Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Tekor Pajak Industri Sawit

Industri sawit menyimpan kejanggalan pembayaran pajak. Ketika area kebun meluas, penerimaan negara dari sektor ini cenderung turun.

16 Oktober 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Tekor Pajak Industri Sawit

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Terdapat kejanggalan kontribusi pajak industri sawit bagi penerimaan negara.

  • Ada indikasi permainan untuk menghindari pembayaran pajak industri sawit.

  • Sri Mulyani Indrawati mengejar para penghindar pajak sawit.

SIMSALABIM, inilah keajaiban industri sawit Indonesia: ketika luas perkebunan terus meningkat, setoran pajak sawit justru terus turun. Padahal bisnis komoditas itu lagi bagus-bagusnya. Data menunjukkan, produksi tandan buah segar meningkat dan nilai ekspor minyak sawit terus naik. Dua tahun lalu, komoditas ini bahkan menjadi penyumbang devisa terbesar Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolaborasi riset dan peliputan Tempo, Mongabay, Betahita, dan Auriga Nusantara menemukan kejanggalan yang terus berlangsung itu. Sepanjang 2011-2018, rata-rata penerimaan pajak dari sektor ini sekitar Rp 17 triliun per tahun. Penerimaan tertinggi ada pada 2015 senilai Rp 21,87 triliun. Setelahnya kontribusi industri sawit terhadap penerimaan pajak amblas, hingga kurang dari Rp 15 triliun per tahun.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Negara kehilangan potensi penerimaan pajak begitu besar. Dari pos penerimaan pajak bumi dan bangunan (PBB) perkebunan sawit, pajak pertambahan nilai, dan pajak penghasilan badan saja potensi penerimaannya berkisar Rp 34-41 triliun. Kenyataannya, penerimaan dari tiga jenis pajak ini sepanjang 2016-2020 rata-rata hanya Rp 11,42 triliun per tahun.

Besarnya potensi penerimaan yang menguap itu disebabkan oleh rendahnya kepatuhan pajak pelaku usaha perkebunan sawit. Sebagian besar dari 16,6 juta hektare perkebunan sawit tak dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Pajak. Akibatnya realisasi penerimaan PBB perkebunan sawit se-Indonesia dalam lima tahun terakhir rata-rata hanya Rp 1,15 triliun. Sedangkan potensinya paling sedikit Rp 3,9 triliun. Di Riau, misalnya, luas tutupan sawit 3,3 juta hektare—setara dengan luas seluruh wilayah Provinsi Jawa Tengah. Tapi luas yang dilaporkan pemilik kebun kepada Direktorat Jenderal Pajak hanya sepertiganya.

Pengelabuan data pelaporan pajak di hulu industri ini bisa jadi telah menjalar hingga hilirnya. Data tentang volume produksi, transaksi penjualan, hingga keuntungan yang diperoleh wajib pajak pada rantai panjang bisnis sawit menjadi diragukan kebenarannya. Berbagai skandal pajak yang telah terbongkar sebelumnya menguatkan indikasi itu.

Pemerintah semestinya lebih kencang mengejar potensi pajak sawit. Jarak antara realisasi dan potensi penerimaannya begitu jauh. Pemerintah mesti menutup celah kongkalikong antara aparat dan wajib pajak, seperti yang terjadi dalam sejumlah kasus korupsi. Sejauh ini, tak terlihat kesungguhan pemerintah menjalankan usaha pengejaran itu. Apalagi persoalan pajak industri ini sebenarnya mengemuka sejak beberapa tahun silam.

Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2018 telah mengumumkan temuan serupa. Menurut Laode M. Syarif, salah satu komisioner KPK pada saat itu, 40 persen perusahaan sawit tidak membayar pajak sesuai dengan peraturan. Menurut Komisi, pada 2021 hal yang sama terulang. Hingga September lalu, negara baru menerima Rp 2,1 triliun dari potensi Rp 40 triliun pajak sawit.

Seretnya pemasukan  pajak memperburuk wajah industri sawit, yang selama ini menjadi sorotan karena dituding menjadi biang deforestasi di Indonesia. Satu studi bertajuk “The Impacts of Oil Palm on Recent Deforestation and Biodiversity Loss” yang dirilis pada 2016 menyatakan, 45 persen lahan perkebunan sawit di Asia Tenggara merupakan hutan tropis pada dua dekade sebelumnya. Lebih dari separuhnya terdapat di Indonesia dan Malaysia.

Dalam banyak kasus, pembukaan lahan sawit yang masif terjadi sebelum atau sesudah pemilihan kepala daerah. Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari, misalnya, mengeluarkan perizinan seluas 16 ribu hektare setelah dilantik pada 2015. Seperti terungkap dalam sidang di pengadilan, dia mendapat imbalan hingga Rp 6 miliar untuk tanda tangannya itu. Meledaknya izin perkebunan sawit jelas berkaitan dengan pendanaan politik.

Berbagai penelitian ilmiah meyakini deforestasi besar-besaran oleh industri sawit mempercepat pemanasan global. Rusaknya bentang alam asli menyebabkan perubahan ekosistem yang mengancam keanekaragaman hayati. Dampak yang sangat merugikan masa depan manusia ini tidak akan ditanggung oleh pengusaha sawit, melainkan seluruh negara.

Para pelaku industri selama ini menganggap isu kerusakan hutan akibat pembukaan kebun sebagai “propaganda asing untuk membunuh sawit Indonesia”. Alih-alih memastikan mereka menjalankan bisnis dengan tata kelola yang baik, pemerintah ikut menyokong klaim pembelaan diri itu. Negara bahkan tidak mampu berbuat banyak ketika perusahaan-perusahaan sawit terbukti secara hukum bertanggung jawab atas kebakaran hutan, beberapa tahun lalu.

Jika tidak melakukan usaha serius untuk mengejar potensi pajak yang besar, pemerintah mudah dituding tengah memberikan keistimewaan buat pelaku industri sawit. Bukan tidak mungkin hal itu berkaitan dengan pendanaan aktor politik di tingkat pusat. Tak ada jalan lain, untuk menghilangkan syak wasangka itu, pemerintah harus memperkecil gap antara realisasi dan potensi penerimaan pajak industri sawit.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus