Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Jubah Hukum Otoritarianisme dalam Rancangan KUHP

Bagaimana rezim otoriter menggunakan jubah hukum dalam membuat RKUHP.

6 Desember 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Herdiansyah Hamzah
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman dan Anggota Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemaksaan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan contoh sikap rezim otoriter dalam konteks hukum. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat harus mendengarkan kritik publik mengenai rancangan kontroversial tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Juan J. Linz dalam karya monumentalnya, Totalitarian and Authoritarian Regimes (2000), menyebutkan salah satu ciri rezim otoriter adalah jika seorang pemimpin atau kelompok kecil menjalankan kekuasaan dalam batas yang tidak jelas secara formal. Linz menggambarkan, dalam kuasa rezim otoriter, pusat kendali seluruh kebijakan negara hanya berada di tangan seorang pemimpin atau kelompok kecil. Artinya, ruang partisipasi setiap warga negara untuk turut serta menentukan kebijakan-kebijakan strategis ditutup sama sekali. Bahkan hak konstitusional setiap warga negara untuk didengarkan (to be heard), dipertimbangkan (to be considered), dan mendapatkan penjelasan (to be explained) atas setiap pendapat yang disampaikannya ditutup rapat-rapat.

Rezim yang memusatkan kendali kebijakan hanya kepada seorang pemimpin serta sekelompok orang ini membuatnya tuli dan buta terhadap pendapat warga negaranya sendiri. Rezim yang otoriter sangat mengharamkan kritik dan bergeming terhadap apa pun keluhan warganya. Ciri rezim otoriter ini persis dengan ujar-ujar Jules Verne dalam roman Twenty Thousand Leagues Under the Sea, “aures habent et non audient” (punya telinga tapi tidak mendengar). Telinga rezim terlalu tebal untuk mendengarkan keluhan dan protes warganya. Sebaliknya, telinganya justru terlampau tipis untuk mendengarkan kritik publik yang dianggap menggoyang citra kekuasaannya.

Jubah Hukum

Rezim otoriter dapat dipahami sebagai bentuk kekuasaan yang hanya dikendalikan oleh satu orang (otokrasi) atau sekelompok orang (oligarki). Cambridge Dictionary memaknai authoritarian sebagai “tindakan untuk menuntut agar orang-orang patuh sepenuhnya dan menolak untuk memberikan kebebasan dalam bertindak sesuai dengan keinginan mereka”. Namun tindakan tersebut tidak harus dilakukan secara langsung oleh rezim.

Menurut Lynne Henderson (1991), otoritarianisme tidak hanya didasarkan pada pemaksaan dan penindasan aktif pemerintah terhadap kelompok yang tidak disukai. Pemerintah juga sering membiarkan otoritarianisme berkembang dengan cara bersikap pasif atas tindakan institusi lain untuk memaksa dan menindas warga negara demi mempertahankan kontrol. Salah satu bentuknya adalah dengan cara memanfaatkan hukum sebagai jubah atas tindakan represifnya.

Hukum kemudian menjadi alat legitimasi rezim untuk melanggengkan kekuasaannya. Kita dapat mengenali rezim otoriter dalam konteks hukum melalui lima ciri utama. Pertama, semua proses pembuatan produk hukum dikontrol oleh satu orang atau sekelompok orang. Kedua, produk hukum yang dibuat didesain sedemikian rupa agar menguntungkan kepentingan diri sendiri ataupun kelompoknya.

Ketiga, kekuasaan umumnya tidak membutuhkan persetujuan (consent) dari rakyat. Keempat, proses pembuatan produk hukum dilakukan secara diam-diam, tidak transparan, dan hanya bisa diakses oleh kelompok tertentu. Kelima, pembatasan kebebasan berpendapat, terutama dalam hal menyampaikan kritik terhadap pilihan kebijakan kekuasaan.

Ancaman Rancangan KUHP

Ciri-ciri rezim otoriter dalam konteks hukum tersebut sesuai dengan proses pembuatan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Hal tersebut dapat kita temui dalam beberapa fakta berikut ini. Pertama, pusat kendali proses dan tahapan pembentukan Rancangan KUHP hanya berputar di kalangan elite politik, yang berarti telah mengeliminasi hak konstitusional warga negara untuk terlibat dalam setiap pembentukan produk hukum. Hal ini makin memperkuat dugaan bahwa rancangan itu merupakan proyek politik kekuasaan yang ditopang oleh sekelompok orang semata, bukan untuk kepentingan semua orang.

Kedua, sebagian besar isi rancangan tersebut mencerminkan kepentingan pemerintah dan sekelompok orang untuk melanggengkan kekuasaannya. Bahkan pasal-pasal karet dan multitafsir yang mengancam kebebasan berpendapat warga negara masih terus dipertahankan hingga draf terakhir versi 30 November 2022. Ini mulai dari pasal karet mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden (Pasal 218-220), penghinaan terhadap pemerintah dan lembaga negara (Pasal 240-241), penyebarluasan berita bohong (Pasal 263-264), ancaman pidana bagi kegiatan demonstrasi (Pasal 256), serta ketentuan paham terlarang dan yang dianggap bertentangan dengan Pancasila (Pasal 188). Keseluruhan pasal tersebut mengancam kebebasan berpendapat dan berpotensi dijadikan alat untuk membungkam mereka yang kritis.

Ketiga, Rancangan KUHP dipaksa untuk segera disahkan tanpa meminta persetujuan warga negara sebagai bentuk legitimasinya. Rancangan ini merupakan draf yang tidak melalui proses bottom-up secara memadai. Ibarat asap yang mendahului api, rancangan tersebut diputuskan sebelum dibicarakan.

Keempat, rancangan ini dirumuskan di ruang tertutup yang jauh dari pengamatan publik. Kalaupun rancangan tersebut dirumuskan secara terbuka, ruang perdebatannya dipersempit. Bahkan pendapat masyarakat cenderung diabaikan.

Kelima, respons publik terhadap rancangan ini justru dihadapi dengan cara-cara yang represif. Kita tentu tidak lupa bagaimana aksi damai menolak rancangan tersebut dalam car-free day Jakarta dibubarkan oleh aparat kepolisian.

Kelima hal ini membuktikan bahwa kekuasaan makin bergerak menuju kesempurnaan otoritarianisme. Mereka membangunkan trauma kolektif publik tentang bagaimana kejamnya rezim otoriter Orde Baru. Karena itu, tidak ada pilihan selain melawannya, sekuat-kuatnya, sehormat-hormatnya.


PENGUMUMAN

Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan nomor kontak dan CV ringkas.

 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus