Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBUAH pesawat Garuda Indonesia jenis Airbus A330-200 mendarat mulus di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Kamis malam pekan lalu. Perlahan-lahan pesawat yang baru saja tiba dari Singapura itu mendekati terminal kedatangan luar negeri di gerbang E. Setelah berhenti sempurna, delapan teknisi dengan gesit mendekati pesawat dan menyambungkan belalai gajah (garbarata) ke pintu keluar.
Burung besi itu merupakan satu dari empat Airbus yang baru didatangkan Garuda dari pabriknya di Toulouse, Prancis, tahun ini. Keempat Airbus ini akan bergabung dengan 50 unit Boeing 777-300 ER dan Boeing 737-800, yang akan memperkuat armada Garuda mulai 2009 sampai 2011. Garuda mendatangkan ketiga jenis pesawat sebagai bagian dari perbaikan kinerja dan pelayanan. Maklum saja, selama bertahun-tahun maskapai pelat merah ini merugi.
Baru dalam tiga tahun terakhir ini Garuda bisa untung, setelah melakukan program transformasi. Pada 2007, Garuda untung Rp 60 miliar. Tahun berikutnya keuntungan melonjak 11 kali lipat menjadi Rp 669 miliar. Sampai Juni 2009, kinerja Garuda lumayan kinclong. Laba bersih telah mencapai Rp 612 miliar. Satu-satunya beban yang masih menghambatnya terbang lebih tinggi lagi adalah utang. ”Sebentar lagi sudah bisa diselesaikan,” kata Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Sofyan Djalil kepada wartawan di Jakarta pekan lalu.
Garuda punya tiga utang besar. Utang senilai US$ 370 juta (hampir Rp 4 triliun) kepada export credit agencies yang sedang memasuki tahap akhir restrukturisasi. Utang floating rate notes sekitar US$ 130 juta kepada pemegang surat utang, dan mandatory convertible bond kepada Bank Mandiri. Utang ke Bank Mandiri muncul sejak 1988. Utang ini warisan Bank Exim, Bank Dagang Negara, dan Bank Bumi Daya—sekarang ketiganya plus Bapindo merger menjadi Mandiri—berupa kredit modal kerja dan promissory notes senilai US$ 80 juta dan Rp 168,4 miliar.
Lantaran terimbas krisis moneter, Garuda kesulitan membayar utang. Pada 2001, Garuda merestrukturisasi utangnya secara menyeluruh, termasuk ke kreditor lain. Jumlahnya mencapai US$ 1,496 miliar dan Rp 3,044 triliun. Porsi utang bilateral Garuda kepada Mandiri US$ 117,6 juta dan Rp 171,1 miliar. Sisanya kepada sindikasi export credit agencies dan sindikasi pimpinan Mandiri.
Dari utang bilateral ke Mandiri itu, US$ 80 juta dan Rp 168,4 miliar (sekitar US$ 103 juta) dikonversi menjadi mandatory convertible bond. Jangka waktunya lima tahun, bunga empat persen dan tingkat pengembalian atas investasi (internal rate return/IRR) 18 persen. Pembayaran utang ke Mandiri ini tidak tunai, tetapi dengan saham. Syaratnya, Garuda menjadi perusahaan publik (go public) dengan menawarkan saham perdana pada 2003.
Tapi Garuda gagal menjadi perusahaan publik. Penjualan saham perdananya diundurkan ke 2005. Namun, tetap saja aksi korporasi itu tak terealisasi. Di sinilah tarik-ulur Garuda dan Mandiri mencuat. Selama tiga tahun, Garuda mendesak Mandiri mengkonversi utangnya menjadi saham. Sebaliknya, Mandiri emoh mengeksekusinya. ”Mandiri belum mau karena ketika itu kinerja Garuda masih jelek,” bisik sumber Tempo. Kendala lainnya, kata sumber ini, peraturan Bank Indonesia melarang bank memiliki saham perusahaan nonkeuangan.
Belakangan, setelah Garuda untung besar pada 2008 dan bahkan 2009, Mandiri melunak. Keduanya melanjutkan sejumlah negosiasi. Mandiri bersedia mengubah utang Garuda menjadi saham. Bank pelat merah ini hanya akan punya saham Garuda sementara, sampai Garuda menjual saham perdananya pada Juni 2010. ”Sedang difinalisasi,” kata Direktur Utama Mandiri Agus Martowardojo kepada wartawan dalam ”Papua Investment Day” di Jakarta, pekan lalu.
Toh, penyelesaian utang dua saudara ini bukan berarti mulus-mulus saja. Rupanya masih ada kerikil mengganjal. Manajemen Garuda mengklaim pinjaman ke Bank Mandiri hanya utang pokok US$ 103 juta (sekitar Rp 1,018 triliun). Direktur Utama Garuda, Emirsyah Satar, kepada wartawan belum lama ini mengatakan, kewajiban bunga dan IRR 18 persen merupakan perjanjian antara Mandiri dan pemegang saham—sekarang Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara. ”Di buku kami, utang ke Mandiri Rp 1,018 triliun. Sisanya kewajiban pemegang saham,” ujarnya.
Manajemen Bank Mandiri pun meradang karena berdasarkan perhitungannya, total utang Garuda—asumsinya sampai Juni 2010—mencapai Rp 3,3 triliun. Perinciannya, utang pokok Rp 1,018 triliun. Sisanya Rp 2,29 triliun merupakan bunga dan IRR 18 persen. Besaran utang, bunga, dan IRR itu mengacu kepada akta perjanjian Mandiri-Garuda nomor 24 tahun 2001.
Akta perjanjian ini diperkuat oleh keputusan Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Rizal Ramli, nomor Kep.02/K.KKSK/11/2000 tanggal 3 November 2000. Belakangan Rizal, yang juga menjabat Menteri Keuangan, mengeluarkan keputusan nomor SR-163/Mk.05/2001 tertanggal 20 Juli 2001. Rizal memberikan jaminan atas konversi utang Garuda ke Mandiri dengan kupon bunga 4 persen dan IRR 18 persen tadi.
Akta perjanjian dan persetujuan Komite Kebijakan itulah yang dibawa manajemen Mandiri dalam rapat di ruang Menteri Badan Usaha Milik Negara pada 16 September 2009. Sumber Tempo mengungkapkan, rapat dihadiri Sofyan Djalil, Emirsyah, dan direktur Garuda lainnya, Wakil Direktur Mandiri I Wayan Agus Mertayasa, Direktur Korporasi Abdul Rachman, dan beberapa pejabat legal Mandiri.
Dalam rapat itu pengambilalihan sisa utang Garuda berupa bunga dan IRR 18 persen oleh Kementerian Badan Usaha Milik Negara mencuat. Dalam rapat itu, Garuda juga khawatir tidak bisa mendapatkan dana hasil penjualan saham perdana bila utang ke Mandiri mencapai Rp 3,3 triliun. ”Dana hasil go public jangan-jangan semuanya untuk membayar utang ke Mandiri saja,” kata dia. ”Padahal Garuda juga butuh tambahan modal untuk ekspansi.”
Kekukuhan Garuda atas bunga dan IRR 18 persen merupakan tanggung jawab pemegang saham dilatarbelakangi hasil keputusan rapat umum pemegang saham (RUPS) maskapai ini pada 20 Juli 2001. Ketika itu Rizal Ramli hadir mewakili pemegang saham Garuda. Salah satu keputusan rapat menyebutkan, bila penjualan saham Garuda—hasil obligasi konversi—pada harga pasar wajar tidak menghasilkan IRR 18 persen per tahun, pemegang saham (pemerintah) bersedia memberikan tambahan saham Garuda kepada Bank Mandiri, sebagai pemegang obligasi konversi.
Menurut sumber Tempo tadi, manajemen Mandiri menyayangkan klaim Garuda. Seharusnya manajemen Garuda tidak begitu saja melempar tanggung jawab ke pemegang saham, tapi mengakui dulu prinsip kesepakatan akta perjanjian dan keputusan Komite Kebijakan pada 2001. Setelah itu manajemen Garuda membantu mengingatkan Kementerian Badan Usaha Milik Negara soal kewajibannya kepada Mandiri. ”Manajemen Garuda kan juga bagian dari kesepakatan,” ujarnya.
Emirsyah belum dapat dimintai tanggapannya. Juru bicara Garuda, Pujobroto, juga belum merespons pertanyaan Tempo lewat e-mail. Adapun Direktur Keuangan Garuda, Eddy Porwanto, enggan berkomentar banyak. ”Pokoknya, secara umum penyelesaian utang dengan Mandiri masih dalam proses finalisasi. Sebaiknya saya tidak berkomentar dulu,” ujarnya di Jakarta pekan lalu. Agus juga tak mau berkomentar lebih jauh. ”Nantilah,” katanya. Adapun Abdul Rachman hanya berujar singkat. ”Kami hanya mengacu kepada akta perjanjian dan keputusan KKSK.”
Sejauh ini Garuda di atas angin lantaran Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara juga siap menanggung sisa utang Garuda berupa bunga dan IRR 18 persen tadi. Utang pokok US$ 5 juta dibayar tunai oleh Garuda dan US$ 95 juta dikonversi menjadi saham. ”Nanti saham itu dijual saat go public,” kata Sofyan. Lantaran ada ketentuan Bank Indonesia yang melarang bank memiliki saham perusahaan nonkeuangan, Kementerian telah mengirimkan surat ke Bank Indonesia. ”Mudah-mudahan bulan ini keputusannya sudah keluar.”
Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Rochadi, mengaku sudah menerima penjelasan atas rencana Bank Mandiri memiliki saham Garuda. Dia belum bersedia menyebutkan apakah Kebon Sirih—kantor pusat Bank Indonesia—akan mengizinkan Mandiri memiliki saham tersebut. ”Akan dibawa ke rapat dewan gubernur,” ujarnya di Jakarta pekan lalu. Bank Indonesia, katanya, akan lebih mudah memutuskan bila ada jaminan dari Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara.
Sumber Tempo tadi sepakat dengan penilaian Budi ini. Bank Mandiri, katanya, sebenarnya tak keberatan apa pun pola penyelesaian utang Garuda. Bank Mandiri hanya membutuhkan jaminan legal dari pemerintah bahwa kelak bisa mendapatkan haknya. ”Nanti kalau menterinya ganti, bagaimana? Tanpa jaminan legal, kesepakatan bila nihil lagi,” katanya. Dia merujuk tak jelasnya jaminan penyelesaian utang Garuda pada 2001-2005. Lantaran tak adanya jaminan pemerintah, sejak 2006-2008, utang mandatory convertible bond dianggap call 5 alias kredit macet. Posisi itu jelas merugikan keduanya.
Padjar Iswara, Fery Firmansyah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo