pada kaum Puritan: semangat untuk waspada terhadap godaan yang menghimbau "daging". Mungkin itu ada pula pertaliannya dengan hati seorang Calvin, yang percaya bahwa manusia "dijalari oleh racun dosa". Filosof John Locke, seraya memperingatkan bahayanya kekuasaan, mengemukakan ketidak-percayaannya bahwa kekuasaan itu akan "memperbaiki rendahnya sifat manusia". Tapi mungkin tak selamanya hanya pandangan yang begitu (yang curiga pada pamrih orang) yang menyelamatkan Washington atau Nehru dari godaan. Sebab jika manusia hanya jelek dan berdosa, dia tak akan mampu mengatasi tendensi keji dirinya sendiri. Seorang yang eling yang selalu "ingat", ialah seorang yang tahu bersyukur melihat dirinya. Tapi ia juga seorang yang tahu: kerendahan hati bisa pergi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus