Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengusutan kasus pemerkosaan tiga anak di Luwu Timur bermasalah.
Polisi membeberkan identitas pelapor dan korban pemerkosaan di media sosial.
RUU Penghapusan Kekerasan Seksual mendesak disahkan.
KEJADIAN di Luwu Timur, Sulawesi Selatan, menjadi gambaran betapa buruknya metode polisi dan petugas dinas sosial dalam menangani korban pemerkosaan. Lantaran metode investigasi yang serampangan, korban menderita berkali-kali. Setelah mengalami trauma lahir-batin akibat diperkosa, korban malah terpojok karena seolah-olah membuat laporan palsu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kisah pilu ini berawal pada 2019, saat seorang ibu melaporkan pemerkosaan yang dialami tiga anaknya ke kantor Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Dinas Sosial Kabupaten Luwu Timur. Alih-alih memberikan perlindungan kepada para korban, petugas kantor itu malah meminta pelaku, yang sama-sama aparatur sipil negara, datang dan berbicara dengan para korban. Nahas bagi si ibu karena dia kemudian dituduh mengarang cerita guna menyudutkan terduga pelaku, yang juga mantan suaminya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saat ia melapor ke Kepolisian Resor Luwu Timur hingga Kepolisian Daerah Sulawesi Selatan, hasilnya sama. Polisi bekerja tidak profesional karena mengorek keterangan dari korban yang masih anak-anak tanpa pendampingan orang tua dan kuasa hukum, bahkan tidak melibatkan pekerja sosial profesional—seperti amanat Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak. Visum para korban pun tak direken.
Polisi yang seharusnya bergegas memburu pelaku malah berupaya mendelegitimasi pelapor, dengan memeriksa kondisi kejiwaannya. Belakangan, ibu korban dicap mengalami gangguan jiwa dan memiliki motif dendam kepada pelaku. Setahun kemudian polisi menghentikan penyelidikan dan menutup kasus ini.
Meski banyak kalangan yang mencoba memperjuangkan hak-hak korban, tak ada respons positif dari polisi. Persoalan malah melebar manakala situs berita Project Multatuli, yang mengungkap kasus tersebut secara mendalam, mendapat serangan siber, tanpa terlacak siapa pelakunya.
Kondisi itu amat mengkhawatirkan karena sudah berulang kali terjadi di sejumlah daerah. Sepanjang Januari-Juli 2021, Komisi Nasional Perempuan mencatat telah terjadi 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan, yang sebagian ditengarai adalah kejahatan seksual. Jumlah ini melampaui kejadian pada 2020 sebanyak 2.400 kasus. Lambannya pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual di Senayan berkontribusi membuat hanya sedikit pelaku kekerasan terjerat hukum.
Dari peristiwa di Luwu Timur, makin nyata polisi belum memiliki metode yang proper dalam menangani kasus pemerkosaan. Alih-alih memakai perspektif korban dalam memulai penyelidikan, polisi malah berupaya menihilkan pengaduan pelapor. Wajar kemudian jika muncul tudingan bahwa polisi dan petugas dinas sosial cenderung berpihak kepada pelaku.
Sikap reaktif polisi atas pemberitaan media terhadap kasus ini juga janggal. Sebagai institusi publik dan penegak hukum profesional, polisi seharusnya bisa mempertanggungjawabkan penyelidikan kasus ini kepada publik. Bukan malah berkelit dengan menyebarkan hasil pemeriksaan yang mencantumkan identitas pelapor dan korban lewat media sosial.
Markas Besar Kepolisian RI tidak boleh tutup mata atas banyaknya indikasi pelanggaran prosedur dan etik dalam pengusutan perkara tersebut. Pelbagai kejanggalan itu mesti diselidiki dan polisi yang terbukti lalai dalam menjalankan tugas harus diberi sanksi tegas.
Sembari melakukan itu, pembenahan sistem dan prosedur penanganan pidana kekerasan seksual oleh polisi mendesak dilakukan. Perkara pemerkosaan memerlukan penanganan khusus yang mengedepankan pencarian keadilan sekaligus memulihkan trauma fisik dan psikis korban.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo