Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Masyarakat Kediri resah dengan kasus penculikan serta pemerkosaan anak.
Polisi butuh tiga bulan untuk menangkap pelakunya ketika sedang menyekap dua anak.
Tergoda memiliki ilmu gaib.
PERKARA dugaan pemerkosaan tiga anak oleh ayah kandung di Kabupaten Luwu Timur terus bergulir. Sempat disebut tak memiliki bukti kuat, perkara di Sulawesi Selatan itu belakangan diakui kepolisian mengandung unsur dugaan pencabulan. “Jadi bukan perbuatan tindak pidana pemerkosaan seperti yang viral di media sosial,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Hubungan Masyarakat Kepolisian RI Brigadir Jenderal Rusdi Hartono, Rabu, 13 Oktober lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dugaan itu muncul setelah Polri menerjunkan tim ke Luwu Timur untuk mewawancarai sejumlah tenaga medis, antara lain petugas di Rumah Sakit Vale Sorowako. Dugaan pemerkosaan tiga anak itu menjadi polemik belakangan ini karena kepolisian Luwu Timur menolak laporan ibu anak-anak tersebut dengan alasan bukti tak kuat. Perkara ini menjadi perbincangan di media sosial setelah Project Multatuli menuliskan dugaan pemerkosaan itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di zaman Orde Baru, sempat mencuat kasus pemerkosaan anak yang meresahkan masyarakat di Kediri, Jawa Timur. Polisi, menurut laporan majalah Tempo edisi 27 Agustus 1983 berjudul “Korban Jaran Goyang”, baru menangkap pelakunya tiga bulan kemudian. Ia tidak lain Supoyo, 30 tahun, yang berbadan gempal dan lehernya sedikit membengkak karena sakit gondok.
Polisi Kediri dibantu masyarakat setempat menangkapnya. Ketika itu Supoyo sedang menyekap gadis cilik, Harti (bukan nama sebenarnya), 11 tahun. Kepada polisi, ia juga mengaku memerkosa Yayuk (bukan nama asli), 14 tahun, kakak kandung Harti. “Terus terang, sekarang kami agak lega,” kata seorang penduduk Desa Kwadungan di Kecamatan Gampangrejo.
Penduduk pinggiran kota, terutama di Kecamatan Wates dan Gampangrejo, dicekam ketakutan sejak Januari sampai Maret lalu akibat munculnya pemerkosa misterius yang mengincar anak gadis di bawah umur. Selama tiga bulan itu, tercatat lima gadis kecil menjadi korban.
Cara yang ditempuh Supoyo terhadap Harti dan Yayuk memang agak lain. Yayuk diperkosa setelah disirep dengan mantra. “Saya memakai aji-aji minyak kesturi hingga wanita menurut saja apa yang saya maui,” ujar Supoyo. Adiknya, Harti, juga seperti kerbau dicocok hidungnya.
Apakah Supoyo punya ilmu hitam, selain pandai memelet? Ayah tiga anak itu mengaku pernah berguru kepada seorang dukun di Desa Kalen Sidomulyo bernama Sugito. Ia, katanya, tertarik pada ilmu hitam yang disebut “jaran goyang”.
Ilmu ini bisa dikuasai dengan syarat membayar uang pangkal Rp 50 ribu dan berpuasa selama 40 hari. Selama puasa itu, si murid harus mengembara sampai menempuh jarak 600 kilometer. Syarat terakhir, agar ia bisa sekti tanpa aji, digdaya tanpa japa atau sakti tanpa azimat dan perkasa tanpa mantra, tak lain harus memerkosa 41 gadis di bawah umur.
Tapi, ucap Supoyo buru-buru, “Saya tidak pernah menuntut ilmu itu. Sungguh!” Ia, katanya, merasa tak sanggup memenuhi persyaratan yang diminta. Meski begitu, ia mengaku pernah menawar syarat memerkosa 41 gadis. “Saya minta yang diperkosa pelacur saja supaya gampang,” katanya. Tapi usul tersebut tak disetujui gurunya.
Karena itu, menurut Supoyo, dia mundur teratur. Tapi Sugito, 35 tahun, yang kini juga ditahan polisi untuk diperiksa, membantah pengakuan Supoyo pernah berguru kepadanya. “Saya bukan guru, bukan dukun, dan tidak punya ilmu apa-apa. Saya hanya seorang kuli,” tuturnya, memelas.
Supoyo, menurut cerita Sugito, hanya pernah bertemu dengannya satu kali sekitar dua bulan lalu. Ketika itu, ia ditawari jimat berupa huruf-huruf Arab yang terbungkus kain dan dililitkan di pinggang. Khasiat jimat itu konon membuat pemakainya tak mempan dibacok. Sugito mencobanya dan memang betul.
Hanya, ia tak tertarik membelinya karena tidak punya uang. Setelah kejadian itu, Sugito mengaku tak pernah lagi bertemu dengan Supoyo. “Kok, sekarang dia mengaku murid saya. Bagaimana nasib saya ini,” kata Sugito sambil menangis. Belum diketahui cerita siapa yang benar. “Kami masih mengusut perkara ini,” tutur Kolonel Zahri Amin, komandan kepolisian Kediri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo