Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang pengusaha menghabiskan Rp 24,8 miliar untuk mengurus berbagai perkara KSP Intidana.
Hakim agung Sudrajad Dimyati diduga menerima suap lewat anggota staf panitera.
Ada permintaan uang dari hakim agung lain.
MENJALANI pemeriksaan hampir delapan jam, Heryanto Tanaka kerap menjawab “lupa” pada Senin, 3 Oktober lalu. Pria 71 tahun itu mengaku mengidap demensia. Pada hari itu, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah menginterogasinya ihwal lika-liku suap hakim agung Sudrajad Dimyati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penyidik sebenarnya sudah mengantongi catatan keuangan Heryanto. Catatan itu berisi jumlah duit yang dikeluarkan pengusaha ini kepada kuasa hukumnya, Theodorus Yosep Parera, dan dua advokat lain. Semua uang yang ia serahkan rupanya jadi upeti berbagai kasus Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Intidana di pengadilan, kepolisian, dan Mahkamah Agung selama 2015-2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Total uang yang dikeluarkan Heryanto mencapai Rp 24,8 miliar. Dalam beberapa kali pemeriksaan, ia mengaku tak mengetahui kepada siapa saja uang itu diberikan para pengacaranya. “Pak Yosep selalu mengatakan kepada Pak Heryanto bahwa mengurus perkara di Mahkamah Agung itu mahal,” kata pengacara Heryanto, Andreas Sinambela, pada Kamis, 13 Oktober lalu.
Pengacara pemberi suap, Yosep Parera, seusai menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 10 Oktober 2022. TEMPO/Imam Sukamto
KPK menemukan catatan itu saat menggeledah rumah Heryanto dan beberapa lokasi di Semarang dan Salatiga, Jawa Tengah, pada akhir September lalu. Penggeledahan dan pemeriksaan Heryanto merupakan rangkaian operasi tangkap tangan KPK terhadap Yosep dan anggota stafnya, Eko Suparno, di Kota Semarang pada Rabu malam, 21 September lalu.
Esoknya, satuan tugas Deputi Penindakan KPK menangkap lima pegawai Mahkamah Agung. Mereka adalah pegawai negeri sipil Kepaniteraan MA, Desy Yustria dan Muhajir Habibie; PNS MA, Redhy Novarisza dan Albasri; serta hakim yustisial/panitera pengganti Elly Tri Pangestu. KPK langsung menetapkan mereka sebagai tersangka penerima suap.
Sedangkan tersangka pemberi suap adalah Yosep Parera, Eko Suparno, Heryanto Tanaka, dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto. Eko adalah anggota staf Yosep. Heryanto dan Ivan anggota dan kreditor KSP Intidana. Dalam penangkapan itu, KPK menyita uang senilai Sin$ 205 ribu dari Desy dan Rp 50 juta dari Albasri.
Seusai pemeriksaan, penyidik turut menetapkan hakim agung Sudrajad Dimyati sebagai tersangka penerima suap. Ia ditengarai menerima suap sebesar Rp 800 juta melalui Desy. Dimyati adalah hakim yang memeriksa putusan pengadilan pertama dan kedua di tahap kasasi. Dalam sejarah, ia hakim agung pertama yang menjadi tersangka korupsi di KPK.
Pada Jumat pagi, 23 September lalu, Sudrajad Dimyati menyerahkan diri ke Gedung Merah Putih. Suap hakim agung ini bermula dari laporan perdata dan pidana Heryanto Tanaka terhadap KSP Intidana pada 2015. Heryanto seorang pengusaha pabrik kapas yang menanam Rp 45 miliar uangnya pada Mei 2015 ke koperasi yang beranggotakan 3.000-an orang itu. Tapi uangnya baru kembali Rp 11 miliar.
Pegawai Negeri Sipil pada Kepaniteraan Mahkamah Agung, Desy Yustria, seusai menjalani pemeriksaan perdana pasca penahanan, di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 12 Oktober 2022. TEMPO/Imam Sukamto
Fulus Heryanto di Intidana tersisa Rp 34 miliar. Pada 6 Juli 2015, seharusnya ada simpanan Rp 16 miliar yang jatuh tempo. Namun penarikan besar-besaran (rush) melanda Intidana. Heryanto tak bisa mencairkan uangnya. Selain dia, sembilan kreditor kakap lain, termasuk Ivan, mengalami hal serupa. Mereka turut menuntut pengembalian uang lewat beragam gugatan.
Heryanto bergabung bersama Ivan menggugat Intidana. Keduanya menunjuk Theodorus Yosep Parera sebagai pengacara. Selain melakukan gugatan perdata, mereka memidanakan bekas Ketua KSP Intidana, Handoko, dan penggantinya, Budiman Gandi Suparman.
Mereka ingin membuat Intidana pailit sehingga bisa menguasai sekitar 40 sertifikat aset koperasi yang nilainya mencapai Rp 100-an miliar. Belakangan, Handoko dan Budiman divonis bersalah. Tapi gugatan pailit Heryanto dan Ivan kandas di Pengadilan Negeri Semarang dan Pengadilan Tinggi Semarang.
Para penggugat itu lalu mengajukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung. Sudrajad Dimyati adalah salah seorang anggota majelis hakim kasasinya. “Mereka melakukan kasasi dengan harapan hakim mengabulkan gugatan,” ujar Ketua KPK Firli Bahuri. Pada Mei lalu, majelis hakim mengabulkan gugatan kasasi Heryanto cs.
Satuan Tugas Penindakan KPK mendapat informasi bahwa Yosep kembali mengurus perkara di Mahkamah Agung. Pihak Intidana mengajukan permohonan peninjauan kembali terhadap putusan kasasi itu. Yosep turut mengajukan permohonan kontra memori PK ke MA.
Agar “perjuangannya” mulus, Yosep menghubungi Desy Yustria. Dari komunikasi itu, Yosep memerintahkan Eko mengantar Sin$ 205 ribu kepada Desy. Uang tersebut berasal dari Heryanto. Eko lantas mengatur janji bertemu dengan Desy di gerbang jalan tol Tambun, Bekasi, Jawa Barat, pada Rabu siang, 21 September lalu.
Pemberian besel ini merupakan lanjutan kesepakatan Desy dengan Yosep pada Agustus lalu. Kala itu, Yosep menyampaikan bahwa Heryanto cs ingin mengajukan permohonan kontra memori PK. Meski majelis hakim yang diketuai Syamsul Ma’arif dan beranggotakan Dimyati dan Ibrahim mengabulkan kasasi mempailitkan Intidana, Heryanto merasa tak puas. Gugatan itu menyebutkan Heryanto harus mengembalikan puluhan sertifikat aset kepada KSP Intidana.
Yosep sudah lama mengenal Desy. Dua sumber yang mengetahui perkara ini menceritakan, Yosep biasa mengurus perkara di MA atas bantuan Desy. Di kalangan pengacara ataupun orang-orang di MA, Desy dan kelompoknya dikenal sebagai “operator” bagi para hakim agung.
Untuk “mengurus” perkara Intidana, Desy berkolaborasi dengan anggota staf MA, Muhajir Habibie. Pada 30 Agustus lalu, Desy berkomunikasi dengan Muhajir terkait dengan kasak-kusuk penentuan nama majelis hakim yang akan menangani perkara PK Intidana.
MA kemudian menunjuk Takdir Rahmadi, Nurul Elmiyah, dan Rahmi Mulyati sebagai anggota majelis PK gugatan pailit Intidana. Kepada Desy, Muhajir mengaku membawa pesan dari Takdir, yang juga menjabat Ketua Kamar Pembinaan MA. Ia mengklaim Takdir meminta uang sebelum putusan PK dikeluarkan. Muhajir menerima pesan itu dari Albasri, anggota staf Takdir.
Mendapati permintaan itu, Desy lantas menghubungi Yosep. Ia meminta Yosep menyiapkan commitment fee sebelum vonis PK. Yosep menyanggupi dan akan menyiapkan uang Rp 1,5 miliar dalam dolar Singapura.
Yosep segera melapor kepada Heryanto. Ia meminta kliennya itu menyiapkan uang panjar pengurusan vonis PK sebesar Rp 500 juta pada 7 September lalu. Permintaan Yosep membengkak sepekan kemudian. Ia meminta Rp 4,5 miliar. Heryanto memberikan uang itu dalam bentuk cek.
Setelah mencairkan cek, Yosep meminta Eko menukarkan Rp 2,1 miliar ke dolar Singapura. Uang itulah yang kemudian diserahkan Eko kepada Desy saat berjumpa di gerbang jalan tol Tambun.
Kepala Biro Hukum dan Hubungan Masyarakat MA Sobandi tak menjawab ihwal dugaan peran sindikat perkara di lembaganya. Ia juga tak berkomentar mengenai dugaan peran hakim agung lain, seperti Takdir Rahmadi, dalam suap perkara KSP Intidana.
Sobandi meminta semua pihak menunggu proses penyidikan KPK. “Kami mengedepankan asas praduga tidak bersalah,” ucapnya. Ia pun memastikan MA akan melakukan pembenahan seusai operasi tangkap tangan KPK tersebut.
•••
BUDIMAN Gandi Suparman buru-buru mengontak pengacaranya, Satria Winisuddha, saat menerima surat dari Theodorus Yosep Parera pada 11 April lalu. Ketua Umum Koperasi Simpan Pinjam Intidana itu terkejut karena Yosep melampirkan tangkapan foto perkara kasasi dengan nomor register 326 K/Pid/2022 di situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP).
Foto laman itu menunjukkan majelis hakim sudah mengeluarkan putusan kasasi pada 5 April lalu. Dalam perkara itu, Budiman menjadi terdakwa kasus penggunaan akta palsu KSP Intidana. Ia dinyatakan bersalah dan dihukum lima tahun penjara.
Putusan itu menganulir putusan pengadilan tingkat pertama yang membebaskan Budiman Gandi. Rasa kaget Budiman makin bertambah lantaran Yosep memiliki salinan SIPP tersebut. “Hari itu juga kami cek di SIPP, belum ada ringkasan mengenai putusan kasasi Pak Budiman. Lalu mereka dapat dari mana?” kata Satria pada Jumat, 14 Oktober lalu. Ringkasan perkara itu baru muncul di situs web SIPP esoknya.
Dalam suratnya, Yosep meminta Budiman tidak mencairkan simpanan para kreditor, termasuk milik Heryanto Tanaka dan Ivan Dwi Kusuma Sujanto. Ia beralasan masih ada proses hukum yang berjalan, seperti kasasi pembatalan perdamaian (homologasi) dan vonis Budiman yang dinyatakan bersalah lewat putusan kasasi Mahkamah Agung.
Kasasi ini didaftarkan jaksa penuntut umum Kejaksaan Negeri Semarang, Ardhika Wisnu Prabowo, pada 22 Februari lalu. Pelapor kasus akta palsu ini adalah Heryanto Tanaka, Ivan Dwi, dan anggota Intidana lain ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah.
Debitur Koperasi Simpan Pinjam Intidana, Heryanto Tanaka, menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 10 Oktober 2022. TEMPO/Imam Sukamto
Pada awal Maret 2022, MA menunjuk hakim agung Gazalba Saleh, Prim Haryadi, dan Sri Murwahyuni sebagai anggota majelis kasasi perkara akta palsu Intidana. Pada saat yang bersamaan, Yosep Parera meminta uang kepada Heryanto, Ivan, dan penggugat lain sebesar Rp 2,1 miliar yang ditukar ke dolar Singapura menjadi Sin$ 200 ribu.
Yosep dan anggota stafnya, Eko Suparno, menyerahkan Sin$ 110 kepada Desy Yustria, anggota staf MA. Sisanya entah ke mana. Pemberian uang secara berlapis ini bertujuan agar majelis hakim yang menangani kasasi akta palsu dapat mengabulkan permohonan jaksa sehingga Budiman Gandi tetap diputus bersalah.
Untuk melancarkan skenario ini, Desy menemui anggota staf kepaniteraan Bagian Kamar Tata Usaha Negara, Nurmanto Akmal, dan anggota staf panitera sekaligus penghubung ke hakim agung Gazalba, Redhy Novarisza. Selanjutnya disepakati bahwa pemberian uang akan dilakukan sebelum putusan dibacakan.
Desy meneruskan kesepakatan itu kepada Yosep. Setoran Yosep terbukti tokcer. Majelis hakim mengabulkan permohonan kasasi jaksa pada April lalu.
Beberapa hari setelah putusan kasasi, Desy bertemu dengan Nurmanto di lift lantai 3 Gedung Lama Kepaniteraan Bagian Kasasi Mahkamah Agung, Gambir, Jakarta Pusat. Ia menyerahkan uang Rp 1,2 miliar dalam bentuk dolar Singapura.
Nurmanto membagikan uang tersebut kepada Desy sebanyak Rp 100 juta. Redhy Novarisza menerima Rp 600 juta. Duit tersebut dikabarkan akan diteruskan kepada hakim agung Gazalba melalui asistennya, Prasetio Nugroho. Nurmanto mengantongi sisa besel sebesar Rp 500 juta.
Penyidik KPK pun memeriksa Gazalba pada Kamis, 13 Oktober lalu. Namun ia mangkir. Tempo berupaya mengkonfirmasi ihwal putusan dan pemberian uang itu kepada Gazalba, tapi tak kunjung direspons hingga Sabtu, 15 Oktober lalu.
Pengacara Ivan Dwi Kusuma Sujanto, Samuel Hutasoit, mengatakan kliennya tidak pernah memberikan uang kepada Yosep untuk memenangkan perkara di tingkat kasasi. “Eko Suparno mencatut nama Pak Ivan saat penukaran uang dolar Singapura,” tutur Samuel.
Yosep tak cuma menebar fulus di Mahkamah Agung. Selama menjadi penasihat hukum Heryanto dan Ivan, ia menangani banyak perkara yang berkaitan dengan Intidana. Salah satunya laporan pidana terhadap Ketua Umum KSP Intidana periode 2015, Handoko, ke kepolisian. Heryanto mengeluarkan uang Rp 1,5 miliar untuk perkara ini.
Khusus untuk menjerat Budiman Gandi, Heryanto sudah mengeluarkan uang Rp 14,8 miliar. Kasus ini bersamaan dengan pembatalan perdamaian antara Intidana dan Heryanto cs. Tak hanya mengalir ke pengadilan, duit itu juga mengalir ke kepolisian dan kejaksaan.
Kepada wartawan, Yosep mengaku bersalah. Ia mengatakan terpaksa menyuap para penegak hukum dan hakim untuk mendapatkan keadilan. “Mau tidak mau semua masyarakat itu pasti akan mengeluarkan dana untuk mencapai keadilan,” kata Yosep setelah menjalani pemeriksaan di KPK pada Senin, 10 Oktober lalu.
Di hadapan penyidik KPK, Heryanto juga buka-bukaan. Pria yang tak tamat sekolah menengah kejuruan itu mengaku pernah menyerahkan Rp 3,24 miliar kepada pengacaranya yang lain berinisial PS. Sang pengacara mengklaim duit itu digunakan untuk “mengawal” laporan pidana terhadap Budiman Gandi di Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.
Selain lewat kedua pengacaranya, Heryanto berupaya lewat jalur lain agar memenangi “perang” melawan Intidana. Ia menghubungi temannya yang berinisial TI untuk berkonsultasi mengenai perkara melawan Intidana.
TI memperkenalkan Heryanto kepada salah seorang komisaris badan usaha milik negara berinisial DTY pada Maret 2022. DTY dianggap sebagai orang yang punya pengaruh dan jejaring luas. Bantuan ini tak gratis. Heryanto menyetor Rp 11,2 miliar kepada DTY. Kepada penyidik KPK, Heryanto mengklaim uang tersebut merupakan modal usaha gabungan produk perawatan kulit.
Dua penegak hukum bercerita, untuk membantu Heryanto, DTY sempat menelepon Sekretaris MA Hasbi Hasan. Karena itu, penyidik memanggil Hasbi pada Kamis, 13 Oktober lalu. Namun Hasbi tidak datang.
Kuasa hukum Heryanto, Andreas Sinambela, mengakui kliennya kerap dimintai uang untuk mengurus perkara. Dia menganggap Heryanto adalah korban culasnya praktik hukum di Tanah Air. Suap hakim agung, menurut dia, hanya satu faset kecualasan tersebut. “Tugas penyidik KPK membongkarnya,” katanya. Belakangan, Heryanto baru sadar, meski sudah menghabiskan puluhan miliar rupiah, uang setoran Rp 34 miliar di Intidana tidak akan kembali walau ia sudah menyuap sana-sini.
HADI MULYANA (MAGANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo