Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Idham Chalid bilang "no comment"

Kemelut di tubuh NU masih berlanjut, rais aam ali ma'shum menyatakan sebagai pemangku jabatan ketua umum PB NU. idham chalid tidak mau memberi komentar dalam masalah ini. (nas)

21 Agustus 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGURUS Besar Nahdlatul Ulama mengeluarkan seruan. Dikeluarkan dalam rangka peringatan ulang tahun proklamasi kemerdekaan RI ke-37, seruan tertanggal 14 Agustus itu isinya sebetulnya biasa saja. Misalnya: ucapan syukur dan terima kasih PB NU pada segenap masyarakat, pemerintah dan Presiden Mandataris MPR yang telah menyelenggarakan pembangunan tahap demi tahap. Yang menarik adalah nama para penandatangan seruan yang mengatasnamakan PB NU tersebut: Rais Aam Pemangku Jabatan Ketua Umum KH Ali Ma'shum, Katib Aam H.A. Chamid Wijaya dan Sekjen H.M. Munasir. Disebutnya Rais Aam Ali Ma'shum sebagai Pemangku Jabatan Ketua Umum mengundang pertanyaan: sejak kapan pemangkuan jabatan itu terjadi? Bagaimana dengan kedudukan Idham Chalid? "Seruan itu berarti dimulainya kembali usaha menghidupkan mekanisme organisasi setelah lumpuh akibat pertikaian yang ada selama ini," ujar Katib I PB Syuriah NU Abdurrahman Wahid pada TEMPO. Kecuali itu, juga "untuk menetralisasikan kasak-kusuk bahwa para kiai mau mencoba menyabot Sidang Umum MPR, walau sebenarnya tidak demikian." Menurut Abdurrahman Wahid, setelah ditunggu tidak ada penyelesaian -- sedang tampaknya tidak ada perubahan posisi masing-masing -- Rais Aam memutuskan untuk sementara memangku jabatan ketua umum itu sendiri, karena jabatan itu tidak bisa dibiarkan kosong. Rais Aam berhak melakukan ini untuk mencegah terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan, terutama menjelang Sidang Umum MPR. Misalnya dalam masalah penataan kehidupan politik. "Kami tidak ingin ada tindakan sepihak oleh orang-orang yang mengatasnamai NU," kata Abdurrahman. Lalu bagaimana dengan kedudukan Idham Chalid? "Ini tidak menyangkut soal status," ujar Abdurrahman. Pemangkuan jabatan ketua umum oleh Rais Aam ini menurut dia "sampai ada ketua umum yang definitif". Diharapkannya itu bisa terjadi dalam waktu yang singkat. Dan tidak tertutup kemungkinan masalah penetapan seorang pejabat ketua umum sementara. "Itu tergantung pada musyawarah dengan Pak Idham," sambungnya. Kemelut dalam NU muncul di permukaan sejak 6 Mei tatkala Ketua Umum NU Idham Chalid menyatakan diri mundur dari jabatannya. Pernyatannya itu ditandatangani di tempat kediamannya pada 2 Mei di depan empat ulama besar yang menemuinya: KH Ali Ma'shum, KH As'ad Syamsul Arifin, KH Machrus Ali dan KH Masykur. Alasannya: kesebatan Idham Chalid tidak memungkinkannya memegang terus jabatan yang dipegangnya sejak 1956 itu. Pengunduran diri itu ternyata mengguncang NU dan memunculkan perbedaan pendapat yang selama ini tertutup. Ada yang kaget, mendukung, protes, malah ada yang menuduh para kiai melakukan "kudeta' terhadap Idham Chalid. Kemelut makin menjadi-jadi setelah pada 14 Mei Idham Chalid menyatakan menarik kembali pernyataan pengunduran dirinya. Alasannya: ada protes dari 17 wilayah ditambah hal lain yang menyangkut kemaslahatan jamiyah NU. Ia juga menegaskan akan tetap menjalankan tugas selaku Ketua Umum PB NU "sesuai dengan kepercayaan dan keputusan Muktamar ke-26 di Semarang" yang memilihnya. Pernyataan itu diakhiri dengan permintaan maaf Idham pada "bapak-bapak kiai yang saya muliakan" yang menjadi saksi pengunduran diri yang telah dicabutnya. Tampaknya di balik pencabutan kembali pengunduran diri Idham Chalid terdapat lika-liku yang belum jelas benar. Namun yang terkuak adalah pertentangan yang semakin tajam antara "sayap politik praktis" NU dengan kelompok ulama. Sayap politik, yang tumbuh sejak NU keluar dari Masyumi pada 1953, ternyata berkembang makin kokoh, independen dan "mapan". Peran ulama, dalam organisasi para ulama, terasa agak tersisih karena keterlibatan utama organisasi tersebut di bidang politik. Bergesernya peranan -- dan mungkin juga kemapanan -- itu menyebabkan timbulnya berbagai tantangan terhadap gagasan untuk mengembalikan NU sebagai organisasi sosial seperti waktu didirikan pada 1926. Dalam kasus Idham Chalid, sebagian besar politisi NU tampaknya mendukung Idham, sedang sebagian besar ulama tetap menentangnya. Kemelut makin lanjut dengan munculnya perang pernyataan dan dukungan antara para pendukung dan penentang pengunduran diri Idham Chalid -- sesuatu yang sangat jarang terjadi dalam NU. "Tantangan" pada ulama seperti terjadi dalam kasus ini agaknya juga baru pertama kali terjadi di NU. Di bidang hukum agama, kontroversi juga terjadi mengenai sah atau tidaknya pencabutan pengunduran diri Idham. Sejak Mei itu suasana ketidakpastian terus memayungi NU. Rapat pleno PB NU --meliputi Syuriah dan Tanfidziah -- yang diberitakan akan diselenggarakan setelah Lebaran belum juga terlaksana sampai kini. Hingga praktis sejak itu roda organisasi NU memang mandek. Keluarnya seruan PB NU dengan pencantuman Rais Aam Ali Ma'shum sebagai Pemangku Jabatan Ketua Umum tampaknya untuk mengakhiri ketidakpastian ini. Masing-masing pillak agaknya juga telah memasang kuda-kuda. "Cabang-cabang kompak, tetap mengakui Pak Idham sebagai Ketua Umum," kata Amin Iskandar, anggota DPR dari B-PP yang dikenal sebagai pendukung Idham Chalid. Dewasa ini, menurut dia, sudah separuh dari cabang NU meminta diadakannya muktamar luar biasa. "Muktamar akan diadakan bulan Desember nanti," ujarnya. Ditambahkannya, adalah hak pengurus besar untuk menentukan panitia muktamar. "Kami sudah menyiapkan orang-orangnya," kata Amin. Namun tampaknya para ulama tetap menganggap Idham Chalid sudah mengundurkan diri sebagai ketua umum. "Dari sudut apa pun juga, menurut hukum, pencabutan pengunduran diri Idham Chalid itu tidak pernah dianggap sah. Karena itu sampai sekarang saya adalah Rais Aam yang menjalankan tugas Ketua Umum PB NU," kata Rais Aam KH Ali Ma'shum pada TEMPO. Kiai Ali berpendapat, jika Idham Chalid tetap menganggap dirinya Ketua Umum PB NU "itu terserah pada Idham sendiri." "Yang jelas umat NU, sesuai dengan tradisinya, selalu berpedoman pada ulama. Dan ulama kenyataannya menganggap Idham Chalid sudah mundur," kata Ali Ma'shum. Idham Chalid sendiri tak mau menanggapi perkembangan ini. Ditemui di Gedung DPR seusai pidato kenegaraln Presiden Senin lalu, ia hanya mengatakan "No Comment".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus