Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggapan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
BERIKUT ini tanggapan kami atas Opini Tempo edisi 18-24 Agustus 2008 tentang ”Kisruh Royalti Batu Bara”.
- Opini ini tak membahas sedikit pun soal kewajiban kontraktor dalam kontrak PKP2B yang harus membayar pajak penjualan (PPn) berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1951. Padahal pajak penjualan inilah yang menjadi sebab mencuat.
- Opini ini tidak mengulas kewajiban pajak penjualan yang mengakibatkan ulasan bergeser menjadi lebih sederhana, yaitu hanya ”klaim terkatung-katung, royalti digantung”. Lebih jauh lagi, pengeluaran masalah pajak penjualan dari ulasan tersebut menyebabkan sebab-akibat menjadi melenceng.
- Hasil kajian BPKP menunjukkan yang ditahan oleh kontraktor merupakan royalti yang sampai 2005 telah mencapai Rp 3,8 triliun. Jumlah tersebut, menurut kontraktor, sama dengan jumlah PPN Masukan yang mereka anggap harus diremburs oleh pemerintah.
- Kewajiban perpajakan yang tertuang dalam kontrak PKP2B, antara lain kewajiban membayar pajak penjualan berdasarkan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1951 selama masa kontrak walaupun terbit ketentuan pajak baru. Namun, setelah terbit paket Undang-Undang Perpajakan Tahun 1983, baik pemerintah maupun kontraktor menerapkan mekanisme pajak pertambahan nilai (PPN) sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang PPn dan PPn-BM.
- Alasan Direktorat Jenderal Pajak dan kontraktor menerapkan mekanisme PPN:
- Menurut Ditjen Pajak, PPN adalah penerusan dari PPn yang sudah tidak berlaku lagi, sehingga sesuai dengan mekanisme PPN, jika pajak masukan (PPN Masukan) lebih besar daripada pajak keluaran (PPN Keluaran), kontraktor berhak mengajukan restitusi. Jadi mekanisme PPN bukan pajak baru melainkan penerusan PPn saja).
- Menurut kontraktor, PPN merupakan pajak baru. Restitusi pajak masukan yang lebih besar daripada pajak keluaran sesuai dengan mekanisme OON merupakan pelaksanaan reimbursement yang diatur dalam kontrak PKP2B Pasal 11.3. Pasal 11.3 Kontrak PKP2B Generasi I berbunyi: PN Batubara akan membayar dan menanggung serta membebaskan kontraktor dari semua pajak, bea, sewa, dan royalti yang dipungut oleh pemerintah sekarang ataupun di masa mendatang, kecuali yang ditentukan dalam pasal jika demi tujuan kelancaran kegiatan sesuatu jenis pajak di luar pasal 11.2 dibayar oleh kontraktor, PN Batubara akan membayar dalam 60 hari setelah diterimanya faktur yang bersangkutan.
- Sebaiknya Ditjen Pajak dan kontraktor dapat berunding dan duduk bersama untuk menerapkan mekanisme PPN tersebut dengan tidak mengabaikan kententuan kontrak PKP2B, khususnya tentang kewajiban pajak penjualan.
Demikian tanggapan kami agar tidak membingungkan pembaca.
Ratna Tianti Ernawati
Bagian Humas Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan
Terima kasih atas tanggapan Anda. – Redaksi
Keberatan Bank Indonesia
BERKAITAN dengan pemberitaan Tempo edisi 25-31 Agustus 2008 halaman 4, kami ingin meluruskan judul ”Skandal Baru Bank ’Suap’ Indonesia”.
- Kami memahami pemberitaan yang selama ini dikedepankan Tempo. Namun penggunaan judul tersebut sangat tendensius dan mencampuradukkan opini yang menghakimi. Kami berpendapat judul itu tak sesuai dengan kode etik jurnalistik yang benar.
- Kami berharap Tempo dapat mempertimbangkan penggunaan judul dan penyebutan lembaga dengan tidak mencampuradukkan opini yang punya tendensi tertentu.
- Saat ini kami tengah berupaya memenuhi tuntutan dan harapan masyarakat agar Bank Indonesia menjadi lembaga yang lebih baik dan kredibel. Kami berharap semua pihak, termasuk media, membantu proses itu dengan memberitakan hal yang kondusif dan obyektif.
AMAN SANTOSA
Analis Eksekutif Biro Hubungan Masyarakat Bank Indonesia
Soal Tan Malaka
SAYA pembaca setia Tempo. Edisi Hari Kemerdekaan soal Tan Malaka membuka wawasan saya bahwa Tan Malaka juga seorang pahlawan. Sebagai mahasiswa, saya kurang mengenal tokoh ini. Karena itu, saya ingin mengenal lebih jauh sosok Tan Malaka dan pokok-pokok pikiran dari buku-bukunya. Bisakah Tempo mengirimi saya buku Madilog? Dalam bentuk fotokopi juga tak jadi masalah, mengingat, katanya, buku-buku Tan susah diperoleh di toko buku. Saya akan mengganti biaya dan ongkos kirim buku tersebut.
RUDI A. RAUF
Ternate, Maluku Utara
Bung Rudi, Anda bisa membeli buku Madilog, bahkan puluhan buku Tan Malaka lainnya, di toko buku. Buku Tan Malaka kini diproduksi ulang dan tak susah ditemukan. — Redaksi
Bukan Artis Itu yang Penting
Getolnya partai politik merangkul artis sebagai calon anggota legislatif tidak lepas dari citra partai yang semakin menurun di mata rakyat. Hal ini bisa terjadi karena sang kader partai politik cenderung hanya memperjuangkan kepentingan pribadinya sendiri. Sementara itu, kepentingan yang lebih luas, yaitu membela hak-hak dan kepentingan rakyat, malah dikesampingkan.
Celakanya lagi, partai hanya dekat dengan rakyat pada saat menjelang pemilihan umum. Mereka berusaha mendekati rakyat dengan menjanjikan sesuatu kepada masyarakat. Kenyataannya, setelah terpilih, rakyat tidak lagi dipedulikan. Partai dan anggota parlemen tidak lagi peduli terhadap kondisi rakyatnya yang hidup miskin.
Karena itu, hendaknya partai mempunyai sensitivitas yang tinggi terhadap rakyat yang diwakilinya, termasuk politikus dari kalangan artis. Bila hal itu terwujud, niscaya rakyat tak bakal mempersoalkan wakil mereka dari kalangan artis atau bukan.
I MADE ADIYAKSA
Jatiwaringin, Jakarta Timur
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Aneh
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mencoret Agus Condro Prayitno dari daftar calon anggota legislatif 2009. Ia dinilai melanggar etika dengan membeberkan para penerima uang dari Miranda S. Goeltom saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia. Seharusnya Agus melapor dulu ke fraksi, baru ke Komisi Pemberantasan Korupsi atau media.
Langkah ini mengundang tanda tanya publik. Masyarakat akan bertanya-tanya dan tidak menutup kemungkinan akan menduga mengapa Ketua Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan justru mengambil langkah mencoret Agus Condro dari daftar calon anggota legislatif, bukan mengusut nama-nama anggota fraksi yang diduga terlibat. Timbul kesan elite Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan melindungi sekelompok anggotanya yang diduga menerima duit Miranda itu.
Teuku Fachri
Samarinda, Kalimantan Timur
Politikus, Jangan Saling Curiga
Para politikus di Senayan menilai pidato Hari Kemerdekaan Presiden sebagai kampanye, di antaranya menaikkan gaji pegawai negeri sipil, pensiunan, tentara, dan polisi 20 persen. Sungguh mengherankan melihat para politikus di negeri yang selalu melihat sesuatu dari sudut negatif. Cobalah berjiwa besar mengakui keberhasilan orang lain dengan cara yang bijak, berilah contoh kepada rakyat cara berpolitik yang baik.
Presiden sudah tentu berupaya menaikkan citra di mata rakyatnya, jadi wajar saja bila seorang presiden mengungkapkan keberhasilan dan rencana ke depan untuk menyejahterakan rakyatnya. Selain itu, pidato seorang presiden sudah tentu untuk menjawab persoalan bangsa. Maka sebaiknya anggota parlemen jangan hanya asal bicara. Jangan memupuk budaya saling curiga dan saling menjatuhkan.
Introspeksilah, saat ini rakyat memperhatikan perilaku Anda yang tak bermoral, di antaranya melakukan tindakan korupsi yang merugikan negara. Bersikaplah seperti politikus sejati, hindari saling menghujat.
Rosa Susanti
Jakarta
Politikus Kutu Loncat
Tidak penting partainya, yang penting jadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Ini perilaku sebagian politikus kita belakangan ini. Politikus ”kutu loncat” yang pindah partai politik menjelang hajatan politik, seperti pemilihan umum legislatif 2009, hanya untuk kepentingan pribadi karena tidak memiliki landasan ideologi politik sebagai pegangan hidup. Ini menunjukkan belum kuatnya keterikatan ideologi kader dengan partai.
Politikus dan partai sama-sama tak memiliki loyalitas dan menunjukkan partai tidak mengabdi pada kepentingan rakyat, hanya mengejar kekuasaan serta berpolitik hanya untuk memenuhi ambisi. Politikus kutu loncat jelas bukan pendidikan politik yang baik. Berpolitik dalam konteks bernegara adalah sebuah proses menuju kekuasaan. Memegang tampuk kekuasaan berarti jalan untuk memajukan bangsa. Itu misi adiluhung berpolitik yang semestinya diagungkan.
Kemerdekaan berpolitik seharusnya tetap mengacu pada kualitas dan mengabdi pada kepentingan rakyat seluas-luasnya. Karena itu, untuk menciptakan anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang responsif terhadap tuntutan rakyat, harus dibuat regulasi yang baik sehingga tercipta kompetisi sehat dalam proses rekrutmen anggota parlemen.
Reza Sanubari
Tebet, Jakarta Selatan
Mari Tengok Laut Kita
Kerajaan Sriwijaya menjadi kerajaan yang disegani bangsa lain karena mengandalkan kekuatan maritim. Mungkin inilah jawaban kenapa bangsa kita tertinggal terus. Kita bangsa maritim tapi hidup dengan budaya agraris. Laut kita tak diberdayakan secara optimal. Organisasi Pangan Sedunia (FAO) mencatat, kendati bidang pertanian menyediakan lapangan kerja bagi lebih dari 40 persen penduduk Indonesia, bidang ini hanya menyumbang sekitar 17 persen dari total pendapatan domestik bruto.
Dalam era globalisasi ini, Indonesia sebagai negara maritim semakin perlu menggali kekayaan sumber daya maritim serta melindungi wilayah maritimnya melalui pengembangan kegiatan kemaritiman dari berbagai aspek. Sudah tiba waktunya bagi Indonesia untuk membangun seluruh potensi di sektor maritim sebagai sumber kemakmuran.
Dengan cara pandang yang membuat laut adalah yang terpenting bagi negara ini, dapat dipastikan cara pandang ”daratan” akan tergantikan. Konsekuensi logisnya, laut dijadikan sebuah sistem. Ini membuat suatu jaringan yang mengintegrasikan pulau-pulau di Indonesia. Laut bukan lagi penghalang, tapi pemersatu.
Sejarawan Anthony Reid bilang perkembangan kota-kota emporium di pantai utara Jawa menduduki tempat penting dalam hubungan dengan perkembangan perekonomian Nusantara. Kota-kota pelabuhan tersebut telah berperan sebagai pelabuhan perantara internasional yang menghubungkan Jawa dan daerah produsen rempah-rempah di daerah Kepulauan Maluku yang ada di ujung timur Nusantara dan daerah Nusantara yang ada di ujung barat.
Ricard Radja
Kupang, Nusa Tenggara Timur
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo