Akhir-akhir ini, sekali lagi, secara tiba-tiba figur Bung Karno menjadi obyek sorotan dari berbagai jurusan. Sebab, BK, bagaimanapun, merupakan satu figur politik. Untuk menyoroti lagi pemimpin bangsa itu, harus dicari juga segi alasan-alasan politiknya. Itu, memang, diakui juga oleh, antara lain, penulis Siapa Menabur Angin. Penulis Siapa Menabur Angin merasa perlu menggarap buku itu, karena keyakinannya dan kesadaran politiknya. Yakni, ia menjadi waswas ketika pada masa kampanye Pemilu 1987 melihat gelora antusiasme rakyat, khususnya golongan pemuda, yang berkostum merah mengarak gambar Bung Karno, Bapak dan Proklamator Republik Indonesia, yang sebenarnya sudah meninggal dunia sekian lama. Tidak boleh diragukan, memang, maksud atau itikad baik dan kesungguhan berbagai kelompok atau perorangan masyarakat atau penguasa untuk selama ini berusaha melukiskan Soekarno seperti yang dilihatnya. Namun, kiranya, sukar sekali, bahkan mustahil, bila orang yang masih terlalu dekat (dalam ruang waktu dan kepentingan) dengan orang besar bernama Soekarno itu bisa menilai dia secara obyektif. Yakni, menilai terlepas dari emosi, kepentingan pribadi atau politik, dan sebagainya. Bahkan, bisa dibayangkan, misalnya, orang-orang yang dulu dikenal lawan atau secara diam-diam menentang BK berhubung dengan perkembangan politik, bisa merasa perlu menyesuaikan, mengubah sikap, atau sebaliknya. Yang tak kurang penting pula, memang suasana dan sikon yang ada belum dapat dikatakan cukup sempurna untuk memungkinkan banyak orang, yang mestinya mengetahui sedikit banyak tentang presiden pertama RI, ikut mengutarakan pendapatnya tanpa hambatan psikologis dan lain-lain. Menghadapi ramai-ramai lagi tentang BK, dari pemerintah pun yang stabilitas oriented, tak boleh diharapkan suatu sikap atau kebijaksanaan yang mantap dan berdasarkan obyektivitas murni. Gugatan atau pujian terhadap BK, tentu, akan dinilai apakah dapat, "Menimbulkan keresahan di masyarakat yang nantinya bisa membahayakan persatuan-kesatuan bangsa atau pembangunan nasional." Maka, seandainya orang toh memaksakan untuk sekarang juga meng-"adili" Bung Karno, barangkali, tinggallah alternatif terakhir: menyimak tulisan-tulisan sementara -- justru dari ahli-ahli sejarah atau sarjana-sarjana politik asing. Dan tak sedikit di antara mereka dalam meng-"adili" Bung Karno menyebut dia sebagai patriot terbesar Indonesia. Tetapi ini, barangkali, alternatif yang kurang sesuai dengan harga diri bangsa yang dewasa dan berdaulat. OEI TJOE TAT, S.H. Jalan Blitar 10 Jakarta 10310
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini