Seorang perempuan cantik berpenampilan trendi mendekati seorang lelaki perlente di sebuah mal. Dengan mikrofon di tangan, ia menantang lelaki itu untuk berubah rupa: mengganti baju bermerek dengan baju compang-camping, kotor, berlubang. Si lelaki akan mendapat Rp 5.000 jika bersedia melakukan itu. Tapi ia akan menerima Rp 1 juta jika mau menjadi pengemis "betulan". Eh, lelaki itu mengangguk.
Kamera merekam, lelaki gedongan itu mendekati sejumlah orang dengan tangan menengadah. Ada yang memberi, ada yang cuma melengos. Drama di tengah mal mencapai puncak ketika satpam mengepung si "pengemis". Mereka berbantahan. Bogem mentah satpam mungkin sudah akan menjangkau muka sang pengemis kalau saja si perempuan cantik dengan kru televisinya tidak segera masuk ke kerumunan, menjelaskan duduk perkaranya. Akhirnya, "pengemis" itu tersenyum: inilah hari keberuntungannya.
Semua senang, termasuk satpam, yang terganggu tatkala melihat seorang pengemis dekil berkeliaran di mal yang mengkilap. Elemen surprise, elemen tak terduga, telah menyergap perhatian masyarakat pemirsa televisi, dan mereka terhibur. Kehidupan di kota besar yang relatif monoton, tawar seperti sayur tanpa garam, membutuhkan kejutan. Tentu dalam dosis tak terlalu besar. Si jagoan penerima tantangan mendapat untung dan kemasyhuran sesaat. Dan stasiun televisi Indosiar, yang tiap Selasa malam menayangkan acara berjudul Tantangan itu, berhasil menarik perhatian penonton, iklan, dan sponsor.
Tina Zakaria, presenter acara Tantangan, bersama dengan Joe "Project P" itu lantas berkisah tentang episode-episodenya. Ada adu nyali yang meminta peserta masuk ke kandang macan sebentar, ada pula adu gengsi yang meminta seorang eksekutif muda berjalan-jalan di Plaza Indonesia dengan sehelai handuk, atau menggunduli rambut seorang cewek dengan imbalan Rp 1 juta-Rp 1,5 juta. Meski tidak menyebutkan angka, Tina mengatakan rating acara itu cukup tinggi.
Belakangan ini, akhir bulan lalu, muncul acara gila-gilaan lain yang menekankan pada daya tahan fisik dan hadiah yang jauh lebih membubung. Acara Touch the Car, yang disiarkan stasiun Metro TV dari Mal Taman Anggrek ini, tak menuntut nyali tinggi. Mobil Suzuki Aerio seharga Rp 123 juta akan diserahkan kepada peserta yang paling lama menyentuh mobil itu. Touch the Car adalah acara yang heboh karena peserta mesti berdiri terus, tanpa tidur, selama tiga hari lebih dan cuma beristirahat lima menit setiap dua jam untuk mendapatkan imbalan itu.
Jacob Abraham Rahandra, 43 tahun, seorang karyawan PT Dirgantara Indonesia, Bandung, yang menjuarai kontes ini, berdiri dan menempelkan tangannya ke mobil selama 66 jam. Lelaki kelahiran Tuwal, Maluku Tenggara, yang akrab dipanggil Yopie ini sempat mengalami halusinasi dan stres waktu melihat kakinya bengkak. Tapi, kepada TEMPO, karyawan bagian teknisi di Flight Test Centre ini mengaku bahwa sejak awal ia yakin menang dalam lomba ini. Sebagai teknisi pesawat, ia sudah biasa berdiri dan tak tidur berpuluh jam. Apalagi sebelum lomba ia sengaja makan teratur dan melakukan latihan fitness dua jam setiap hari. Buat karyawan golongan enam dengan gaji Rp 2 juta per bulan ini, Touch the Car adalah kesempatan emas. "Kalau saya menyisihkan uang dari gaji, kapan bisa punya mobil seharga Rp 123 juta begini?"
Uang dan kemasyhuran, dua hal yang menggiring orang berduyun-duyun mendaftarkan diri sebagai peserta. Memang, panitia memberi jaminan bahwa acara-acara yang digelarnya bersih dari segala risiko kesehatan. Untuk kontes makan cacing, misalnya, panitia telah berkonsultasi dulu dengan tim dokter. Tina Zakaria, presenter lulusan Hubungan Internasional Universitas Trisakti itu, percaya bahwa uanglah yang menggerakkan orang mengerahkan ketangkasan, nyali, dan kenekatan sampai ke titik ekstrem.
Sedangkan Profesor Sarlito Wirawan, psikolog sosial dari Universitas Indonesia, berpendapat lain lagi. Itulah avonturisme, gairah bertualang yang dipancing keluar dengan iming-iming uang. Di antara para sumber TEMPO, yang mengecilkan faktor uang adalah Jaya Suprana, pengelola Museum Rekor Indonesia (Muri) di Semarang. "Banyak orang itu memiliki motivasi untuk menjadi superlatif dibandingkan dengan lingkungannya. Karena itu, mereka yang prestasinya tercatat di Muri bukan memperoleh imbalan materi, melainkan piagam penghargaan.
Entah apakah yang dimaksud Jaya Suprana itu sekadar membubuhkan bukti keunggulannya atas orang lain atau sekadar permainan—sebagaimana yang digambarkan Sarlito Wirawan sebagai avonturisme. Yang jelas, kontes gila-gilaan ini menghibur masyarakat, menarik minat peserta. Sewaktu pendaftaran Touch the Car dibuka, ada 1.500 orang yang berbondong-bondong mencatatkan namanya. Tak masuk akal? Andalah yang bisa menilai.
Ign. Haryanto, Dwi Arjanto (Jakarta), Ecep S. Yasa (Semarang), Rinny Srihartini (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini