Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Primbon

Teks primbon di Jawa—tentang apa yang akan terjadi—sering dibentuk kata-kata yang enigmatik. Maknanya harus diterka.

13 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Tembang selalu menyimpan teka-teki.

  • Syair-syair masa lalu melahirkan banyak tafsir masa kini.

  • Meski tafsir bebas, tembang pada akhirnya menjadi primbon.

Semut ireng anak-anak sapi
Kebo bongkang nyabrang kali bengawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIAP generasi orang Jawa Tengah dan Timur kenal tembang ini. Ia dibaca khidmat para priayi atau ditawarkan para pengamen. Pada umur 14 saya juga menghafalnya, dan pada umur 80 saya masih ingat sebagian kata-katanya—meskipun saya, setua ini, tak tahu apa artinya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Memang banyak tafsir diterbitkan. Tapi adakah tafsir A benar dan tafsir B salah?

Baris-baris itu seperti lukisan surealis. Tiap kalimat, tiap bait, mirip kanvas Hieronymus Bosch di abad ke-13: gambar-gambar ganjil dan seram dalam mimpi tentang kiamat. Ada semut hitam melahirkan lembu, ada kerbau gemuk menyeberangi sungai besar, ada siput air yang tajam sungutnya.

Para literati Jawa biasanya mengatakan, itu semua pasemon, sebutan yang disamarkan, sebutan yang tak berterus terang. Kalimat “semut hitam beranakkan lembu”, misalnya, berarti “rakyat kecil yang melahirkan orang besar”: sesuatu yang ajaib dan mengagumkan.

Tapi pasemon itu bisa juga mengungkapkan kecemasan penguasa status quo, ketika “orang kecil”, si semut hitam, melahirkan generasi baru yang kokoh.

Tafsir yang bertentangan ini tak pernah tuntas diusut. Tak jelas juga mengapa “rakyat kecil” digambarkan sebagai “semut ireng”, bukan “semut merah”. Dan kenapa pula semua disamarkan? Karena takut?

Atau jangan-jangan pengarang tembang ini tak serius, hanya bermain-main dengan kata, seperti anak-anak membuat cangkriman atau teka-teki: menyamarkan gajah dengan sesuatu yang “bukan gunung, bukan pula batu” yang bila berjalan hidungnya melambai-lambai. Yen lumampah si pocung lambehan grana.

Tapi seingat saya Dandanggula ini tak pernah dianggap cangkriman, meskipun isinya selalu ditebak. Andai kita kenal penggubahnya, kita mungkin tak akan harus demikian. Tapi tak ada informasi tentang itu. Semiotika Umberto Eco akan mengatakan kita tak tahu di mana intentio autoris; kita tak tahu “niat pengarang”.

Kita hanya menafsir. Dan tiap kali sebuah teks diinterpretasi, si pembaca-penafsir mengambil alih posisi si pengarang. Teks itu akhirnya hasil intentio lectoris, “niat pembaca”. Menafsirkan adalah kelancangan yang diizinkan—bahkan bila tafsirnya terasa jauh dari teks.

Tafsir biasanya ditulis tanpa kesejarahan. Tembang “semut ireng” mungkin ciptaan orang abad ke-19, tapi maknanya diproduksi kapan saja.

Tak aneh bila ia diperlakukan sebagai primbon. Terutama karena teks primbon di Jawa—tentang apa yang akan terjadi—sering dibentuk kata-kata yang enigmatik. Maknanya harus diterka (kita ingat ramalan astrologi di koran-koran) karena membicarakan apa yang “belum” dan sekaligus yang “bakal”. Dalam Dandanggula yang kita bicarakan, misalnya, Surabaya disebut geger kepati. Mungkin itu catatan peristiwa di masa silam, katakanlah ketika “Kartasura” masih ibu kota Mataram. Tapi teks jadi primbon ketika dianggap berbicara tentang geger besar Surabaya yang akan terjadi. Dalam primbon, sejarah berulang.

Pada 1860 Ranggawarsita menulis Serat Kalatidha. Di bait ke-7 digambarkan sebuah “zaman edan” dan orang menafsirkannya sebagai sebuah nubuat. Tapi benarkah? Di bait ketiga Ranggawarsita tampak bukan seperti Nabi Jeremiah. Ia hanya menyampaikan rasa murungnya sebagai korban intrik birokrasi. Ia sedih dan malu, kawileting tyas duhkitaketaman reh wirangi, dan ingin menunjukkan bagaimana bersikap tabah dalam keadaan itu.

Tapi kemudian teks Kalatidha berubah. Ia jadi produk intentio lectoris: pembaca, bukan Ranggawarsita, yang menentukan narasinya. Dan tafsir yang dominan (mungkin di sekitar masa Tanam-Paksa) meletakkan karyanya sebagai gambaran tentang kerajaan Surakarta yang merosot dan masyarakat yang terombang-ambing.

Kalatidha ditulis di tahun yang sama dengan terbitnya novel Max Havelaar. Multatuli juga, dengan caranya sendiri, melukiskan sebuah “kalabendu”, di mana—untuk memakai frasa Ranggawarsita—rurah pangrehing ukara, aturan sosial rusak. Orang resah mencari arah. Primbon bermunculan.

Primbon: tanda kecemasan. Perubahan kehidupan yang traumatis di Jawa akhir abad ke-19 misalnya mendorong Jangka Jayabaya beredar. “Ramalan” ini (yang menilik bahasanya, bukan dari masa Raja Jayabaya) dimulai dengan “peringatan” tentang masa yang akan datang, ketika “kereta tak ditarik kuda” dan Pulau Jawa “dikalungi besi”. Dengan kata lain, ketika dunia modern datang mengguncang adat dan tradisi.

Pangeran yang menggubah Jangka di abad ke-17 itu agaknya priayi yang cemas melihat zamannya berakhir. Ia berbicara tentang banyak hal yang terbalik-balik—kacau, apokaliptik, seram: Merapi akan meletus dan lahar akan mengalir ke barat dan selatan, berbau anyir. 

Hardi Merapi yen wus njeblug mili lahar 
Ngidul ngilen purugira

Ngganda banger ingkang warih 

Tak jelas pernahkah bencana itu terjadi. Tapi primbon tetap dibaca, dan khaos dan cemas tetap hadir dalam hidup—dan teks dan tafsir tak berhenti.

Koreksi 19 November 2021 pada kata "literati" di alinea empat. Sebelumnya "literator".

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus