Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dodi Ambardi
*) Pengajar di Fisipol Universitas Gadjah Mada, Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia
MENJELANG pemilu legislatif April 2009, PDI Perjuangan adalah headline. Partai berlambang kepala banteng ini datang ke arena pemilu dengan mengkapitalisasi citranya sebagai partai oposisi. Media massa, yang gandrung dengan drama politik, memberikan ruang luas kepada PDIP yang tampil sebagai challenger di ajang pemilu.
Memasuki arena pemilu presiden bulan Juli, Jusuf Kalla dan Golkarlah yang menjadi media darling. Kali ini Jusuf Kalla dan Golkar yang menjadi penantang. Mereka merebut perhatian publik dan kerap menjadi headline surat kabar, televisi, dan terutama forum-forum media online.
Pilihan PDIP dan Golkar (di bawah Jusuf Kalla) untuk menjadi penantang pada dua pemilu itu menyemaikan harapan publik bahwa partai oposisi akan hadir di Indonesia setelah pemilu usai. Tiga partai terbesar pemenang pemilu bisa memerankan fungsi incumbency dan oposisi, sehingga praktek perimbangan kekuasaan bisa berjalan. Jika Demokrat berada di pemerintahan, PDIP dan Golkar bisa berada di luar melakukan pengawasan.
Harapan itu kini buyar. Dua peristiwa mutakhir menandai runtuhnya harapan itu. Pertama, tampilnya Taufiq Kiemas sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat; dan kedua, kemenangan Aburizal Bakrie dalam perebutan posisi Ketua Umum Golkar.
Keberhasilan Taufiq Kiemas adalah produk dukungan koalisi yang merangkum kekuatan Fraksi PDIP, Demokrat, Golkar, dan sejumlah partai menengah. PDIP masuk persekutuan besar yang dipimpin Demokrat, sembari menjauh dari agenda menjadi oposisi. Gosip yang beredar, PDI Perjuangan akan masuk pula ke kabinet mendatang memperkuat persekutuan itu.
Kemenangan Aburizal Bakrie dalam Musyawarah Nasional Golkar mengirimkan sinyal sejenis. Pada sambutan perdana sebagai Ketua Umum Golkar yang baru, Aburizal menyatakan bahwa Golkar mempersilakan pengurusnya bergabung dengan kabinet mendatang jika diundang presiden terpilih. Pilihan Aburizal ini membalikkan kecenderungan beroposisi yang berkembang singkat di tubuh Golkar seusai pemilu presiden.
Mengapa ide oposisi tidak begitu populer di kalangan elite partai?
Efek elektoral oposisi
Oposisi memiliki basis etis dalam praktek demokrasi. Kebajikan yang bisa lahir dari rahim oposisi adalah peluang pengawasan yang secara sempurna bisa dilakukan jika konflik kepentingan diminimalisasi. Artinya, partai yang ingin beroposisi sengaja memilih berada di luar pemerintahan. Klaim pertanggungjawaban terhadap rakyat yang dilakukan pemerintah atau partai pendukung pemerintah dengan demikian bisa diawasi dan divalidasi. Dalam leksikon politik, aspek etis ini dirangkum dalam prinsip responsiveness dan akuntabilitas pemerintah. Selain itu, kehadiran oposisi bisa mencegah penumpukan kekuasaan pada satu tangan sembari memperkecil peluang munculnya otoritarianisme.
Kita bisa menambah terus daftar kebajikan ini. Namun concern utama partai dan politikus tak semata berurusan dengan kebajikan. Mereka bukan lembaga atau sosok asketis yang bersih dari kepentingan. Partai ingin menang pemilu dan politikus ingin meraih kekuasaan. Karena itu, efek elektoral dari status oposisi menjadi penting. Kecuali bercita-cita menjadi intelektual publik, politikus partai senantiasa berpikir dalam kerangka kompetisi elektoral.
Celakanya, data hasil pemilu legislatif 2009 menunjukkan pemilu tak memberikan keramahan bagi partai penyandang status oposisi. PDIP hanya meraih 14 persen dukungan elektoral. Golkar, seandainya merambah jalan oposisi, juga hanya meraih jumlah yang sama. Andaikanlah kedua partai ini sama-sama mengambil jalan oposisi, maka lumbung suara potensial untuk kedua partai ini sekitar 28 persen.
Persentase pendukung potensial partai oposisi ini tak jauh dari hasil survei nasional yang dilakukan Lembaga Survei Indonesia pada minggu kedua bulan September kemarin. Ketika publik ditanyai kesetujuan mereka atas keberadaan partai oposisi di Indonesia, 30,3 persen menyatakan sangat setuju atau setuju. Jadi, partai yang memilih status oposisi sesungguhnya akan memiliki basis elektoral yang memadai.
Kita bisa memandang potensi elektoral sekitar 30 persen itu secara optimistis. Dari tiga pemilu legislatif yang telah berlangsung sejak reformasi, suara tertinggi yang bisa diraih oleh partai politik adalah 33 persen pada Pemilu 1999 oleh PDIP. Pada dua pemilu legislatif berikutnya, suara tertinggi yang diraih partai tak melampaui 22 persen. Artinya, angka 30 persen pemilih yang setuju dengan partai oposisi itu sesungguhnya cukup tinggi dalam memberikan peluang elektoral.
Dengan adanya dua jenis insentif ini—etis dan elektoral—seharusnya muncul sejumlah partai yang tertarik mengibarkan bendera oposisi. Kenyataannya, sampai kini tak ada partai yang berminat mengerek bendera itu. PDIP dan Golkar kini tampak paralel bergerak ke arah pemerintah. Dirumuskan berbeda, faktor etis dan faktor elektoral ini tak mampu menjelaskan pilihan politik para elite partai untuk beroposisi. Karena itu, penjelasan atas pilihan politik mereka harus dicari di tempat lain.
Insentif
Sejumlah penjelasan alternatif untuk memahami perilaku elite partai di Indonesia bisa diajukan. Namun ada dua penjelasan yang lebih menarik untuk dicoba: penjelasan kultural dan penjelasan ”ekonomi”.
Pemilih Indonesia umumnya lebih suka harmoni ketimbang konflik, menggemari keselarasan ketimbang kompetisi. Ini klaim pendekatan kultural. Mereka memandang konflik sebagai hal negatif dan persaingan bukanlah sebuah kebajikan. Sebaliknya, ide oposisi bertolak dari asumsi bahwa konflik adalah hal normal, netral, dan pasti terjadi.
Penjelasan kultural ini masuk akal dan terasa mudah diterima. Problemnya, ia tak sepenuhnya cocok dengan kenyataan. Sejarah politik Indonesia mencatat konflik berdarah sejak masa awal pendiriannya. Pergantian rezim Orde Baru juga memakan ratusan ribu korban. Efek spiral demokratisasi yang bermula pada 1998 juga mencatat banyak korban dengan pecahnya berbagai konflik komunal di Kalimantan Tengah, Poso, dan Ambon.
Ada contoh yang lebih dekat dengan politik kepartaian yang menggambarkan kelemahan penjelasan kultural. Dari ketidakberesan tentang daftar pemilih tetap, penggunaan isu agama, sampai eksploitasi isu kedaerahan, semuanya dikapitalisasi oleh tim kampanye partai dan tim sukses pasangan calon presiden-wakil presiden untuk meraih dukungan. Pendeknya, interaksi dan kompetisi antarpartai dan antarkandidat peserta pemilu lebih ditandai oleh suasana konfliktual ketimbang oleh suasana harmoni.
Juga, penjelasan ini mengabaikan kenyataan bahwa budaya bisa berubah. Harmoni, dengan demikian, bisa jadi tak lebih sebagai artefak antropologis belaka. Industrialisasi, penetrasi perdagangan, dan penetrasi media massa adalah katalis perubahan budaya.
Saya melihat, penjelasan yang menghitung pentingnya rasionalitas politikus dalam mengelola kepentingan partai dan agenda personal jauh lebih baik untuk memahami perilaku elite partai.
Asumsi pokoknya: partai ingin memperluas prospek elektoral dan politikus ingin merengkuh kekuasaan. Maka masuk dan bergabung dengan koalisi pemerintahan bisa ditafsirkan sebagai upaya meraih kedua tujuan itu. Apa yang bisa didapat dari pilihan politik jenis ini?
Logika yang menghubungkan pilihan berkoalisi dengan partai pemerintah dan prospek elektoral ada dua. Pertama, jabatan di kabinet (dan di DPR/MPR) memberikan insentif bagi partai dan tokoh partai yang jadi menteri untuk menjadi tokoh publik karena peluang untuk disorot (secara positif) oleh media massa terbuka lebar. Kedua, insentif posisi jabatan di kabinet dan kepemimpinan DPR/MPR melampaui peluang publikasi dan pencitraan.
Posisi ini menjanjikan peluang ekonomi yang berkaitan dengan sumber daya ekonomi yang melekat secara langsung ataupun tidak pada jabatan itu. Istilah kementerian basah-kering atau komisi mata air dan air mata di Dewan Perwakilan Rakyat tak lain berkaitan dengan insentif ekonomi. Sumbangan privat dari pengusaha pun kerap berkaitan dengan kekuasaan politik dan jabatan. Dengan demikian, pilihan untuk menghindari status oposisi atau bergabung dengan koalisi pemerintahan bisa dilihat sebagai survival strategy atau strategi untuk bertahan hidup yang dilakukan partai politik.
Perubahan mode kompetisi partai yang kini berbasis iklan TV dan mode mobilisasi dukungan pemilih dalam pemilu yang bersandar pada politik uang semakin mendesak partai politik untuk memperbaiki kemampuan memobilisasi dana. Ketika iuran anggota tak dapat diandalkan, dan subsidi partai dari pemerintah tak mencukupi, semua partai akan menoleh ke sumber-sumber negara. Gerak semua partai untuk bergabung dalam koalisi pemerintahan dengan demikian adalah pilihan politik yang logis belaka. Sedangkan pilihan menjadi oposisi tak menjanjikan sumber daya ekonomi bagi partai.
Peluang oposisi
Dengan situasi semacam itu, bagaimana peluang terbentuknya oposisi yang bermakna dalam sistem kepartaian yang berlanjut pada parlemen? Kalau peluang oposisi tak melulu berurusan dengan isu etis, tapi lebih pada isu insentif bagi partai peserta pemilu dan para politikus, sumber insentif itu yang perlu ditangani. Sebab, efek elektoral kemampuan partai memobilisasi dana jauh lebih signifikan.
Dengan begitu, reformasi radikal soal aturan pendanaan partai dan kampanye melalui televisi perlu ditangani lebih saksama. Tanpa itu, imbauan etis tak banyak berguna, dan tak akan menyokong harapan publik atas peluang kemunculan oposisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo