Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Ancaman bahaya di balik pembentukan komponen cadangan TNI.
Keberadaan paramiliter ini membahayakan demokrasi.
Lagipula, ancaman kedaulatan negara kini bukan lagi perang fisik.
LANGKAH pemerintah merekrut tiga ribuan anggota Komponen Cadangan Tentara Nasional Indonesia tak hanya memboroskan uang negara di musim pandemi. Bila diteruskan, rencana Kementerian Pertahanan melatih 25 ribu warga sipil sebagai anggota pasukan cadangan malah bisa menjadi bom waktu yang membahayakan masa depan demokrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gagasan pembentukan Komponen Cadangan memang tidak tiba-tiba muncul di era Presiden Joko Widodo. Ide itu berembus kencang dari segelintir elite militer sejak awal 2000-an. Namun gagasan tersebut terus terpental karena ditentang banyak kalangan yang mengalami trauma oleh dampak buruk militerisasi di masa Orde Baru. Anehnya, gagasan tersebut kini justru menjadi kenyataan di masa seorang presiden yang berlatar belakang sipil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bersama Dewan Perwakilan Rakyat, Jokowi “diam-diam” menyelipkan undang-undang yang mengatur Komponen Cadangan untuk disahkan pada akhir 2019. Kala itu, masyarakat sipil tengah berfokus menolak revisi undang-undang yang melemahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Ada banyak aspirasi publik yang tak tertampung dengan proses legislasi yang serba tertutup semacam itu.
Indonesia tidak dalam status darurat militer atau sedang menghadapi ancaman perang terbuka. Jelas tak ada kebutuhan mendesak untuk membangun pasukan cadangan, apalagi secara besar-besaran. Kita berbeda dari Taiwan, yang harus selalu siaga menghadapi serbuan tentara Cina. Kita pun tidak seperti Korea Selatan, yang selalu siap berkonfrontasi dengan Korea Utara.
Ancaman riil bagi Indonesia bersifat nonkonvensional, seperti serangan terorisme, perang siber, perang dengan sindikat narkotik, dan perang dagang antarnegara. Karena itu, yang kita perlukan bukan pasukan cadangan yang siap dikerahkan ke medan perang terbuka. Indonesia justru memerlukan lebih banyak petugas intelijen yang bisa mendeteksi dini ancaman terorisme, tenaga ahli yang mahir menggunakan teknologi informasi, dan diplomat ulung di bidang ekonomi.
Bukan hanya itu. Pembentukan Komponen Cadangan juga bisa kontraproduktif bagi demokrasi. Militerisasi warga sipil berpotensi menjadi bibit lahirnya kelompok paramiliter, yang merupakan duri bagi demokrasi. Apalagi bila rekrutmen Komponen Cadangan lebih memprioritaskan anggota organisasi sayap partai politik tertentu. Pasukan cadangan yang terafiliasi dengan partai rentan disalahgunakan untuk kepentingan politik sesaat, seperti pemenangan pemilihan umum. Langkah ini juga rawan memicu konflik horizontal di tengah masyarakat.
Bukan kali ini saja Jokowi bersikap akomodatif terhadap militer. Dalam dua kali masa jabatannya, Presiden telah menempatkan banyak jenderal pada jabatan strategis yang seharusnya diduduki sipil. Pemerintah pusat juga tengah bersiap menunjuk perwira militer dan polisi menjadi penjabat kepala daerah untuk memimpin 271 daerah dalam periode transisi menuju pemilihan kepala daerah serentak 2024. Kecenderungan ini dikhawatirkan melemahkan supremasi sipil atas militer, yang merupakan salah satu capaian penting Reformasi 1998.
Pilihan-pilihan politik Jokowi untuk mengakomodasi militer di luar fungsi pertahanan jelas akan berdampak panjang untuk demokrasi kita. Presiden seharusnya tidak memakai jurus politik akomodasi untuk mengendalikan tentara dan mengamankan kedudukannya. Cara itu hanya menunjukkan bahwa Jokowi tidak punya imajinasi tentang posisi ideal militer dalam bangunan sistem demokrasi.
Di negara demokrasi modern, militer harus tunduk pada kontrol pemerintahan sipil, aturan hukum, dan prinsip hak asasi manusia. Sebagai pemimpin sipil yang terpilih secara demokratis, Jokowi seharusnya berpikir ulang sebelum memulai bom waktu yang bisa merobohkan sistem demokrasi itu sendiri.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo