Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Menegakkan Syariat tanpa Teror

10 November 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Irfan S. Awwas Ketua Lajnah Tanfidziyah Majelis Mujahidin Indonesia GERAKAN Islam yang hendak membangkitkan supremasi Islam melalui penegakan syariat, dalam pandangan dunia Barat, khususnya pemerintah AS, diterjemahkan sebagai gerakan teroris. Untuk wilayah Asia Tenggara ada Jamaah Islamiyah di bawah pimpinan Ustad Abu Bakar Ba'asyir. Pada tingkat regional, ada Kelompok Militan Malaysia (KMM) dan Majelis Mujahidin (MM) di Indonesia. Ketika dihadapkan pada isu terorisme internasional yang dirancang AS, PBB lalu memasukkan Jamaah Islamiyah sebagai jaringan teroris. Dengan serta-merta, dunia mengutuk gerakan penegakan syariat Islam sebagai gerakan antiglobalisasi. Umat Islam tidak mampu berbuat apa-apa. Kondisinya bagai sosok lelaki tua, terbaring tidak berdaya, papa, sakit-sakitan, dizalimi; tidak dilindungi hukum, dituduh teroris pula. Tapi bagaimana mengidentifikasi Jamaah Islamiyah sebagai sebuah institusi gerakan, dan mengaitkannya dengan Ustad Ba'asyir? Parameter apa yang digunakan ketika menjerat seseorang atau sekelompok orang masuk ke dalam jaringan Jamaah? Apakah kategorinya berdasarkan pandangan ideologis, pemahaman keagamaan, pola gerakan, atau tindakan teror yang dilakukan? Pertanyaan ini menjadi penting karena dua alasan. Pertama, baik pemerintah Malaysia maupun Singapura tidak tahu persis tentang eksistensi Jamaah Islamiyah, sekalipun mereka telah menjaring ratusan aktivis muslim dengan menggunakan undang-undang keamanan dalam negeri. Apakah Jamaah Islamiyah itu fakta atau fiktif, sampai sekarang masih misteri. Alasan kedua, setelah penangkapan Amrozi--tersangka peledakan bom di Bali—Majelis Mujahidin, sebuah institusi tansig (aliansi) untuk penegakan syariat Islam, kebagian getah dikaitkan tidak saja dengan peledakan bom Bali, tetapi juga dengan serangkaian aksi kekerasan di Tanah Air. Menegakkan syariat Islam dan aksi teror bom adalah dua hal yang berbeda. Mengaitkan keduanya sama sekali tidak rasional. Menegakkan syariat Islam adalah proses penanaman nilai yang tiada henti dan berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Ini merupakan tanggung jawab sekaligus kewajiban iman yang harus dipikul baik oleh muslim yang menerima atau menolak syariat. Karena itu, memaksakan tegaknya syariat dengan kekerasan justru kontraproduktif dan akan dijauhi masyarakat, karena akibat aksi kekerasan itu akan sangat menyusahkan masyarakat. Padahal, masyarakatlah yang merupakan obyek utama dari upaya penegakan syariat Islam. Peristiwa peledakan malam Natal 2000 bukan saja bertentangan dengan kemanusiaan, tetapi Al-Quran juga telah melarang hal itu, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Hajj ayat 40. Dalam konsep Daulah Islamiyah, kalangan nonmuslim malahan mendapat perlindungan atas jiwanya, hartanya, dan tempat ibadahnya. Demikian pula dengan tragedi ledakan bom di Bali. Aksi tersebut tidak memiliki pembenaran secara syar'i. Meski korbannya sebagian besar non-Islam dan pelaku kemaksiatan, mereka tidak dalam rangka memerangi Islam dan umat Islam, maka membunuh mereka dalam keadaan demikian adalah tidak relevan. Tuduhan berencana membunuh Presiden Megawati—yang dialamatkan polisi kepada Ustad Ba'asyir—juga tak masuk akal. Bagi kami, Megawati adalah obyek dakwah, bukan target pembunuhan hanya karena ia berpeluang besar menjadi Presiden RI kala itu. Tugas para aktivis penegak syariat Islam seperti MMI adalah menyampaikan yang haq, dengan cara membenarkan yang benar dan menyalahkan yang salah, apa adanya. Menurut sunah Rasulullah SAW, Presiden wanita haram, maka MMI berkewajiban menyampaikan itu. Yang lebih mengusik akal sehat kita adalah mengapa ketika terbit isu adanya rencana mendirikan Negara Islam Nusantara, yang salah seorang penggagasnya adalah seorang guru ngaji dari sebuah kampung bernama Ngruki, hal itu bisa menghebohkan dunia Barat. Sebaliknya, ketika muncul isu rencana mendirikan Negara Kristen Asia Pasifik, yang melibatkan tokoh-tokoh internasional seperti Presiden Bush (AS) dan Presiden Arroyo (Filipina), media massa dan dunia internasional membisu? Fathur Rohman al-Ghozi pernah nyantri di Ngruki yang didirikan Abu Bakar Ba'asyir. Ketika ia menjadi santri, Ba'asyir masih dalam pelarian di Malaysia. Al-Ghozi dituduh bagian dari jaringan Al-Qaidah, dituduh memiliki bahan peledak dalam jumlah besar, dan mempunyai rencana menyerang fasilitas Amerika di Asia Tenggara. Tuduhan itu belum jelas betul, mulai dari keberadaan Al-Qaidah hingga bukti tindakan kekerasan yang dilakukan Al-Ghozi. Namun yang sudah pasti, karena Al-Ghozi pernah menjadi santri Ngruki, lembaga pendidikan itu berikut pendirinya langsung terkait. Berbeda dengan itu adalah ketika sebuah fakta terungkap, tentang seorang prajurit yang terlibat peledakan BEJ beberapa tahun lalu. Keterlibatannya itu sama sekali tidak dikait-kaitkan dengan institusi tempat ia berkiprah selama ini. Sang prajurit cuma disebut oknum yang melakukan desersi. Bandingkan dengan Soeharto, jenderal besar berbintang lima, yang selama 32 tahun memimpin negeri ini, dan berujung pada kehancuran. Seluruh sistem yang ia bangun sarat dengan korupsi. Bukan cuma Soeharto yang "lulusan" TNI, tetapi juga Ginandjar, I.B. Sudjana, bahkan untuk level menteri, gubernur, wali kota, bupati, atau camat, hingga kelurahan, banyak dijabat oleh lulusan TNI. Dapatkah kita mengatakan bahwa institusi TNI harus dibubarkan, karena banyak lulusannya yang diberi kesempatan memimpin negeri ini justru membuat kehidupan berbangsa dan bernegara porak-poranda?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus