PENGURUS Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan seruan. Dikeluarkan
dalam rangka peringatan ulang tahun proklamasi kemerdekaan RI
ke-37, seruan tertanggal 14 Agustus itu isinya sebetulnya biasa
saja. Misalnya: ucapan syukur dan terima kasih PB NU pada
segenap masyarakat, pemerintah dan Presiden Mandataris MPR yang
telah menyelenggarakan pembangunan tahap demi tahap.
Yang menarik adalah nama para penandatangan seruan yang
mengatasnamakan PB NU tersebut: Rais Aam Pemangku Jabatan Ketua
Umum KH Ali Ma'shum, Katib Aam H.A. Chamid Wijaya dan Sekjen
H.M. Munasir.
Disebutnya Rais Aam Ali Ma'shum sebagai Pemangku Jabatan Ketua
Umum mengundang pertanyaan: sejak kapan pemangkuan jabatan itu
terjadi? Bagaimana dengan kedudukan Idham Chalid?
"Seruan itu berarti dimulainya kembali usaha menghidupkan
mekanisme organisasi setelah lumpuh akibat pertikaian yang ada
selama ini," ujar Katib I PB Syuriah NU Abdurrahman Wahid pada
TEMPO. Kecuali itu, juga "untuk menetralisasikan kasak-kusuk
bahwa para kiai mau mencoba menyabot Sidang Umum MPR, walau
sebenarnya tidak demikian."
Menurut Abdurrahman Wahid, setelah ditunggu tidak ada
penyelesaian -- sedang tampaknya tidak ada perubahan posisi
masing-masing -- Rais Aam memutuskan untuk sementara memangku
jabatan ketua umum itu sendiri, karena jabatan itu tidak bisa
dibiarkan kosong. Rais Aam berhak melakukan ini untuk mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan, terutama menjelang
Sidang Umum MPR. Misalnya dalam masalah penataan kehidupan
politik. "Kami tidak ingin ada tindakan sepihak oleh orang-orang
yang mengatasnamai NU," kata Abdurrahman.
Lalu bagaimana dengan kedudukan Idham Chalid? "Ini tidak
menyangkut soal status," ujar Abdurrahman. Pemangkuan jabatan
ketua umum oleh Rais Aam ini menurut dia "sampai ada ketua umum
yang definitif". Diharapkannya itu bisa terjadi dalam waktu yang
singkat. Dan tidak tertutup kemungkinan masalah penetapan
seorang pejabat ketua umum sementara. "Itu tergantung pada
musyawarah dengan Pak Idham," sambungnya.
Kemelut dalam NU muncul di permukaan sejak 6 Mei tatkala Ketua
Umum NU Idham Chalid menyatakan diri mundur dari jabatannya.
Pernyatannya itu ditandatangani di tempat kediamannya pada 2
Mei di depan empat ulama besar yang menemuinya: KH Ali Ma'shum,
KH As'ad Syamsul Arifin, KH Machrus Ali dan KH Masykur.
Alasannya: kesebatan Idham Chalid tidak memungkinkannya memegang
terus jabatan yang dipegangnya sejak 1956 itu.
Pengunduran diri itu ternyata mengguncang NU dan memunculkan
perbedaan pendapat yang selama ini tertutup. Ada yang kaget,
mendukung, protes, malah ada yang menuduh para kiai melakukan
"kudeta' terhadap Idham Chalid.
Kemelut makin menjadi-jadi setelah pada 14 Mei Idham Chalid
menyatakan menarik kembali pernyataan pengunduran dirinya.
Alasannya: ada protes dari 17 wilayah ditambah hal lain yang
menyangkut kemaslahatan jamiyah NU. Ia juga menegaskan akan
tetap menjalankan tugas selaku Ketua Umum PB NU "sesuai dengan
kepercayaan dan keputusan Muktamar ke-26 di Semarang" yang
memilihnya. Pernyataan itu diakhiri dengan permintaan maaf Idham
pada "bapak-bapak kiai yang saya muliakan" yang menjadi saksi
pengunduran diri yang telah dicabutnya.
Tampaknya di balik pencabutan kembali pengunduran diri Idham
Chalid terdapat lika-liku yang belum jelas benar. Namun yang
terkuak adalah pertentangan yang semakin tajam antara "sayap
politik praktis" NU dengan kelompok ulama. Sayap politik, yang
tumbuh sejak NU keluar dari Masyumi pada 1953, ternyata
berkembang makin kokoh, independen dan "mapan". Peran ulama,
dalam organisasi para ulama, terasa agak tersisih karena
keterlibatan utama organisasi tersebut di bidang politik.
Bergesernya peranan -- dan mungkin juga kemapanan -- itu
menyebabkan timbulnya berbagai tantangan terhadap gagasan untuk
mengembalikan NU sebagai organisasi sosial seperti waktu
didirikan pada 1926.
Dalam kasus Idham Chalid, sebagian besar politisi NU tampaknya
mendukung Idham, sedang sebagian besar ulama tetap menentangnya.
Kemelut makin lanjut dengan munculnya perang pernyataan dan
dukungan antara para pendukung dan penentang pengunduran diri
Idham Chalid -- sesuatu yang sangat jarang terjadi dalam NU.
"Tantangan" pada ulama seperti terjadi dalam kasus ini agaknya
juga baru pertama kali terjadi di NU. Di bidang hukum agama,
kontroversi juga terjadi mengenai sah atau tidaknya pencabutan
pengunduran diri Idham.
Sejak Mei itu suasana ketidakpastian terus memayungi NU. Rapat
pleno PB NU --meliputi Syuriah dan Tanfidziah -- yang
diberitakan akan diselenggarakan setelah Lebaran belum juga
terlaksana sampai kini. Hingga praktis sejak itu roda organisasi
NU memang mandek.
Keluarnya seruan PB NU dengan pencantuman Rais Aam Ali Ma'shum
sebagai Pemangku Jabatan Ketua Umum tampaknya untuk mengakhiri
ketidakpastian ini. Masing-masing pillak agaknya juga telah
memasang kuda-kuda.
"Cabang-cabang kompak, tetap mengakui Pak Idham sebagai Ketua
Umum," kata Amin Iskandar, anggota DPR dari B-PP yang dikenal
sebagai pendukung Idham Chalid. Dewasa ini, menurut dia, sudah
separuh dari cabang NU meminta diadakannya muktamar luar biasa.
"Muktamar akan diadakan bulan Desember nanti," ujarnya.
Ditambahkannya, adalah hak pengurus besar untuk menentukan
panitia muktamar. "Kami sudah menyiapkan orang-orangnya," kata
Amin.
Namun tampaknya para ulama tetap menganggap Idham Chalid sudah
mengundurkan diri sebagai ketua umum. "Dari sudut apa pun juga,
menurut hukum, pencabutan pengunduran diri Idham Chalid itu
tidak pernah dianggap sah. Karena itu sampai sekarang saya
adalah Rais Aam yang menjalankan tugas Ketua Umum PB NU," kata
Rais Aam KH Ali Ma'shum pada TEMPO.
Kiai Ali berpendapat, jika Idham Chalid tetap menganggap dirinya
Ketua Umum PB NU "itu terserah pada Idham sendiri." "Yang jelas
umat NU, sesuai dengan tradisinya, selalu berpedoman pada ulama.
Dan ulama kenyataannya menganggap Idham Chalid sudah mundur,"
kata Ali Ma'shum.
Idham Chalid sendiri tak mau menanggapi perkembangan ini.
Ditemui di Gedung DPR seusai pidato kenegaraln Presiden Senin
lalu, ia hanya mengatakan "No Comment".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini