Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Kekejamanan Westerling, Lalu Amnesti

Metode pembersihan Kapten Westerling dinilai efektif, rapi, dan banyak dipuji. Mengapa ia tak diadili?

15 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Panglima Daerah Militer Bagian Timur dan Residen Sulawesi Selatan bertolak ke Batavia untuk membahas keadaan gawat di Sulawesi Selatan. Di sana, begitu laporan yang sampai ke tangan Letnan Gubernur Jenderal Van Mook di Batavia, banyak terjadi perampokan, pembunuhan, dan teror terhadap penduduk. Pada 16 November 1946 itu mereka mengadakan rapat di Istana. Turut hadir para anggota Commissie-Generaal, Pejabat Direktur ("Menteri") Pemerintahan Dalam Negeri, dan Panglima Angkatan Perang. Keputusan: Sulawesi Selatan harus dinyatakan dalam keadaan perang.

Pada 11 Desember 1946, Van Mook mengeluarkan keputusan bersejarah atas pertimbangan bahwa gangguan terhadap ketenangan dan ketertiban umum telah berkembang menjadi kerusuhan dalam negeri yang tidak dapat diatasi dengan cara pengamanan konvensional. Diberangkatkanlah Detasemen Pasukan Khusus di bawah pimpinan komandannya, Letnan Satu Raymond Pierre Paul Westerling.

Sebelum berangkat ke Makassar, Westerling sudah mengirim kelompok-kelompok kecil anak buahnya ke Sul-Sel. Mereka menyebar di kalangan penduduk, berpakaian seperti masyarakat setempat, dan giat mengumpulkan informasi. Begitu tiba di Makassar, Westerling diberi tahu bahwa pangkatnya telah dinaikkan menjadi kapten.

Ia juga disambut oleh Panglima Daerah Bagian Timur dengan instruksi yang sudah diketahuinya jauh sebelum itu: bersihkan Makassar dan sekitarnya dari gerombolan perampok, teroris, serta pengganggu keamanan. Dengan 120 anggota Detasemen Pasukan Khusus, ia menetap di kamp Matoangin.

Dari basis inilah dalam waktu tujuh hari ia melibas Kampung Batua (mengeksekusi 44 orang), Tanjungbunga (61 orang ditembak mati), Kalukuang (58 orang), dan Jongaya (33 orang). Seratus sembilan puluh orang ia habisi hanya dalam sepekan. Sejak itu bintang Westerling menanjak. Fase kedua: giliran Polombangkeng (330 orang), Goa (257 penduduk). Kali ini pasukan Westerling bekerja sama dengan satuan-satuan KNIL.

Teknik Westerling

Dari laporan yang disebut "rapport-Enthoven", diketahui cara Westerling melancarkan operasinya. Pasukan berangkat malam hari ke kampung yang akan disapu. Detasemen Khusus merupakan inti pasukan, dibantu anggota KNIL setempat.

Kampung dikepung rapat sehingga tak seorang pun bisa keluar atau menghubungi kampung lain. Lalu, semua penduduk diperintahkan keluar dari rumah dan berkumpul di alun-alun kampung tersebut. Laki-laki dipisahkan dari perempuan dan anak-anak. Setelah dipilah, mereka diperintahkan berjongkok.

Nama-nama yang sudah ada dalam daftar komandan pasukan dipanggil ke depan, diperintahkan duduk, dan dihampiri oleh seorang serdadu. Kadang diadakan semacam interogasi. Pembersihan pun dilakukan: masing-masing ditembak mati di depan istri, anak, atau orang tua mereka.

Setelah ritual pembantaian selesai, komandan berpidato, menjelaskan mengapa tindakan itu dilakukan, yaitu demi keselamatan dan kesejahteraan kampung itu. Lalu, para hadirin disuruh salat, untuk kemudian berjanji tak akan lagi merampok, membunuh, dan mengacau.

Korban yang tersungkur oleh peluru Westerling tak lebih dari 783 orang. Sebuah metode telah ditemukan. Sukses operasi Westerling mendorong pimpinan tentara setempat mengizinkan satuan-satuan lain untuk juga menerapkan "teknik Westerling". Jumlah korban terbesar dari operasi imitasi ini mungkin di kampung Galung-galung, Mandar, 1 Februari 1947.

Ketika pembersihan sedang berlangsung dan sudah banyak orang ditembak, muncul kabar bahwa di kampung tetangga ada tiga anggota Detasemen yang tewas. Segera diumumkan agar warga yang berasal dari kampung tadi memisahkan diri dari penduduk lain. Mereka jongkok berkerumun di tempat terpisah.

Komandan operasi kemudian memerintahkan untuk menghabisi mereka. Tiga ratus lima puluh orang terbunuh oleh berondongan langsung. Aksi serupa terjadi di Kulo. Kadangkala eksekusi juga dilakukan terhadap tahanan yang sedang menanti panggilan dari pengadilan. Pada 14 Januari 1947, 25 tahanan ditembak mati di pasar Parepare. Di antara 16 orang yang dieksekusi di Baru, terdapat dua orang yang sudah diadili dan sedang menjalani hukuman.

Jumlah korban versi Belanda adalah 2.000-3.000 jiwa. Perlu diketahui bahwa hanya laki-laki yang ditembak mati. Perempuan dan anak-anak biasanya tidak diusik. Ada catatan tentang satu pengecualian. Pada operasi pembersihan di Abokangeng, Rappang, sekitar 16 Januari 1947, istri seorang pejuang dan ayahnya dipaksa bertelanjang bulat selama setengah jam di hujan lebat, sambil ditonton oleh pasukan. Komandan berharap, cara ini akan membuat mereka bersedia "bernyanyi".

Bebasnya Sang Monster

Pembantaian 3.000 penduduk Sulawesi Selatan tidak dilakukan Westerling sendiri. Ada tiga opsir lain yang turut dalam eksekusi masal itu, yang bahkan dianggap tidak "serapi" Westerling dalam kerjanya. Mereka dibiarkan bebas dan tak pernah diadili atas kejahatan perang di Sul-Sel itu. Ini bukan terjadi begitu saja, bukan pula karena tak dipersoalkan oleh pemerintah Belanda atau parlemennya. Di kalangan penguasa Belanda, pada 1947 sudah muncul masalah "keadaan darurat" versus "ekses kekerasan".

Di lingkungan pemerintah kolonial selalu timbul pertanyaan, kecurigaan, dan rasa penasaran. Lalu, diinstruksikan pemeriksaan, bahkan serangkaian penyelidikan. Dokumen-dokumen instruksi pun tersimpan rapi, begitu pula korespondensi di antara pejabat sipil, dan antara pejabat sipil dan penguasa militer. Mereka malah bukan cuma surat-suratan, tapi bertindak.

Pada 14 Februari 1947, Panglima Daerah Militer Bagian Timur Besar dan Borneo mencabut perintahnya kepada Kapten Z. Ia mendengar banyak cerita tentang sepak terjang perwira tersebut dalam operasi-operasi pembersihannya, dan khawatir bahwa ia kelak harus mempertanggungjawabkan aksi kekerasan sang Kapten. Tujuh hari setelah itu, Panglima Angkatan Perang Belanda memerintahkan penghentian semua aksi militer di luar prosedur normal. Detasemen Pasukan Khusus pun ditarik pulang ke Batavia.

Jaksa agung memerintahkan Oditur Militer di Makassar untuk menyelidiki tindakan-tindakan main hakim sendiri oleh pasukan dalam operasi pembersihan. Letnan Gubernur Jenderal Van Mook memerintahkan pembentukan komisi penyelidik peristiwa Sul-Sel. Pihak tentara umumnya memuji hasil-hasil operasi Kapten Westerling, dan Panglima Angkatan Perang Belanda menganjurkan kemungkinan penuntutan terhadap Mayor X, Kapten Z, dan Letnan Muda Y. Jaksa Agung juga menganjurkan peradilan.

Amnesti Setelah Cuti

Agustus 1948 pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk mengajukan kasus perwira X, Y, dan Z ke Mahkamah Tinggi Militer Hindia Belanda. Sebagai Hakim Anggota Luar Biasa untuk penyelidikan pendahuluan oleh pengadilan adalah Letkol Inf. KNIL G.L. Paardekoper. Kemudian ternyata sang Letkol cuti ke Belanda. Cutinya panjang sekali, lebih dari delapan bulan. Paardekoper baru kembali pada Maret 1949.

Sebelum penyerahan kedaulatan, penyelidikan diakhiri. Mengapa? Hari depan hubungan Indonesia-Belanda sudah dapat diramalkan dari serangkaian peristiwa berikut. Pada Maret 1949, Letkol Paardekoper berkenan kembali menjabat di Batavia. April 1949, perundingan antara Mr. Roem dan Dr. Van Roijen dimulai. Perundingan ini mengenai syarat-syarat pengakuan kedaulatan Republik Indonesia. Hasilnya yaitu pengakuan bahwa kekuasaan atas urusan luar negeri dan pertahanan berada pada pemerintah Indonesia, dan bukan pada Uni Nederland-Indonesia. Ini diumumkan pada 7 Mei 1949.

Juni 1949, pimpinan Angkatan Bersenjata Belanda mulai mengakui bahwa mereka tak mampu memenangkan perang gerilya melawan pejuang Indonesia. Pada 3 Agustus, perundingan antara Republik dan Nederland menghasilkan pernyataan bersama, yang menyerukan penghentian permusuhan. Dalam komunike inilah dituangkan tekad kedua pihak untuk masing-masing memberi amnesti umum kepada para pihak yang melakukan kejahatan di saat perang.

Pada 3 November 1949, Belanda mengumumkan amnesti untuk pelaku kejahatan dalam perang umum atau perang gerilya pada periode antara 15 Agustus 1945 dan 15 Agustus 1950. Amnesti itu mengecualikan perbuatan yang kini dianggap pelanggaran berat hak asasi manusia. Pihak RI, pada 17 November 1949 di Yogyakarta, memaklumkan amnesti umum, tanpa pengecualian. Amnesti Indonesia ditandatangani Soekarno, Sri Sultan Hamengku Buwono IX, dan Soesanto Tirtoprodjo.

Setelah itu keadaan kembali sunyi—tapi tidak lama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus