Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Untuk mencapai emisi karbon netral 2060, bauran energi bersih harus mencapai 23 persen pada 2025 dan 31 persen pada 2050.
PLN menanggung beban membangun lebih dari separuh penambahan kapasitas pembangkit listrik.
Kehadiran Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan yang terus tertunda sangat krusial.
UPAYA mencapai emisi karbon netral 2060 seharusnya menjadi tanggung jawab bersama, dari pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, perusahaan swasta, sampai publik. Terlalu berat bagi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) jika menanggung beban itu sendirian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk memangkas emisi karbon, Indonesia mematok penggunaan energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 23 persen per 2025. Jika tercapai, komposisi energi terbarukan di bauran energi nasional bisa bersaing dengan batu bara yang 30 persen, minyak bumi 25 persen, dan gas bumi 22 persen. Seperti tercantum dalam Rencana Umum Energi Nasional, target kontribusi energi terbarukan naik jadi 26 persen pada 2030 dan 31 persen pada 2050.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara teoretis, Indonesia sebagai negara kepulauan dan tropis serta bagian dari cincin api Pasifik mempunyai sumber daya energi terbarukan yang melimpah. Potensi energi surya, tenaga air, dan panas bumi mencapai 400 ribu megawatt. Dengan perhitungan tiap-tiap rumah berdaya listrik 450 volt ampere, pemanfaatan penuh energi terbarukan bisa mengalirkan setrum ke lebih dari 800 juta rumah.
Secara praktik, tentu saja, tidak semudah itu. Saat ini, penggunaan energi terbarukan cuma 11,5 persen dari bauran energi nasional. Untuk menggenjotnya sesuai dengan target, pemerintah butuh penambahan kapasitas dari 10 ribu menjadi 40 ribu megawatt pada 2025. Biayanya US$ 36,9 miliar atau setara dengan Rp 528 triliun. Angka yang kelewat tinggi, terutama di masa pandemi Covid-19 ini.
Beban PLN amat berat. Kebagian hampir separuh dari rencana penambahan kapasitas pembangkit EBT, mereka perlu mencari utang ke sana-sini. Di tengah wabah, mendapatkan pinjaman bukan hal mudah. Apalagi kondisi keuangan PLN masih kembang-kempis.
Pemerintah bisa mendorong bank-bank milik negara untuk membiayai proyek energi bersih ini. Toh, selama ini perbankan telah menikmati bunga tinggi dari pembiayaan energi fosil, yang banyak merusak lingkungan.
Sebagai inovasi relatif baru dan penggunaan yang masih terbatas, harus diakui, energi bersih memang mahal. Harga listrik dari pembangkit listrik tenaga surya sekitar Rp 2.550 per kilowatt-jam (kWh), hampir empat kali lebih mahal dibanding produksi pembangkit listrik tenaga uap, sekitar Rp 851 per kWh. Hitung-hitungannya, pada 2025, biaya pokok penyediaan listrik akan naik dari Rp 1.445 menjadi Rp 1.637 per kWh. Pemerintah perlu mengantisipasi dampak negatif dari lonjakan biaya tersebut lewat sosialisasi dini.
Upaya menekan harga energi bersih bisa dilakukan dengan membuka pintu lebar-lebar bagi sektor swasta. Pemerintah memang telah menerbitkan berbagai insentif untuk mendukung keekonomian proyek energi terbarukan. Namun ada saja aturan yang berbenturan. Misalnya tingginya pajak tubuh bumi yang menciutkan investor pembangkit listrik tenaga panas bumi. Pemodal juga memilih menunda proyek sampai ada kejelasan pengaturan harga dan regulasi.
Berbagai kendala ini bisa diminimalkan lewat kehadiran Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan. Dibahas sejak dua tahun lalu, rancangan peraturan ini bolak-balik masuk program legislasi nasional prioritas. Terakhir dijanjikan rampung Oktober lalu dan diulur lagi menjadi akhir tahun.
Para anggota Dewan, yang sebagian berlatar belakang pengusaha tambang, seharusnya malu karena berulang kali gagal memenuhi tenggat pengesahan Undang-Undang EBT yang menyangkut hajat hidup orang banyak tersebut. Mereka abai atau sengaja tutup mata atas ancaman bencana iklim di masa mendatang.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo