Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PENDIDIKAN merupakan problem besar yang tak bisa diselesaikan semata lewat aplikasi digital. Langkah Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nadiem Makarim memperbaiki masalah birokrasi tentu tak salah, meski sesungguhnya itu bukan satu-satunya persoalan. Birokrasi sudah lama digambarkan seperti kura-kura: lamban, kaku, dan sulit beradaptasi dengan perkembangan zaman. Inovasi dianggap ancaman karena akan memaksa para birokrat keluar dari zona nyaman.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jika tak diselesaikan, problem birokrasi di Kementerian Pendidikan akan merusak masa depan jutaan orang, bahkan sejak mereka masih belajar mengeja. Birokrat yang kehilangan visi hanya sibuk gonta-ganti kurikulum tanpa kehendak untuk menciptakan pendidikan yang membuat murid kreatif, merdeka, dan berpikir bebas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mengatasi pelbagai persoalan, Nadiem memilih jalan pintas: merekrut pihak ketiga untuk menangani program-program andalannya. Tim bayangan Nadiem memang berhasil melahirkan berbagai aplikasi pendidikan—cara yang diklaim cepat dalam menerabas kendala birokrasi. Bahkan tim bayangan inilah yang menyusun Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang kontroversial itu.
Yang dilupakan Nadiem adalah penyelesaian problem pendidikan—termasuk penyusunan rancangan undang-undang—membutuhkan partisipasi publik dan pelbagai pemangku. Sebuah peraturan setingkat undang-undang perlu didiskusikan bukan hanya oleh mereka yang sehaluan pikiran, juga bersama mereka yang berbeda. Dalam kerja bersama itu pelbagai ide dipertukarkan, digugat, dan dikonsolidasikan. Masalah pendidikan yang begitu kompleks tak mungkin dipikirkan oleh satu tim kecil belaka.
Kebijakan Nadiem melibatkan tim bayangan mungkin mengatasi keruwetan birokrasi—setidaknya dari perspektif Menteri Pendidikan sendiri. Tak seperti di Gojek, perusahaan teknologi yang ia dirikan, Nadiem menghadapi medan lain yang mengharuskan gagasannya diuji dengan banyak orang. Ia harus mendengarkan pendapat yang berbeda betapapun pendapat itu tak sejalan dengan pikirannya, bahkan mungkin terdengar dangkal dan bodoh.
Artikel:
- Manuver Tim Bayangan Nadiem Makarim
- Mengapa RUU Sisdiknas Gagal Lolos di DPR
- Wawancara Menteri Pendidikan Nadiem Makarim
Keputusan Nadiem menggunakan tim bayangan merupakan sikap potong kompas. Lewat tim bayangan—belakangan Nadiem meralat dengan menyebut tim itu sekadar vendor—ia terkesan gregetan, pengen cepat selesai dan meninggalkan stakeholder yang semestinya ia jaga dan perhatikan aspirasinya. Bukan sekadar para birokrat yang lamban,
kalangan pendidik, para rektor, dosen, dan cerdik cendikia itulah yang ditinggalkan Nadiem.
Apa yang dilakukan Nadiem belum menyentuh esensi pendidikan, misalnya persoalan kesenjangan kualitas pendidikan antara kota-desa dan Jawa-luar Jawa. Juga tak menjawab persoalan kualitas pengajar, sekolah, dan perguruan tinggi. Data Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) menunjukkan, selama 2000-2021, jumlah penduduk Indonesia berusia 25-34 tahun yang masuk perguruan tinggi memang meningkat, tapi lebih kecil dibanding negara lain. Persentase penduduk usia 25-64 tahun yang meraih gelar sarjana termasuk yang paling rendah di antara negara anggota OECD. Pada 2021, persentasenya baru 5 persen, yang menempatkan Indonesia di peringkat ke-42 dari 44 negara OECD.
Persoalan pendidikan, dengan kata lain, menyangkut kehidupan manusia, sejak dari kanak-kanak hingga dewasa; peluang mendapat pekerjaan; dan pada akhirnya mendorong perekonomian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo