Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
|
Cara persaingan demokratis mengubah perimbangan sipil-militer bergantung pada strategi perebutan suara para politisi dan pelembagaan aturan main dalam pelaksanaannya. Pelembagaan sistem politik dan kepartaian yang lemah, seperti di Brasil, telah mendorong politisi untuk terus merayu pemilih dengan uang dalam kampanye tentang isu-isu yang populer. Praktek ini tidak disukai oleh militer. Sistem ini juga memunculkan politisi yang selalu berusaha memperluas ruang gerak politik mereka. Dalam upaya itu mereka bertabrakan dengan kekuatan militer yang independen dan birokratis.
Walaupun ada kecenderungan kuat untuk menentang hegemoni politik militer, kelemahan institusional sistem politik menyulitkan pengembangan kondisi dan kebijakan yang mampu menciptakan stabilitas politik dan keunggulan sipil dalam jangka panjang. Dalam sistem kepartaian yang lemah, sulit ditegakkan pemerintahan sipil yang cukup kuat untuk menghalau intervensi politik kaum militer. Sistem semacam itu sulit melembagakan mekanisme untuk mematahkan peran politik dan otonomi militer.
Pada pasca-Perang Dingin, muncul konsensus besar tentang perlunya demokrasi. Selain itu, setidaknya di Brasil, militer tidak merasakan adanya ancaman terhadap kepentingan pokoknya di bidang politik dan ekonomi. Perkembangan ini membuat angkatan bersenjata Brasil menahan diri dalam menghadapi upaya sipil untuk memperkecil hak-hak istimewa mereka.
Dalam perhitungan rugi-laba, kalangan elite militer dianggap lebih baik menerima nasib politik yang jelek ketimbang melawan dengan risiko pecahnya konflik besar sipil-militer, yang tak mungkin mereka menangi. Ini bukan berarti militer tak akan mampu lagi memaksakan kehendaknya dalam menuntut anggaran ekstra, atau konsesi lain sebagai imbalan atas dukungan mereka terhadap kebijakan pemerintah sipil.
Eksitnya militer dari gelanggang politik dan kekuasaan di Brasil direncanakan secara teliti. Pelaksanaannya pun dikontrol terus oleh militer. Ada semacam masa transisi antara periode rezim militer dan penyerahan kekuasaan kepada pemerintah sipil. Dari awal masa transisi (1974) hingga serah-terima kekuasaan (1985), tentara sama sekali tak mengalami hambatan berarti dalam mempertahankan hak-hak istimewanya.
Berbeda dengan tentara di negeri yang perwiranya mudah disogok dengan jabatan penting, angkatan bersenjata Brasil kompak dan sangat kohesif. Mereka merasa diberi cukup jaminan bahwa keinginannya akan dituruti dan kepentingannya akan terlindungi di hari depan. Lembaga-lembaga intelijen dan hankam seperti CSN (Dewan Keamanan Nasional) dan SNI (Dinas Penerangan Nasional, semacam Bakin), yang semuanya dipimpin oleh jenderal, telah terakomodasi di birokrasi dan kalangan masyarakat sedemikian luas, sehingga sulit membayangkan munculnya ancaman bagi kedudukan istimewa kaum militer. Lagi pula, transisi ke arah pemerintah sipil tidak disebabkan oleh terpuruknya tentara karena kalah perang, seperti di Argentina.
Lalu, apakah disiplin dan kekompakan militer tersebut akan bertahan menghadapi ketegangan baru yang diciptakan oleh demokrasi? Apakah front persatuan militer dapat terus digalang dalam keadaan ketika sipil berperan sebagai pembagi ”rezeki” anggaran belanja, kedudukan, dan fasilitas? Lembaga-lembaga seperti CSN dan SNI lambat-laun mungkin akan dianggap ancaman bagi para politisi dalam persaingan merebut suara dalam pemilu. Tapi, kalaupun lembaga-lembaga tadi bertahan secara formal, apakah keampuhannya akan sama seperti ketika militer berkuasa?
Memang selalu mungkin terjalin perjanjian rahasia antara politisi dan para jenderal mengenai berbagai hak militer. Akan tetapi, dalam keadaan damai, otonomi di bidang pertahanan bercampur-aduk dengan otonomi pihak lain di bidang yang penanganannya lebih mendesak daripada soal keamanan.
Untuk sementara hak istimewa militer memang dipertahankan. Namun, dinamika demokrasi telah menciptakan dan memperkuat kepentingan-kepentingan baru yang akan mampu merongrong dan akhirnya merombak institusi lama. Inilah yang kemudian terjadi.
Melepaskan Polisi
Brasil adalah negara federal. Pemerintahan negara-bagiannya dipimpin oleh para gubernur yang punya kekuasaan amat besar. Para gubernur inilah yang terus mendesak agar militer melepaskan penguasaan atas polisi daerah, sehingga mereka dapat lebih leluasa memanfaatkan aparat keamanan di daerah masing-masing.
Desakan ini berhasil, dan polisi dilepaskan dari kekuasaan militer. Presiden Collor juga sukses membubarkan SNI dan menggantinya dengan Sekretariat Masalah Strategis (SAE). Kekuasaan militer di bidang intelijen pun mulai berakhir.
Makin besar ancaman langsung kaum militer terhadap kemampuan anggota legislatif untuk memajukan kepentingan pemilunya, kian besar pula upaya mereka untuk memperkecil pengaruh militer. Namun, upaya para pembuat undang-undang amat terhambat oleh kesulitan mencapai konsensus untuk melangkah bersama—bahkan dalam situasi yang ideal pun. Langkanya organisasi kepartaian yang kokoh sangat merintangi inisiatif reformasi. Sulit sekali membujuk politisi untuk berpikir mengenai kepentingan jangka lebih panjang, bukan kepentingan sesaat.
Dari pihak eksekutif pun ceritanya sama saja. Kekuasaan para presiden di Amerika Latin secara tradisional sangat besar. Sudah selaiknya mereka menentang kaum militer yang bernafsu campur tangan dalam kegiatan pemerintahan. Namun, para eksekutif selalu berhati-hati dalam mengekang kedudukan istimewa militer. Kalau melangkah terlalu jauh, mereka khawatir tidak hanya atas keselamatan kelangsungan pemerintahannya, tapi juga keselamatan perjalanan ke arah demokratisasi. Apalagi dalam konteks pemerintahan yang lemah dan kekurangan dukungan.
Pada dasarnya ada tiga keadaan yang menguntungkan bagi militer untuk mempertahankan hak istimewa mereka: (1) Kedudukan istimewa militer tidak dianggap mengancam kepentingan politisi sipil; (2) Sikap dan langkah kolektif yang dibutuhkan agar dapat menelurkan kebijakan demiliterisasi tidak dapat diambil karena sistem politik yang sangat lemah; (3) Pimpinan eksekutif ragu melangkah terlalu jauh karena cemas akan reaksi keras dari pihak militer yang dapat memperpendek umur pemerintahannya, atau bahkan memundurkan upaya demokratisasi.
Hak Mogok Buruh
Kaum buruh selalu diasosiasikan dengan semangat kiri. Tentara, di kebanyakan negara yang merdeka setelah Perang Dunia II, menganggap kaum kiri sebagai musuh. Maka, rezim militer di mana-mana punya tradisi mengekang gerakan buruh. Di Brasil, mereka dikekang ketat pada masa diktator militer. Buruh dilarang mogok. Hanya satu organisasi yang diakui, yaitu organisasi buruh pemerintah.
Toh, buruh berhasil mencatat beberapa kemenangan di bidang hukum setelah kekuasaan militer berakhir. Tekanan yang bersumber pada prospek pemilu begitu kuat, sehingga partai-partai konservatif pun terpaksa membela kepentingan buruh demi menangguk suara mereka. Begitu kuat tekanan itu sehingga para anggota kongres dari Arena, partai pemerintah, tidak mau mendukung militer untuk menindak aksi-aksi pemogokan.
Persaingan yang meningkat dalam pemilu membuat politisi lebih berani menentang kehendak militer. Akibatnya, kekangan terhadap buruh pun melunak. Perkembangan ini menciptakan semacam keseimbangan yang harus dipertahankan oleh pimpinan gerakan buruh. Di satu pihak, kepentingannya dibantu oleh persaingan partai untuk merebut sebanyak mungkin dukungan buruh dalam pemilu. Di lain pihak, intervensi militer pasti akan dimintakan oleh para politisi jika buruh kurang pandai mengekang nafsu meningkatkan kesejahteraan mereka cepat-cepat.
Kalau protes buruh dan aktivitas LSM terasa lepas kendali, politisi sipil akan cenderung minta bantuan militer untuk mengendalikan keadaan. Pengalaman mengajarkan, penindakan militer terhadap demonstrasi dan kerusuhan cenderung eksesif. Prospek demokrasi memang lebih cerah bila semua pihak pandai mengekang diri dan patuh pada aturan main yang telah disetujui bersama.
Alokasi Anggaran
Orang mengira, tentara Brasil bersedia melepaskan kekuasaan mereka, asal alokasi anggaran belanjanya yang besar dijamin. Meleset. Sekali lagi persaingan merebut suara dalam pemilu menghambat pembengkakan anggaran belanja militer. Persaingan ini mendesak pemerintah untuk memberi prioritas kepada pembangunan proyek-proyek yang menghasilkan penambahan suara pada pemilu ketimbang proyek hankam.
Para presiden Brasil pun merasa perlu mengukur alokasi dana bagi tentara, dengan sejumlah besar pertimbangan politik dan ekonomi lainnya. Mereka sadar, memperbesar anggaran militer sungguh tak akan menambah popularitas seorang presiden.
Ada tiga penyebab anggaran belanja militer di Brasil tak bertambah sejak mereka melepaskan kekuasaan: (1) Persaingan politik, ciri utama suatu pemilu, membuat proyek pembangunan di daerah massa pemilih lebih populer dibanding proyek pertahanan; (2) Penghematan selalu menjadi ciri program pembangunan ekonomi di negara berkembang; (3) Pada pasca-Perang Dingin, ancaman terhadap keamanan dan konflik bersenjata berkurang.
Mungkinkah pembatasan ketat anggaran belanja angkatan perang menimbulkan amarah dan nafsu militer untuk merebut kembali kekuasaan yang telah diserahkan kepada sipil? ”Risiko protes massal di dalam negeri dan kutukan dunia terhadap intervensi militer,” kata Hunter, ”masih terlalu besar dan akan tetap merupakan penghalang penting bagi arus balik semacam itu.”
Wawasan Politisi
Politisi sipil akan menentang kehendak militer hanya kalau kepentingannya untuk mengembangkan basis pendukungnya terancam. Bila ancaman tidak terasa secara langsung, mereka membiarkan militer mempertahankan kedudukan istimewanya. Wawasan jangka pendek para politisi, dan kelemahan sistem kepartaian, menghambat pembentukan front persatuan guna memperkecil peran militer, walaupun kondisi obyektif untuk menyatukan langkah itu ada.
Itu sebabnya masih banyak bidang vital yang tetap dibiarkan berada di bawah naungan eksklusif militer. Sektor-sektor yang tak dijamah oleh politisi sipil antara lain adalah pendidikan, latihan, doktrin, sistem pengadilan, organisasi pertahanan, dan jenis persenjataan. Semua bidang tersebut tetap dikuasai oleh para serdadu. Kalau sektor-sektor ini berdampak pada anggaran belanja negara, atau menimbulkan reaksi di kalangan internasional, barulah politisi mulai turun tangan.
Melalaikan campur tangan dalam hal-hal seperti jumlah dan lokasi pasukan serta jenis senjata yang digunakan pada hakikatnya melewatkan kesempatan mempengaruhi definisi peran dan orientasi angkatan bersenjata. Ke mana diarahkan fokus perhatian tentara? Pada konflik dalam negeri atau pada ancaman luar negeri? Bagaimana mereka melihat fungsi pokok mereka sendiri: sebagai penjaga keamanan atau aktor politik yang turut dalam drama penyusunan dan penggunaan kekuasaan negara?
Begitu pula, dengan mempercayakan masalah pendidikan, sosialisasi, dan doktrin militer pada para perwira tinggi yang tentunya ahli dalam tradisi dan konsepsi militer Brasil, kaum sipil melepaskan tanggung jawab untuk mengubah sikap militer sebagai suatu institusi. Dampak kelalaian ini pada masa depan demokrasi sangat besar.
Kesediaan militer melepaskan perannya di bidang politik pada dasarnya dilandasi perhitungan untung-rugi saja, bukan karena keyakinan bahwa supremasi sipil adalah sesuatu yang wajar. Kegagalan militer Brasil mencernakan subordinasi politiknya secara ikhlas terwujud dalam berbagai bentuk. Bagian-bagian penting dari angkatan darat masih tetap yakin militer punya legitimasi historis untuk menetapkan sasaran-sasaran nasional yang besar, menyatakan pendapat, dan mengawasi perkembangan politik dan sosial.
Sikap-sikap seperti ini menunjukkan bahwa pihak militer masih tetap bernafsu untuk berfungsi sebagai pengawas pemerintah sekaligus pembela bangsa. Mereka kecewa dan menyatakan tidak sabar melihat betapa politisi sipil lebih mementingkan golongan ketimbang ”kepentingan nasional”.
Mereka mengecam politisi karena mengutamakan kepentingan pribadi, berpandangan jangka pendek. Mereka juga gemas menyaksikan betapa kacau dan tak efisiennya pengambilan keputusan pemerintah dalam alam demokrasi baru. Kritik semacam ini baik, tapi juga menunjukkan suatu ideologi ”etatis”, bukan menerima secara ikhlas prinsip pluralisme serta dinamika demokrasi.
Meskipun demikian, sungguh mengecewakan bahwa pendapat umum justru memperkokoh kecenderungan non-demokratis di kalangan militer. Ketika proyek penjajakan pendapat umum Latinobarometro menanyakan apa yang paling penting dalam anggapan masyarakat—menjaga ketertiban, memerangi inflasi, memperluas partisipasi masyarakat, atau melindungi kebebasan mengutarakan pendapat—hampir sepertiga responden menjawab ”menjaga ketertiban”.
Begitu pula, ketika diminta untuk menyusun skala prioritas—memerangi kejahatan, stabilisasi perekonomian, menciptakan masyarakat yang lebih berperikemanusiaan tempat ide lebih penting ketimbang uang—hampir 50 persen responden menyatakan ”memerangi kejahatan” sebagai prioritas utamanya.
Menjaga ketertiban dan memerangi kejahatan merupakan lahan utama militer.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo