Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Penyakit Kronis Lembaga Peradilan

Hakim agung di Mahkamah Agung ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga menerima suap. Cermin bobroknya lembaga peradilan.

16 Oktober 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENANGKAPAN hakim agung Dimyati Sudrajad merupakan gejala makin kronisnya penyakit lembaga peradilan di Indonesia. Tak hanya di tingkat pengadilan tingkat pertama dan kedua, suap dan jual-beli putusan telah menjadi praktik biasa di Mahkamah Agung.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dimyati boleh jadi hanya puncak gunung es. Komisi Pemberantasan Korupsi menangkapnya dengan tuduhan menerima suap Rp 850 juta ketika menangani perkara pailit Koperasi Simpan Pinjam Intidana. Ketua Kamar Perdata Mahkamah Agung ini menjadi hakim agung pertama yang terjaring operasi penangkapan komisi antikorupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdiri sejak 2001, Intidana adalah koperasi primer di Semarang, Jawa Tengah. Anggotanya 3.800 orang dan dana yang mereka kelola Rp 950 miliar. Koperasi ini mulai bermasalah pada 2016. Sejumlah anggotanya tidak bisa mencairkan dana mereka. Sejak itu, enam perkara koperasi ini bergulir. Dimulai dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, hingga kasasi gugatan pailit di Mahkamah Agung yang ditangani hakim agung Dimyati.

Dimyati tidak sendiri memainkan perkara untuk mengabulkan gugatan pailit Intidana. Hakim karier ini berjejaring dengan seorang panitera dan empat pegawai Mahkamah Agung. Bekerja seperti sindikat, mereka berbagi tugas mengatur perkara dan menerima uang pelicin dari kuasa hukum debitor Intidana sebagai penggugat pailit.

Setelah penangkapan Dimyati, komisi antikorupsi juga menyelidiki keterlibatan sejumlah hakim agung lain. Salah satunya hakim agung yang sekaligus menjabat Ketua Kamar Pembinaan Mahkamah Agung. Ia ditengarai menerima aliran suap dari perkara tersebut.

Mafia hukum di Mahkamah Agung itu memupus harapan terselenggaranya sistem peradilan yang bersih. Lembaga peradilan tertinggi ini tak lagi menjalankan “pembinaan penerapan hukum”, melainkan justru ikut mengotorinya. Hakim agung tak menjalankan misi suci menegakkan keadilan, melainkan menjadikannya barang dagangan. Korupsi telah menjadi terstruktur dan sistematis di lembaga peradilan.

Gejala tersebut tecermin dari sistem dan mekanisme kerja di Mahkamah Agung yang memberi ruang lapang bagi makelar kasus untuk bermain. Dalam perkara Intidana, kuasa hukum bisa dengan leluasa mempengaruhi putusan hakim agung, lewat “pintu-pintu” khusus yang tak lain adalah panitera dan pegawai Mahkamah Agung.

Kerusakan sistematis bermula dari lemahnya pengawasan di Mahkamah Agung. Selama ini, segala rupa mekanisme kontrol dilakukan oleh Badan Pengawasan. Bertugas membantu sekretaris Mahkamah Agung, badan hanya menjalankan fungsi pengawasan administratif semata, seperti mengumumkan tindakan indisipliner atau urusan kawin-cerai para pegawai Mahkamah Agung.

Idealnya, agar keberadaannya tidak mubazir, Badan Pengawasan mesti membangun sistem pelaporan perbuatan yang berindikasi pelanggaran di lingkungan Mahkamah Agung. Bagi pencari keadilan yang merasa dirugikan akibat permainan hakim, panitera dan pegawai yang nakal, tersedia saluran melapor. Mekanisme ini juga dapat menutup celah beroperasi mafia khusus, pengawal perkara, atau advokat yang cuma bisa mengandalkan jurus uang untuk memenangkan kliennya.


Artikel:


Situasi buruk ini makin diperparah oleh kerusakan struktural di lembaga penegak hukum yang lain. Dalam kasus Intidana, misalnya, tersangka penyuap dalam dokumen pemeriksaan mengaku telah menghabiskan Rp 24,8 miliar untuk mengurus perkara di kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Harapan Mahkamah Agung bisa menjadi benteng terakhir juga ambyar dengan buruknya sistem kerja dan pengawasan.

Nyaris tidak ada lembaga eksternal yang bisa melakukan pengawasan secara penuh. Komisi Yudisial, yang semula diharapkan mampu mengawasi perilaku hakim, juga tak bisa bergerak banyak. Secara politik, tugas kewenangan lembaga itu kerap mendapat ganjalan dari Mahkamah Agung. Misalnya, banyak rekomendasi sanksi atas perilaku lancung hakim diabaikan Mahkamah Agung.

Komisi ini menjadi tak bertaji setelah kewenangan memilih hakim tingkat pertama dibatalkan Mahkamah Konstitusi pada 2015. Kewenangan mengelola sumber daya manusia sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 hangus dan dikembalikan ke Mahkamah Agung. Sulit dibayangkan lembaga pemegang sistem peradilan bersalin jadi pasar gelap jual-beli perkara.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus