BUNG KARNO atau Sri Sultan? Pilihan itu tidak mudah bagi kami. Pekan lalu sudah disiapkan sebuah laporan utama tentang Bung Karno. Sebuah angket telah kami adakan di beberapa kota dengan 1.000 responden. Kami ingin sekadar mendengar bagaimana pendapat khalayak tentang presiden pertama RI yang akhir-akhir ini jadi topik kontroversi itu. Berbareng dengan itu, sejumlah rekan telah selesai menelaah sejumlah buku dan bahan dokumentasi lain (termasuk koran lama). Mereka telah menyiapkan beberapa puluh halaman hasil riset. Juga telah terkumpul foto-foto yang jarang didapat dari macam-macam sumber. Tiba-tiba kejadian baru menyusul. Senin pagi jam 8.00 WIB, sebuah telepon dari Washington, D.C. Dikabarkan Sri Sultan Hamengku Buwono IX wafat. Info ini segera dicek ke pelbagai tempat. Dan rapat kilat pun segera diadakan di beberapa ruangan TEMPO, setelah Pemimpin Redaksi memutuskan bahwa laporan utama harus diganti: tak lagi tentang Bung Karno, tapi tentang Sri Sultan. Perubahan mendadak di hari Senin siang adalah sesuatu yang luar biasa -- dan juga mengandung biaya dan risiko yang besar. Bagian Desain Visual harus secara kilat mempersiapkan cover dan komposisi halaman baru. Percetakan yang sedang berjalan harus disetop -- dan kalau perlu membuang apa yang sudah tak bisa dipakai lagi, biarpun mahal. Majalah akan terlambat di jalanan. Hasil dari persiapan untuk laporan utama Bung Karno akhirnya pun mungkin tak akan bisa dipakai lagi. Sejumlah wawancara yang sudah diadakan didrop, dan ini mungkin mengecewakan banyak orang. Tapi risiko harus diambil. TEMPO harus bisa menyajikan cerita apa saja secepat mugkin dan selengkap kaml bisa. Maka, tim riset, tim reportase, dan tim penulis dimobilisasi lagi. Biro di daerah, terutama tentu saja di Jawa Tengah, disiapkan khusus untuk meliput suasana Yogya, di pusat kerajaan Hamengku Buwono IX itu. Tak cukup dengan itu. Dua wartawan TEMPO yang sedang cuti belajar di AS, Yusril Djalinus dan Bambang Bujono, bahkan harus terbang dari negara bagian lain ke Washington, D.C. Mereka ke sana untuk melaporkan segala sesuatu dari tempat Sri Sultan wafat. Mereka memperkuat koresponden TEMPO di kota itu, P. Nasution. Di Jakarta, berkat komputer di Bagian Dokumentasi Foto, segera diperoleh banyak simpanan foto Sri Sultan, baik untuk gambar cover maupun untuk ilustrasi cerita. Sementara itu, mengingat kehangatan berita pula, hasil pengumpulan pendapat kami tentang Bung Karno terus kami tulis. Meskipun dua bagian pembahasan tentang Bung Karno terpaksa tak jadi muncul. Yang tak boleh kami lupakan juga ialah bahwa di samping itu semua, TEMPO perlu mengulas hasil-hasil Olimpiade di Seoul. Ahmed K. Soeriawidjaja, yang harus pulang dari ibu kota Korea Selatan itu Minggu pekan ini, karena ayahandanya meninggal, Senin malamnya -- sehabis tahlilan -- harus siap bertugas kembali. Toh, telah kami putuskan cerita Olimpiade kali ini merupakan laporan istimewa. Banyak hal menarik dan sana. Untung, TEMPO telah bertambah tebal, untuk menampung soal-soal besar ini: Sri Sultan, Bung Karno, dan Olimpiade. Tak urung, semua siap bergadang panjang di TEMPO, sejak Senin malam sampai tengah hari Selasa. Dua jam sesudah itu, segera kami sudah harus bersiap-siap lagi: merencanakan TEMPO nomor depan, sesudah kisah Sri Sultan pekan ini. Akankah ada perubahan berita penting lagi ?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini