Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Agar Kemenangan Besar Program Bioetanol Tercapai

Etanol berbasis selulosa menjawab dua masalah besar pada program bioetanol di Indonesia. Bagaimana mendorong pengembangannya?

8 Maret 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tenny Kristiana
Peneliti International Council on Clean Transportation (ICCT)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah Indonesia perlu segera mendorong pengembangan industri etanol berbahan baku selulosa (cellulosic ethanol) untuk menyokong program bioetanol nasional. Selain bahan bakunya berlimpah, etanol dari serat atau serabut tanaman ini lebih ramah lingkungan. Tumbuhnya industri cellulosic ethanol juga akan menjawab sejumlah persoalan dalam pengembangan bahan bakar nabati di Indonesia selama ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Isu bahan bakar ramah lingkungan kembali mencuat setelah disinggung dalam debat calon wakil presiden, akhir Januari lalu. Gibran Rakabuming Raka, pendamping Prabowo Subianto yang sejauh ini meraup suara terbanyak dalam pemilihan presiden 2024 versi hitung cepat, menyebutkan bioetanol sebagai salah satu solusi untuk mengurangi ketergantungan Indonesia pada energi fosil. Amat disayangkan, rencana pengembangan bioetanol yang mereka tawarkan masih berkutat pada etanol berbahan baku singkong dan tebu.

Selama ini, pemerintah mengusung konsep serupa: berfokus mengembangkan bioetanol dari tanaman pangan. Presiden Joko Widodo bahkan telah meluncurkan program bioetanol tebu untuk ketahanan energi pada Agustus 2022. Selain singkong dan tebu, tanaman jagung dibidik untuk pengembangan bioetanol. Namun hingga saat ini industri bioetanol belum berkembang pesat.

Gejala lambatnya program bioetanol makin terlihat belakangan ini. Wacana impor bioetanol kini malah mencuat di tengah seretnya pasokan etanol. Hal ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana mungkin program bioetanol yang diluncurkan untuk menekan impor bahan bakar minyak malah sekarang akan diimpor?

Masalahnya, pengembangan bioetanol yang bertumpu pada etanol dari tanaman pangan memang menghadapi seabrek persoalan. Bahan bakunya terbatas, bahkan tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat. Tahun lalu, Indonesia termasuk 10 besar konsumen gula dan jagung.

Pemerintah semestinya mempertimbangkan tingginya konsumsi tersebut apabila hendak memproduksi etanol dari tanaman pangan. Bila digeber serampangan, bukan tidak mungkin program ketahanan energi akan bertubrukan dengan ketahanan pangan. Debat food vs fuel ini semestinya diantisipasi agar tidak mengulang minyak goreng vs biodiesel. Pada awal 2022, ketika kelangkaan minyak goreng terjadi, crude palm oil (CPO) malah banyak dipakai untuk biodiesel.

Di sisi lain, etanol berbahan baku tanaman pangan juga sarat isu lahan. Wacana pembukaan lahan tanaman energi untuk mendukung program tersebut memantik kekhawatiran banyak kalangan bahwa pengembangan bioetanol malah memicu deforestasi. Munculnya kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan. Masalah serupa terjadi pada pengembangan industri sawit selama ini.

Pengembangan cellulosic ethanol bisa menjawab permasalahan tersebut. Bahan bakunya berlimpah. Jerami serta residu pertanian lain, termasuk cangkang sawit, bisa diolah untuk menghasilkan etanol. Studi International Council on Clean Transportation (ICCT) mencatat, dari bahan baku residu sawit saja, potensi produksi etanol di Indonesia mencapai 2 juta kiloliter per tahun. Potensinya bisa menjadi 50 juta kiloliter per tahun apabila ditambah dengan pengolahan jerami, batang jagung, serta ampas tebu. 

Dengan memanfaatkan selulosa untuk memproduksi etanol, pemerintah akan menghindari dua permasalahan sekaligus dalam program bioetanol. Debat food vs fuel tak akan terjadi karena etanol diproduksi dari sisa-sisa tanaman pangan yang sudah ada serta tidak pernah dimanfaatkan. Walhasil, ancaman deforestasi bisa dihindari karena program bioetanol tak mensyaratkan ekstensifikasi lahan tanaman energi.

Sebenarnya, sebelum Jokowi meluncurkan program bioetanol tebu, inisiatif untuk mengembangkan cellulosic ethanol sudah dimulai. PT Pertamina (Persero), misalnya, tertarik mengembangkan produksi cellulosic ethanol dari residu sawit. Sayangnya, walaupun bahan baku berlimpah ada di depan mata, produksi etanol selulosa terhambat karena tingginya kebutuhan biaya investasi. Akibatnya, hingga saat ini belum ada investor yang berani menanamkan modal di sektor ini.

Kondisi ini memprihatinkan. Pasalnya, banyak negara lain justru tengah berlomba-lomba mengembangkannya. Etanol berbahan baku selulosa memang mahal. Namun bahan bakar nabati generasi kedua ini lebih memberikan jaminan keberlanjutan di masa mendatang. Amerika Serikat dan Uni Eropa, misalnya, menganggap cellulosic ethanol memiliki emisi yang rendah. Dengan alasan tersebut, mereka memberikan insentif yang lebih tinggi dibanding pengembangan bahan bakar nabati berbasis etanol hasil tanaman pangan (food-based biofuel).

Indonesia bisa mencontoh strategi tersebut. Mahalnya biaya investasi semestinya tak dijadikan dalih untuk mengubur besarnya potensi cellulosic ethanol. Pemerintah justru perlu mendorongnya dengan menerapkan program mandatori agar menciptakan demand di pasar, yang pada akhirnya dapat menarik minat investasi. Pemerintah juga dapat memberikan insentif fiskal ataupun nonfiskal atas investasi tersebut. Toh, selama ini subsidi untuk bahan bakar minyak cukup besar, yang semestinya bisa diarahkan ke cellulosic ethanol, biofuel yang lebih ramah lingkungan.

Kebijakan yang tepat kini diperlukan untuk mengatasi berbagai hambatan dalam pengembangan cellulosic ethanol. Pengembangan industri cellulosic ethanol tak hanya akan membantu pemerintah dalam upaya mengurangi impor BBM dan menggenjot produksi bahan bakar nabati. Sektor ini juga berpotensi menciptakan lapangan kerja baru tanpa menambah dampak buruk terhadap lingkungan. Hal inilah yang semestinya menjadi ukuran "kemenangan" dalam program bioetanol Indonesia.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo

Kolom Hijau merupakan kolaborasi Tempo dengan sejumlah organisasi masyarakat sipil di bidang lingkungan. Kolom Hijau terbit setiap pekan.

Tenny Widya Kristiana

Tenny Widya Kristiana

Associate researcher the International Council on Clean Transportation (ICCT)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus