TAK terdengar banyak tepuk tangan menyelingi pidato Presiden
Soeharto di depan sidang paripurna DPR Senin lalu. Namun, dalam
pidato kenegaraan selama satu setengah jam itu, Presiden
menyebutkan beberapa "titik terang" bagi pertumbuhan politik dan
ekonomi di masa mendatang.
Pemilihan Umum bulan Mei lalu-dengan 1% suara yang masuk --
dinilai berhasil. Namun Kepala Negara juga mencatat beberalaa
ganjalan. "Pemilu bulan Mei lalu telah menjatuhkan korban.
Malahan ada yang tewas sebagai akibat ekses-ekses perbuatan
kebringasan unsur peserta Pemilu selama kampanye," katanya.
Agaknya ekses yang terjadi sekitar Pemilu itu menjadi salah satu
peringatan untuk menengok kembali pembaharuan dan penyederhanaan
kehidupan politik, menyangkut pembaharuan wadah dan isinya.
"Dengan kata lain, menyangkut penyederhanaan struktur dan
pembaharuan semangat, sikap dan gerak kekuatan sosial politik
itu," katanya.
Penyederhanaan struktur perlu dilakukan karena sistem banyak
partai seperti masa silam dinilai telah gagal dalam membina
stabilitas politik dan membangun pemerintahan yang efektif.
Sedang asasnya -- berpangkal pada konsensus nasional Orde Baru
-- yaitu Pancasila dan UUD 45. "Karena itu, dasar yang sehat
untuk pembaharuan kehidupan politik dan penyederhanaan
strukturnya bukanlah ideologi golongan, tetapi orientasi pada
pembangunan dan masyarakat Pancasila," kata Presiden di depan
anggota DPR dan para "teladan" -- antara lain guru, pelajar,
transmigran dan lurah -- yang memenuhi seluruh kursi gedung
sidang utama DPR. "Kini, kita masih harus melanjutkan,
merampungkan dan membulatkan secara tuntas proses pembaharuan
kehidupan politik," tambahnya.
Bertolak dari pengalaman dua kali Pemilu dengan peserta dua
parpol dan satu Golkar, menurut Kepala Negara, jumlah dan
struktur parpol dianggap sudah memadai. Yang masih perlu
dijernihkan ialah soal asas ciri yang dianutnya. "Semua kekuatan
sos-pol -- terutama parpol yang masih menggunakan asas selain
Pancasila -- seharusnyalah menegaskan bahwa satu-satunya asas
yang digunakan adalah Pancasila," kata Presiden.
Agaknya, ini isyarat peninjauan kembali UU no 3/1975 tentang
Parpol-Golkar. Asas ciri, misalnya Islam untuk PPP atau PDI
dengan demokrasinya, mungkin bakal tidak ada lagi. Menilik
konstelasi politik sekarang, tampaknya parpol akan menerimanya.
Di bidang ekonomi, Kepala Negara menegaskan berita gembira:
walau di tengah kemelut ekonomi dan resesi dunia Indonesia
berhasil lolos dari bangsa berpenghasilan rendah dan telah masuk
taraf berpenghasilan sedang. Laju inflasi 1981/1982 -- walau
mengalami kenaikan harga BBM 60% awal tahun ini -- hanya
mencapai 9,8%. Ini lebih baik dibanding 1980 (16%), tapi naik
sedikit dari 7% pada 1981. Tingkat inflasi selama 7 bulan tahun
ini juga masih terkendali, sebesar 7%.
Pertumbuhan ekonomi 1981 sebesar 7,6%, tergolong di atas angin
dibandingkan negara berkembang lainnya atau bahkan beberapa
negara industri sekalipun. Angka baik ini dicapai -- menurut
angka terperinci dalam lampiran pidato Presiden -- berkat
kenaikan produksi beras 10,5%, pertumbuhan indugri 12%,
bangunan 9,6% dan sektor lainnya.
NAMUN, Pak Harto yang pagi itu mengenakan setelan abu-abu tua
dan dasi biru, juga memaparkan "catatan kelabu" dari sektor
skspor bukan minyak. Sejak awal 1981, ekspor komoditi tersebut
-- terutama hasil perkebunan dan pertamb angan -- kelihatan
seret. Nilai ekspor tahun lalu merosot 25,4% dibanding tahun
sebelumnya, sehingga jumlahnya cuma US$ 4.170 juta (tahun
sebelumnya US$ 5.587 juta).
Untuk melancarkan keseretan di bidang ekspor bukan minyak dan
gas ini, pemerintah telah memberikan kemudahan, keringanan dan
kredit ekspor. Di samping -- tentunya -- kebijaksanaan "imbal
beli", pengkaitan kewajiban mengekspor komoditi ke negara asal
pembelian barang mulai awal tahun ini. "Pelaksanaan
kebijaksanaan ini sudah barang tentu tidaklah mudah. Namun
hasilnya telah mulai kita rasakan," katanya.
Akibat "masa suram" ekspor, cadangan devisa terancam. Usaha
penghematan penggunaan devisa telah dilakukan antara lain dengan
tindakan "Kebijaksanaan 15 November 1978" (Knop 15), pembatasan
impor barang mewah dan barang yang sudah dibuat di dalam negeri
dan berupaya menaikkan ekspor. "Maka keadaan cadangan devisa
kita sekarang tetap dalam batas yang cukup," kata Presiden.
Cadangan devisa, menurut laporan Bank Indonesia 15 Juli lalu
sampai akhir Juni sebesar US$4,9 milyar. Ini menurun cukup tajam
dibanding posisi bulan Maret. US$6,2 milyar (Maret 1981 sebesar
US$7 milyar). Defisit neraca berjalan US$ 3,5 milyar. Untung ini
diselamatkan oleh pinjaman luar negeri sebesar US$ 2,9 milyar.
Karena itu, "Pemerintah berpendapat dan menegaskan, tidak psrlu
mengadakan devaluasi rupiah," tegas Presiden. Nilai tukar rupiah
terhadap uang asing tetap dibiarkan mengambang terkendali --
seperti digariskan ketika memutuskan Knop 15 tempo hari.
Penegasan Presiden ini, selain menghapuskan berbagai kabar
burung tentang adanya devaluasi rupiah, telah membuat banyak
orang merasa lega.
Bidang pertanian dicatat menghasilkan angka menggembirakan.
Produksi besar 1981 mencapai 22,3 juta ton -- melebihi target
20,5 juta ton pada akhir Pelita III. Cadangan pangan yang
dikumpulkan Bulog untuk 1982 sebesar 2,7 juta ton.
Mengakhiri pidatonya, Presiden juga mengucapkan 'selamat
berpisah" kepada anggota DPR/MPR yang akan mengakhiri masa
tugasnya bulan depan. "DPR dan MPR secara keseluruhan akan
berganti. Presiden baru pun akan dipilih oleh MPR dalam sidang
umum bulan Maret mendatang," katanya.
Agaknya sudah bisa diduga bahwa Presiden Soeharto sendiri bakal
terpilih kembali untuk periode 1982-1988. Menurut Wakil Ketua
MPR Achmad Lamo yang menemuinya minggu lalu, Pak Harto sendiri
sudah bersedia dicalonkan. MPR telah menerima 2.372 pernyataan
yang menginginkan pemilihan kembali Presiden Soeharto dan 2.341
pernyataan yang mendukung pemberian gelar Bapak Pembangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini