Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Tahun 2045.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
“Reality is a bummer,” demikian ucap Wade Watts (Tye Sheridan) seolah menjelaskan mengapa adegan pertama film ini adalah Columbus, Ohio, dan seluruh AS sebagai tempat yang busuk, kotor, miskin, mirip tempat pembuangan sampah abadi. Masyarakat akhirnya lebih banyak menghabiskan waktu mencari ‘suaka’ ke dunia virtual di mana mereka bisa bersalin rupa menjadi avatar sekeren apapun yang mereka idamkan dan bergabung dengan game apapun yang mereka inginkan.
Adalah OASIS (Ontologically Anthropocentric Sensory Immersive Simulation, sebuah singkatan yang tak penting lagi artinya bagi penonton awam karena kata Oasis pun sudah mengirim simbol), sebuah dunia indah dan penuh keajaiban dan permainan yang diciptakan oleh si jenius James Halliday (Mark Rylance). Oasis sebegitu asyik dan sudah menciptakan ‘masyarakat’nya sendiri, hingga di dunia nyata kita hampir selalu bertemu dengan warga yang mengenakan kacamata VR (virtual reality) yang bergerak, berloncatan, berteriak sendiri karena dia sedang dalam alam ciptaan Halliday.
Di dunia nyata, Wade adalah remaja lelaki yang merasa lebih ‘hidup’ setiap kali masuk ke dunia Oasis sebagai Parzival, seorang anak muda cakep dengan rambut yang sengaja awur-awuran (karena demikianlah wajah cool dan keren) dan cerdas, yang berkawan dengan Aech yang ahli bongkar pasang mobil atau kendaraan sebesar apa pun (Lena Waithe dengan penampilan yang sangat asyik). Mereka sama-sama takjub pada sosok Art3mis alias Samantha Cook yang keren dan cantik.
Film Ready Player One. Warner Bros
Tapi ada persoalan yang lebih urgen daripada sekedar menganga melihat kelincahan Art3mis: saat Halliday wafat, dia meninggalkan serpihan kode di berbagai tempat agar khalayak bisa menemukan tiga buah kunci untuk menemukan telur paskah. Bagi mereka yang berhasil menemukannya, akan diwariskan seluruh Oasis dengan segenap kekayaan dan perangkat perusahannya. Bisa dibayangkan para kaum rakus dari kaum corporate semacam Nolan Sorrento (Ben Mendehlson ), CEO dari Innovative Online Industries yang memiliki ribuan karyawan yang dikerahkan untuk mencari ketiga kunci itu.
Maka titik utama film ini adalah pencarian kunci dan siapa yang memperoleh telur paskah dan yang bakal menguasai Oasis; tetapi tentu saja Steven Spielberg yang —bagi generasi saya adalah sutradara pencipta film E.T— pasti memasukkan moral penting dari dunia ini. Maka rombongan kelompok Parzifal —dengan tambahan duo Jepang Daito (Win Morisaki) dan Shoto (Philip Zhao)— saling bersaing dan kejar mengejar dengan anak buah Nolan yang berada di setiap titik, baik di jagat Oasis maupun di dunia nyata.
Ini memang sebuah film bagi para ‘nerd’ penggemar game, penggemar “hidup” di luar “kehidupan nyata” yang dianggap suram dan menyedihkan. Film ini saja diangkat dari apa yang disebut LitRPG (Literary Role Playing Game), sebuah subgenre sastra yang menggabungkan novel science-fiction dengan MMORPG (Massively Multiplayer Online Role-Playing Games) , sebuah rangkaian permainan game yang melibatkan banyak pemain dengan banyak peran.
Bagi generasi ‘sepuh’ , subgenre itu membingungkan karena mereka sama sekali belum pernah atau bahkan tak tahu eksistensi LitRPG atau MMORPG. Tetapi Spielberg mampu merangkul semua generasi karena dia mengangkatnya ke dalam film ‘konvensional’ yang tetap bisa dinikmati dengan mencoba menggunakan ‘dunia khayal’ itu sama saja seperti kita menikmati jagat wayang atau jagat fantastis lainnya: ada si jahat, ada si baik, ada si baik yang menjadi jahat atau yang jahat ternyata baik. Ada dual identitas, ada keinginan membuhulkan fisik dan kedahsyatan dalam Oasis; lantas kembali pada situasi realistis di mana tokoh-tokoh kembali menjadi dirinya : yang tidak keren, yang tidak jagoan, yang tidak penuh warna… Spielberg juga merangkul ‘kaum sepuh’ dengan memasukkan simbol-simbol kebudayaan populer, bukan saja musik tahun 1970-an dan1980-an.
Pada adegan pengejaran dengan memundurkan mobil, Parzifal memasuki sebuah lorong waktu bak film Back to the Future, di dalam kapsul itu kita kemudian disajikan dinosaurus dan berbagai simbol film-film terkemuda sepanjang beberapa puluhtahun terakhir. Spielberg bahkan mengabdikan waktu yang cukup panjang sebuah adegan tribute untuk film The Shining (Stanley Kubrick).
Spielberg berhasil merangkul banyak generasi untuk sebuah film ini. Perkawinan adegan adegan-adegan kenyataan dan dunia virtual ganti berganti dengan mulus, meski secara sengaja Spielberg menyajikan dunia Oasis secara dominan. Akan ada saat penonton seakan tengah terlibat dalam game saking lamanya kita berada di Oasis.
Problem lain adalah karena kesibukan memuluskan berbagai pesta teknologi ini, maka tokoh-tokoh itu tak berhasil digali lebih dalam meski ada beberapa sedikit cerita tentang latar belakang Art3mis.
Namun film ini memang untuk mereka yang bermain dan mencari Oasis; sementara Spielberg secara tak langsung mengingatkan bahwa Oasis tak akan pernah ada di dalam hidup nyata.
READY PLAYER ONE
Sutradara: Steven Spielbirg
Skenario: Zack Penn dan Ernest Cline
berdasarkan Ready Player One, sebuah LitRPG science fiction karya Ernest Cline
Pemain: Tye Sheridan, Mark Rylance, Simon Pegg, Lena Waithe, Olivia Cooke