Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ribut-ribut protes mantan Kepala Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Rusdi Taher versus para petinggi di Kejaksaan Agung seharusnya bisa dilihat dengan jernih. Namun, kasus yang mendera korps jaksa ini tampaknya berkembang makin ruwet. Terjadi saling tuding, silat lidah, dan saling menyalahkan satu sama lain.
Mari kita urai perkaranya. Terhadap sikap tegas Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh yang baru saja mencopot Rusdi dari jabatannya, majalah ini jelas menyokong. Sanksi keras layak diberikan kepada bekas anggota Fraksi Golkar di parlemen itu. Kejaksaan yang ia pimpin terkesan main-main ketika menangani kasus psikotropika jenis sabu-sabu seberat 20 kilogram milik terdakwa Hariono Agus Tjahjono tahun lalu.
Empat jaksa yang menyidangkan perkara itu di Pengadilan Negeri Jakarta Barat menuntut terdakwa dengan pidana tiga tahun penjara yang langsung divonis sama oleh majelis hakim. Tuntutan dan putusan itu dinilai terlalu ringan, terlebih bila dikaitkan perkara terdakwa Ricky Chandra alias Akwang (rekan satu sindikat Hariono) yang dituntut pidana mati dan dijatuhi vonis seumur hidup.
Untunglah, Kejaksaan Agung cepat tanggap. Empat jaksa yang menangani perkara itu diperiksa, lalu diberi sanksi. Dua jaksa dipecat dari statusnya sebagai pegawai, dua lagi dilepas dari fungsinya sebagai jaksa. Mereka dinilai tidak menjalankan garis komando Kejaksaan Agung yang menginginkan tuntutan maksimal bagi Hariono. Sebagai atasan, Rusdi Taher pun tak bisa lepas tanggung jawab—sebab itu ia dicopot dari posisinya.
Bahwa jika Rusdi kemudian mengajukan keberatan, apa pun bentuknya, termasuk mengundurkan diri, kepada Jaksa Agung, kami juga menilainya sah-sah saja. Ia boleh merasa diperlakukan tidak adil. Kalau ”perlawanan” itu lantas berlanjut sampai ke meja para wakil rakyat di gedung DPR, tentulah perlu kita dukung. Ini akan bisa menjadi rahmat tersembunyi yang justru dinantikan banyak orang.
Forum rapat itu, jika jadi digelar kelak, bisa dijadikan ajang untuk mendengarkan ”curhat” atau ”nyanyian sumbang” Rusdi. Ia harus berani blak-blakan mengungkap siapa gerangan bekas atasannya yang kerap mengintervensi perkara besar. Toh, ia sudah menyebut sejumlah kasus, di antaranya korupsi Ketua Komisi Pemilihan Daerah DKI M. Taufik dan sengketa tanah Kemayoran yang melibatkan pengusaha besar yang dekat dengan pusat kekuasaan.
Perlawanan Rusdi ini bisa jadi pintu pembongkar selubung rahasia di balik praktek tebang pilih para jaksa ini. Jangan tanggung-tanggung, ungkap saja segala kebobrokan dan kedok sandiwara itu. Ia mestinya tak perlu enggan bicara apa adanya lantaran khawatir mengguncang stabilitas politik. Ini alasan yang hiperbolis. Terbongkarnya borok nan kronis di Kejaksaan Agung mesti dikedepankan.
”Bersih-bersih” tidak boleh berhenti di situ. Permintaan yang ganjil dalam kasus Taufik tadi perlu diusut. Sudah menjadi rahasia umum bahwa di Kejaksaan Agung juga berkeliaran jaksa-jaksa nakal. Sesuai dengan Undang-Undang Kejaksaan, lembaga penuntutan merupakan satu kesatuan. Inilah yang membuat Kejaksaan Agung berhak ”mengintervensi” Kejaksaan Negeri dan Kejaksaan Tinggi.
Dalam kasus narkoba dan korupsi yang besar, kejaksaan bahkan wajib menyampaikan rencana penuntutan ke Kejaksaan Agung. Jadi, peluang memperjualbelikan tuntutan juga ada di sana. Maka, kasus Rusdi ini bisa jadi berkah. Bisa dipakai Jaksa Agung sebagai momentum bagi gerakan pembersihan jaksa-jaksa nakal di semua lini. Jangan tunda lagi, Bung Arman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo