Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Kampus adalah tempat menimba ilmu dan tempat melahirkan orang-orang pintar.
Namun akhir-akhir ini publik disuguhi aksi tak elok cendekiawan kampus: pelecehan seksual, pengekangan kebebasan akademik, obral gelar akademis, hingga dosen yang “ngamen” menjadi penyokong kekuasaan melalui labelisasi akademis.
Cendekiawan kampus semestinya menyuarakan ketidakadilan, bukan menuruti nafsu dan agenda kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KAMPUS sejatinya adalah tempat menimba ilmu dan tempat melahirkan orang-orang pintar. Idealnya, di situ kebebasan berpikir dan berpendapat dijunjung tinggi, perbedaan dimaknai sebagai khitah, intelektualisme dan keadilan seutuhnya menjadi landasan dalam setiap mengambil keputusan. Namun, ibarat negara kecil, dari kampus pula kepentingan dan politik kekuasaan tiada henti tecerminkan. Dari waktu ke waktu, publik disuguhi aksi tak elok cendekiawan kampus: pelecehan seksual, pengekangan kebebasan akademik, obral gelar akademis, hingga dosen-dosen yang “ngamen” menjadi penyokong kekuasaan melalui labelisasi akademis. Semua itu menambah panjang daftar kekecewaan publik kepada cendekiawan kampus yang semestinya menyuarakan ketidakadilan dan bukan menuruti nafsu dan agenda kekuasaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Cendekiawan kampus perlu diingatkan bahwa masyarakat melihat mereka sebagai sosok paripurna pengembang ilmu pengetahuan dan keberadaban luhur, jauh dari nafsu dan politik praktis yang bisa menghancurkan kampus sebagai gambaran ideal berbangsa dan berdemokrasi. Maka tak berlebihan jika publik acap melabeli kaum cendekiawan sebagai begawan: orang yang mulia, suci; peletak dasar ilmu tertentu, sebagaimana dimaknakan Kamus Besar Bahasa Indonesia versi daring. Kamus yang sama juga menyebut begawan sebagai “gelar pendeta atau pertapa”.
Sebelum negeri ini merdeka dan cendekiawan makin gemar menuruti kekuasaan, sebuah naskah terbit di Sastradipura pada 1905 berjudul “Pandhita Mustakim Mulang Ngèlmi Dhatêng Dèwi Sujinah”. Naskah macapat itu mengajarkan ilmu hakikat salat, Tuhan, bumi, air, angin, hingga roh. Pandhita Mustakim mengajari istrinya cara bahagia dunia dan akhirat dengan sejumlah wejangan. Perempuan pantas diwejang karena ia merawat anak dan mengurus rumah. Urusan domestik biarkan menjadi urusan istri. Sang pendeta bersibuk diri mengurus keheningan batin.
Cerita wayang menghadirkan pendeta untuk tidak sekadar menjadi penasihat bagi para kesatria di palagan. Dalam level lanjut, pendeta merupakan sosok di balik cerita atau political influencer (pemberi pengaruh politik). Pendeta bergerak pada wilayah ilmu strategi karena ia paham siasat mencapai tujuan. Pendeta Durna dalam jagat pewayangan Jawa kontroversial lantaran ia menyuruh sang murid, Bratasena, untuk masuk hutan dan lautan ganas agar “mampu melawan diri dan menemukan kesejatian”. Toh, dalam lakon Dewaruci yang masyhur itu akhirnya Bratasena berhasil menemukan apa yang dicari. Sang guru nyatanya tak pernah bermaksud buruk. Pendeta memaksa murid menghadapi bahaya agar ia menemukan kesempurnaan hidup.
Begitulah kebudayaan Jawa merekam pandhita sebagai “wong ahli tapa, guru ngelmu kasampurnan”, orang yang ahli bertapa, guru ilmu kesempurnaan, seperti dimaknakan kamus Bausastra (Poerwadarminta, 1939). Pemaknaan itu mengajarkan, sebelum menjadi ahli kesempurnaan, pertapa wajib lebih dulu menggeluti jalan sunyi dan menghindari keduniawian. Keduniawian mesti ditinggalkan dulu sebelum intens berurusan dengan keheningan batin yang berpengaruh pada tindakan. “Sabda pandhita kadya idu geni”, perkataan pendeta seperti ludah yang berapi, begitu berpengaruh sekaligus berbahaya.
Kita mengingat narasi pandhita dan bagawan itu begitu dekat dengan sosok cendekiawan. Tak mengherankan jika pengakuan menjadi begawan dari kampus juga diinginkan oleh politikus. Kategori itu jelas tak cocok menjadi begawan. Semestinya begawan kampus adalah sosok anteng pengembang ilmu pengetahuan, lantang berpendapat menyuarakan kebenaran berdasarkan kajian mutakhir, dan bukan berpolitik praktis apalagi menuruti kekuasaan dan nafsu diri. Pada edisi 13 Februari 2021, majalah Tempo mengingatkan kampus yang meladeni para pemburu gelar akademis itu bakal kehilangan kepercayaan publik. Pada edisi 13 Agustus 2022, majalah itu kembali mengingatkan hal yang sama, bahwa kampus tak semestinya memberikan gelar kepada pejabat, politikus, dan orang berduit. Sebab, kampus bakal diragukan sebagai rumah para begawan menep. Di titik inilah publik berharap cendekiawan tak boleh salah mengambil keputusan, tak mengkhianati rasa keadilan, dan tak menutup-nutupi kebenaran. Sebab, “kesalahan yang disengaja” itu bisa berakibat fatal.
Sindhunata dalam Anak Bajang Menggiring Angin (1983) mengisahkan dengan liris akibat kesalahan dan nafsu seorang begawan. Di novel masyhur itu, kegagalan Begawan Wisrawa dan Sukesi menghayati Sastra Jendra, ilmu tentang kesempurnaan, dikisahkan kembali. Mulanya Dewi Sukesi bersayembara, hanya yang mampu memaknai Sastra Jendra yang berhak menikahinya. Ingin sekali Danaraja meminang putri Prabu Sumali itu. Namun, apa daya, ia tak menguasai pengetahuan tadi. Karena itu, ia meminta ayahnya, yang tak lain adalah Begawan Wisrawa, untuk membabar ilmu tersebut.
Datang ke negeri Alengka berbekal Sastra Jendra yang dikuasainya, Begawan Wisrawa pun hendak melamar Dewi Sukesi untuk putranya. Namun apa yang terjadi? Bertemu dengan Sukesi, berkatalah Wisrawa: “Sukesi, anakku Danaraja sudah mati karena belati-belati kaki kudaku.... Marilah kita menghiasi bumi ini dengan percikan darahmu ketika kau merintih pada malam pertama kau bersamaku. Lupakan anakku Danaraja, Sukesi….” Dari nafsu Begawan Wisrawa tersebut, lahirlah Rahwana, iblis dan angkara murka itu....
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo